Wansus Feri Amsari: Sidang PHPU Pilpres 2024 Wajib Hadirkan Presiden

Jakarta, IDN Times - Sidang sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 bakal memasuki babak inti mulai pekan depan. Senin, 1 April 2024, hakim konstitusi akan mengumumkan, apakah mereka setuju memanggil sejumlah menteri untuk dihadirkan memberikan kesaksian.
Pemohon satu dari kubu Anies-Muhaimin (AMIN) mengajukan usulan agar hakim konstitusi memanggil empat menteri yaitu Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Sosial Tri Rismaharini, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto.
Kesaksian dari keempat menteri yang dinanti publik yakni buka-bukaan soal dugaan politisasi bansos, sehingga berdampak terpilihnya paslon nomor urut dua, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
PDI Perjuangan (PDIP) pun sudah memberikan restu pada Mensos Risma untuk menghadiri sidang PHPU di MK. Sedangkan, Airlangga mengaku masih menunggu surat panggilan dari hakim konstitusi.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari justru menilai, seharusnya hakim konstitusi dapat langsung memanggil Presiden Joko "Jokowi" Widodo ketimbang harus mendengarkan keterangan empat menteri yang notabene pembantunya di kabinet.
"Menteri-menteri kan pembantu presiden yang membantu dan melaksanakan tugas RI-1. Semestinya, lantaran yang dituding adalah presiden, mahkamah harus memerintahkan atau memanggil presiden untuk bersaksi," ujar Feri dalam wawancara khusus bersama IDN Times, Jumat, 29 Maret 2024.
Namun, Feri memahami bisa saja itu bagian strategi dari tim hukum pemohon, sehingga nantinya hakim konstitusi bakal memanggil Presiden Jokowi. Feri pun tak menampik ada sejumlah pihak yang bakal tidak tenang seandainya keempat menteri itu dipanggil MK.
Apalagi, sesuai aturan bila dipanggil hakim konstitusi, maka keempat menteri itu wajib datang. Bila mangkir, maka hakim konstitusi dapat meminta dilakukan penjemputan paksa.
Apa saja keterangan yang diharapkan bisa disampaikan keempat menteri itu? Apakah kesaksian keempat menteri itu bisa membuat hak angket di parlemen yang melempem kembali hidup? Simak wawancara khusus IDN Times dengan Feri Amsari berikut ini.
Bagaimana Anda melihat pokok permohonan di dalam dokumen paslon Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud?


Pertama, paslon 01 dan 03 mendalilkan hal yang sangat berbeda dengan asumsi yang ada di paslon 02. Paslon 01 dan 03 berbicara prinsip penyelenggaraan, sementara paslon 02 bicara soal hitung-hitungan. Itu kan dua hal yang selalu akan dipertentangkan, mana yang boleh dan tidak.
Sebagian lupa bahwa hakim konstitusi itu boleh memutus secara ultra petita (putusan hakim melebihi dari dakwaan atau tuntutan jaksa), demi tercapainya keadilan. Itu satu landasan yang harus dipahami para pihak.
Kedua, kalau disimak baik-baik (pokok permohonan) paslon 01 dan 03, juga mendalilkan angka-angka. Contoh, yang aku baca dari permohonan mereka, paslon 01 mendalilkan bahwa penempatan penjabat kepala daerah itu akan sangat signifikan memengaruhi tingkat keterpilihan (paslon) 02.
Sehingga, mereka mendalilkan di beberapa daerah, terutama gubernur, di daerah Sulawesi Tenggara itu menyebabkan keterpilihan paslon 02 melejit tidak masuk akal. Angkanya lebih dari 74 persen.
Itu angka yang sangat tidak masuk akal. Apalagi ada gentong babi (pork barrel). Jadi, itu bisa mendalilkan angka-angka sebenarnya. Sekitar 70 persen bila dikonversi suara itu berapa.
Cuma ini kan tergantung ke sikap para hakim konstitusi. Idealnya, mereka akan mengeluarkan kalkulatornya untuk mengkonversi prosentase itu dengan angka-angka.
Sedangkan, paslon 03, isi pokok permohonannya juga menarik. Kedua paslon ini sebenarnya meniru konsep peta Dirty Vote. Mereka mendalilkan bahwa Jokowi urung menyebarkan bansos ke beberapa daerah.
Bila dilihat di peta, daerah yang bukan basis kuat Jokowi, entah itu basis PDIP atau partai lawan, lalu akan digelontorkan (bansos) dan menghasilkan angka (suara) yang signifikan.
Jadi, ada dalil yang menjelaskan bahwa bansos itu signifikan mengubah peta suara. Suara itu kan bisa dikonversi menjadi angka-angka. Di mana saja bansos digelontorkan, maka bisa dihitung (suara) tidak sah untuk (paslon) 02, karena dilakukan dengan cara-cara yang tidak jujur dan adil, abuse of power untuk kepentingan pemilu. Itu angka.
Sekali lagi ini harus bisa dilihat sebagai konsep pengitungan angka yang berbeda dengan konsep penghitungan angka yang jamak. MK di Peraturan MK (PMK) Nomor 4 Tahun 2023, menggunakan tabel-tabel. Pertanyaannya, apakah tanpa tabel-tabel itu dibolehkan untuk mendalilkan angka dalam format yang berbeda?
Menurut saya gak ada yang sekaku itu di muka bumi, peradilan-peradilan. Konsep gugatan begini, permohonan begini, tidak ada. Semua hanya patuh kepada logika dan dalil.
Misalnya, di MK itu konsepnya harus memenuhi legal standing, posita (alasan-alasan), petitum (permintaan), dan semuanya ditarik garis lurus dalam logika yang sama, itu sebabnya dibolehkan. Nah, MK akan jadi kaku atau tidak, gara-gara PMK-nya sendiri.
Artinya, seharusnya masa kerja MK untuk memutuskan dua pokok permohonan bisa lebih dari 14 hari?
Saya maunya begitu, tetapi itu terlalu kontroversi. Kontroversinya akan menjadi luar biasa, bila MK di tengah jalan mengubah waktu 14 hari.
Seharusnya, bila kebutuhan itu ada, sebelum proses itu berjalan, ada yang menguji UU MK, sehingga masa kerjanya bisa diperpanjang.
Kalau MK bicara keadilan, ini kan sebenarnya tidak adil. Mana ada problematika seluas ini diselesaikan dalam waktu 14 hari kerja. Tetapi juga harus dilihat keadilan, gak mungkin sesuatu diubah di tengah jalan.
Kalau soal syarat umur, kan kita protes yang diubah di tengah jalan. Masak di sini kita membolehkan, kan tidak fair dong.
Apa respons Anda ketika tim hukum paslon 02 mengatakan tak bisa pembatalan hasil Pemilu 2024, di negara lain dijadikan rujukan untuk situasi Indonesia?
Pembatalan hasil pemilu itu kan tidak hanya terjadi di negara lain. Misalnya, pilkada ulang terjadi di Jawa Timur. Itu dua kali. Itu di kasus Khofifah Indar Parawansa, dalam putusan nomor 41/PHPU.D-VI/2008.
MK dalam konteks Pilpres, menurutku kalau kemudian melihat ada problematika yang sama, sehingga sepatutnya pilpres diulang, ya bisa saja terjadi. Bukan kah sudah dipraktikan oleh MK, ada contohnya dari negara lain sebagai sumber referensi bahwa sebuah pemilu bisa saja diulang kalau sudah melanggar azas-azas dan prinsip penyelenggaraan pemilu. Sebagaimana diuraikan oleh paslon 01 dan 03.
Paslon 01 dan 03 menyebutkan bebas, jujur, dan adil. Konsep jujur dan adil kan tidak bisa dihitung melalui angka-angka. Apakah angka-angka (hasil pemilu) diperoleh dengan cara jujur dan adil, kan di sana problematikanya.
Membuktikan penyelenggara pemilu tidak mandiri, tidak jujur dan adil, menurutku itu hal yang sangat signifikan bagi MK untuk mempertimbangkan adanya pemilu ulang.
Makanya saya selalu menggunakan analogi bila dalam pertandingan sepak bola, kalau wasitnya sudah berpihak, disogok dan segala macam, seharusnya dipertimbangkan untuk digelar pertandingan ulang.
Jadi, wasitnya kalau bermasalah, maka menyebabkan pertandingan tidak lagi mandiri. Pasti akan ada orang yang ingin menghentikan pertarungan dan meminta pertarungan ulang.
Bagaimana Anda merespons narasi seandainya pemungutan suara ulang (PSU) dikabulkan, maka tidak ada dana dari pemerintah?
Jadi, menurut saya, persoalan biaya, itu kan hal teknis setelah MK memutuskan. Artinya, paslon 02 tidak mengkhawatirkan atau mengakui bahwa argumentasi para pihak lain benar, sehingga yang dikhawatirkan justru masalah teknis.
Kalau diulang biayanya ada tidak? Kalau biaya, itu urusan dari badan anggaran DPR dan pemerintah.
Kalau logikanya pemilu putaran kedua ada biayanya, kenapa pemilu ulang tiba-tiba dipermasalahkan biayanya. Jadi seharusnya biaya bukan persoalan esensial dalam demokrasi. Negara yang seharusnya menyiapkan biaya itu.
Apalagi belum semua kebutuhan dana pemilu dikucurkan. Terutama kalau ada pemilu ulang.
Bila skenario pemungutan suara ulang (PSU) dikabulkan, tidak akan mengganggu proses pelantikan presiden baru?
Tidak mengganggu. Sepanjang dijadwalkan sebelum jadwal-jadwal yang berpotensi mengganggu pelantikan presiden terpilih.
Semestinya bila logika berpikirnya, pemilu putaran kedua bisa dilakukan, artinya tidak akan mengganggu. Makanya, paslon 03 memberikan batas waktu proses PSU itu dilaksanakan.
Apakah menurut Anda, usulan paslon 01 dan 03 untuk menghadirkan menteri bakal dikabulkan hakim konstitusi?

Saya justru mendorong lebih besar dari itu untuk individu yang dipanggil oleh MK. Saya malah mengusulkan agar paslon 01 dan 03 meminta kepada MK agar memanggil presiden untuk bersaksi di ruang sidang.
Menteri-menteri kan pembantu presiden yang membantu dan melaksanakan tugas RI 1. Kan begitu yang tertulis di UUD Pasal 17. Semestinya, lantaran yang dituding adalah presiden, mahkamah harus memerintahkan atau memanggil presiden untuk bersaksi. Agar mahkamah mendapat gambaran utuh, apakah tudingan itu benar atau salah.
Bahkan, hakim konstitusi memungkinkan untuk langsung menghadirkan presiden meskipun tidak diusulkan oleh paslon 01 dan 03. Karena kan hakim bersifat aktif.
Hakim sudah berkali-kali memanggil dalam perkara-perkara lain patut dipanggil untuk menambah keyakinan hakim. Sekarang yang dituduh presiden, tetapi yang dipanggil malah pembantunya, itu kan kurang maksimal.
Seandainya hakim konstitusi setuju untuk memanggil keempat menteri tersebut, bisakah mereka mangkir?
Kalau pengadilan yang memanggil, maka hakim bisa mengeluarkan perintah pemanggilan paksa. Anggota DPR saja bisa dipanggil paksa. Hakim bisa meminta personel kepolisian untuk menjemput paksa keempat menteri itu.
Apakah ada konsekuensinya bagi keempat menteri itu bila memberikan keterangan tidak jujur di persidangan?
Konsekuensi memberikan keterangan yang tidak jujur kan ada pidananya. Kan semua ada konsekuensinya. Kan tidak mungkin pengadilan menjatuhkan putusan yang salah berdasarkan keterangan menteri ini.
Makanya, memberikan keterangan palsu itu bisa dikategorikan perbuatan pidana.
Prediksi Anda, keterangan apa saja yang disampaikan keempat menteri itu di ruang sidang?

Tentu saja mereka akan memberi tahukan yang memerintahkan penyebaran bansos itu. Itu satu contoh. Bagaimana (pemberian bansos) berkaitan untuk memengaruhi hasil pemilu.
Tentu para pihak punya gambaran bahwa proyek-proyek bansos seperti itu memiliki kecenderungan untuk memengaruhi pemilih, apalagi disebarnya di tahun pemilu.
Bansosnya sendiri halal, tetapi pemanfaatannya untuk kepentingan untuk pemilu yang menimbulkan masalah.
Seandainya keempat menteri mengakui ada instruksi distribusi bansos jelang Pemilu 2024, maka berpeluang membuka gugatan hukum baru ke empat menteri tersebut?
Iya, pastilah. Logika sederhananya mana ada menteri-menteri bergerak tanpa perintah dan persetujuan dari presiden. Saya akui dari sidang MK ini bisa melebar ke mana-mana.
Tapi sekarang sebaiknya dilihat satu per satu. Hak angket sekarang tidak jelas, ya sudah fokus saja ke persidangan MK.
Salah satu kuasa hukum yang muncul di MK adalah mantan narapidana yang terlibat kasus penyuapan hakim. Anda yakin hakim konstitusi bisa independen dalam memutus perkara ini?
Bagi saya di sinilah MK harus membuktikan agar syak wasangka (praduga) publik tidak benar. Sebab, bila dilihat dari kuasa hukum yang ada, itu ada persepsi bagi publik kenapa orang-orang yang tidak berpengalaman dalam isu kepemiluan muncul.
Apalagi, ada yang punya kaitan dengan kasus penyuapan hukum. Apakah ini bagian dari strategi apa yang nampak di masyarakat, akan ada pergerakan di luar ruang sidang. Untuk itulah MK harus mempertahankan diri untuk kemudian syak wasangka itu tidak terbukti.
Apalagi yang begini-begini pergerakannya luar biasa. Tidak hanya di hakim, tetapi di panitera, pegawai MK. Itu semua harus diwaspadai agar muruah MK itu terlindungi dan tidak terjadi lagi peristiwa-peristiwa kotor di masa lalu. Seperti yang menimpa Patrialis Akbar dan Akil Mochtar.
Tapi, Akil Mochtar lebih sesuai karena ia disuap ketika menangani perselisihan hasil pemilu (PHPU).
Apakah Anda yakin hakim konstitusi berani memanggil presiden bersaksi di sidang gugatan hasil Pilpres 2024?

Jadi, kalau pakai logika normatif, konstitusi itu paling tinggi. Jadi, meskipun presidential power itu lebih kuat, tetapi di atas presiden itu ada yang namanya konstitusi.
Nah, hakim konstitusi ditugaskan untuk menjaga konstitusi itu bukan menjaga presiden. Oleh karena itu, atas nama konstitusi, mereka harusnya berani dong (memanggil presiden). Kan demi melindungi konstitusi. Sekaku itu konsep konstitusinya.
Sedangkan, konsep politiknya gimana? Bagi saya, presiden sudah akan kehilangan kekuatan segera. Kalau hakim konstitusi meragukan kalau mereka akan aman, itu salah hakim MK nya sendiri, dalam sengkarut ini tetapi tidak memiliki keberanian.
Nah, kalau mereka memahami bahwa presiden segera berakhir, seharusnya mereka berani memutuskan. Apalagi publik sedang menunggu apakah ini keadilan atau cuma sandiwara.
Saya berharap sidang ini benar-benar menampilkan keadilan. Tetapi nuansa sandiwaranya kan juga besar. Kalau seandainya MK tidak memanggil penjabat kepala daerah, menteri, atau presiden, bagi saya persidangan ini semua pasti sandiwaralah.
Bahkan, kalau perlu penyelenggara pemilu itu dijadikan saksi. Harus dibongkar peristiwa-peristiwa itu. Mereka harus digali di dalam persidangan.
Penyelenggara pemilu jangan sekadar dijadikan pihak, tetapi juga sebagai saksi yang harus dimintai keterangan dan ditanyakan netralitasnya.
Menurut saya, penyelenggara pemilu yang dipecat karena mengungkap dugaan kecurangan, bisa dipanggil oleh hakim konstitusi.