Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[WANSUS] Ketua PB IDI: Garda Terdepan Siap Hadapi Amuk Omicron

Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Terpilih Adib Khumaidi. / IDN Times Aditya

Jakarta, IDN Times - Indonesia kembali diuji oleh COVID-19. Varian Omicron membuat kasus COVID-19 semakin melejit dalam satu bulan terakhir.

Selama periode awal gelombang ketiga COVID-19 yakni 4 Januari sampai 3 Februari 2022, setidaknya telah terjadi lebih dari 150 ribu kasus baru. Jumlah kasus aktif pun kian meningkat hingga 115.275.

Tentu kondisi ini membuat keterisian rumah sakit meningkat. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan per Senin (7/2/2022), keterisian rumah sakit 18.966 sementara tempat tidur yang dipersiapkan untuk pasien COVID-19 sebanyak 120 ribu.

Meski BOR atau tingkat keterisian rumah sakit rendah dengan mayoritas pasien tanpa gejala dan gejala ringan, namun Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memprediksi angka kasus harian akan naik hampir 6 kali puncak gelombang kedua saat Delta melanda tahun lalu.

Kondisi ini tentu membuat tenaga medis kembali sibuk di awal Februari setelah sempat istirahat saat kasus menurun. Lalu bagaimana kondisi rumah sakit dan tenaga kesehatan di tengah amuk Omicron? Berikut ini wawancara khusus IDN Times dengan Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) terpilih Adib Khumaidi.

Kasus Omicron terus meroket, bagaimana kondisi di rumah sakit saat ini?

Direktur Perencanaan Organisasi dan Umum RSUP Persahabatan Yudhaputra Tristanto menunjukan ruangan isolasi pasien COVID-19 di RSUP Persahabatan. (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Data yang kita dapatkan hampir 25 provinsi telah melaporkan kenaikan kasus, ini suatu hal yang perlu kita waspadai. Tapi yang kita siapkan adalah kapasitas tempat tidur. Kasus harian hampir 10 ribu lebih per hari, ini pertanda rumah sakit menyiapkan diri.

Rumah sakit saat ini masih bisa mengatasi kenaikan pasien COVID-19 dan akan menaikkan kapasitas sesuai kebutuhan.

Sebenarnya rumah sakit yang diperuntukkan bagi COVID-19 sudah membuka pelayanan umum, namun setelah ada kenaikan kasus, rumah sakit sudah mengkonversikan ruangan yang sebelumnya untuk pasien non-COVID-19 jadi pasien COVID-19.

Beberapa ruangan sudah dikonversikan bahkan beberapa wilayah sudah bisa teratasi, termasuk di DKI Jakarta. Khusus di Jakarta sudah menyiapkan 1.000 bed yang nantinya akan ditambah seiring kebutuhan dan kenaikan kasus Omicron.

Jika dibanding Juli tahun lalu, memang luar biasa konversinya bisa lebih dari seribu bahkan sampai 5 ribu dalam satu wilayah. Semoga lonjakan kasus bisa diantisipasi seluruh rumah sakit dengan peralatan medis, mulai oksigen, obat-obatan agar kejadian Juli lalu tidak terulang lagi.

Bagaimana kondisi tenaga medis? Apakah mulai sibuk lagi?

ilustrasi nakes kelelahan setelah memberikan pelayanan pasien positif COVID-19 (IDN Times/Ervan)

Memang betul tenaga medis saat ini mulai sibuk lagi. Jadi kami sudah mengingatkan pada teman-teman sejawat, berada garda terdepan, IGD, di pelayanan primer Puskesmas atau praktek mandiri, untuk tetap yang utama menjalankan pelayanan sesuai protokol kesehatan.

Kita juga buat buku pedoman standar perlindungan COVID-19 itu harus dijalankan kembali, terutama teman-teman di UGD, termasuk proses screening, jadi proses screening. Untuk itu, kemampuan PCR harus ditingkatkan sehingga proses screening tetap, UGD atau tindakan tetap berjalan dengan baik tetapi proteksi tetap berjalan.

Ada beberapa laporan, beberapa teman sejawat yang positif COVID-19 tapi alhamdulillah kami selalu pantau dan koordinasikan dengan teman-teman seluruh Indonesia masih terpantau dengaan baik, dan belum ada dirawat dalam kondisi yang berat bahkan di ICU.

Sebagian besar melakukan yang sampai saat ini masih terkontrol baik, belum ada yang sampai dirawat kondisi berat dan ICU, bahkan sampai saat ini sebagian besar isolasi mandiri di rumah. Adapun jumlah tenaga medis yang terpapar saat ini datanya belum masuk semua.

Menkes memprediksi puncak kasus terjadi akhir Februari, bagaimana kesiapan SDM terutama IDI?

Sejumlah tenaga kesehatan merawat pasien positif COVID-19 di Rumah Sakit Darurat COVID-19 (RSDC), Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta, Rabu (5/5/2021). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat.

Dari sudut pandang profesi yaitu Ikatan Dokter Indonesia (IDI), terkait kesiapan SDM tentunya kita perlu sinergikan dengan Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan serta stakeholder lain.

Sebenarnya kita mempunyai banyak pengalaman luar biasa selama dua tahun. Di bulan Juli sampai Agustis sampai mulai kasus naik sampai turun, salah satu yang penting adalah sinergitas dan kolaborasi yang kita bangun. Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan serta stakeholder lain saling berupaya.

Satu sisi upaya edukatif di puskesmas, sisi lain pentingnya upaya kuratif dari sisi SDM. Sebenarnya saat kasus turun, banyak masukan sehingga kita ada sistem yang terintegrasi ini. Kita berharap apa yang diprediksikan tidak terjadi, namun kita harus siap, kita punya pengalaman di bulan Juli, dan jangan kecolongan lagi, koordinasi tetap ditingkatkan, kesiapan obat, oksigen, dan alat kesehatan itu yang paling penting.

Saya lihat sudah cukup baik melalui isolasi mandiri, terpantau. Jadi kasus positif yang muncul di masyarakat direspons langsung oleh Kementerian Kesehatan, jadi masyarakat bisa langsung terakses dan obat bisa dikirim oleh pemerintah.

Bagaimana kesiapan alkes apakah sudah menyeluruh? Berkaca dari tahun lalu, fokus pemerintah di kota besar?

Ilustrasi petugas medis yang menangani COVID-19 (ANTARA FOTO/Basri Marzuki)

Jadi ini berkaca di bulan Juli saat puncaknya varian Delta. Jadi yang paling penting adalah kemampuan daerah itu tidak sama dengan kemampuan fasilitas kesehatan di kota kecil. Maka harus ada upaya integrasi sistem dalam satu wilayah.

Jadi kalau sekarang dalam satu wilayah dari ibu kota provinsi sebagai pusat rujukan, maka harus terakses ke wilayah-wilayah atau daerah-daerah lain, kapan perlu dirujuk atau kondisi, saya kira ini standarnya sudah ada.

Pada saat kita bicara kasus, itu dirawat dengan kondisi yang bisa terpantau, saya kira salah satu alternatifnya adalah telemedicine, jadi masyarakat tidak berbondong-bondong (ke rumah sakit).

Salah satu hal krusial belajar dari bulan Juli lalu, karena masyarakat tidak teinformasikan dengan benar bagaimana mengatasi kondisi gawat darurat saat terkena covid.

Mereka tidak punya pengetahuan atau akses, jadi semuanya berbondong-bondong ke rumah sakit, banyak sekali yang antre di UGD, jadi jangan sampai terjadi lagi. Untuk itu, akses pelayanan harus didekatkan ke masyarakat yaitu dengan telemedicine.

Sementara di daerah, akses komunikasi harus ditingkatkan. Dinas Kesehatan langsung turun ke lapangan memberikan informasi sekaligus jika ada yang positif lakukan isolasi mandiri, dibantu oleh pelayanan primer, puskesmas harus difungsikan untuk memantau dibantu masyarakat.

Kita sebenarnya sudah punya pola yang harus diaktifkan kembali. Satgas COVID-19 di daerah RT/RW harus diaktifkan kembali, sehingga masyarakat terpantau dan mudah mendapatkan akses pelayanan dalam kondisi yang membutuhkan.

Jadi ada proses karantina yang kita lakukan. Jika tanpa gejala maksimalkan di rumah, jika bergejala maka lakukan karantina di satu tempat. Pola ini yang sudah dibuat dalam satu sistem. Mudah-mudahan di akhir Februari-Maret tidak ada lonjakan, karena beberapa negara kasusnya sudah mulai turun perlahan.

Tapi kita harus hati-hati, sebab belum sampai ke puncaknya. Prediksi-prediksi puncaknya ini warning atau alarm kita harus siap-siap.

5. Transmisi lokal berpotensi lebih banyak daripada transmisi luar negeri. Bagaimana IDI menyikapi ini?

ilustrasi varian baru COVID-19, Omicron (IDN Times/Aditya Pratama)

Kita lihat masyarakat aktivitas secara normal, protokol kesehatan di beberapa daerah sudah mulai melemah. Ini perlu edukasi bahwa kita belum selesai dengan pandemik COVID-19, kita masih berperang melawan COVID-19, yakni varian Omicron.

Saat ini 44 persen kasus Omicron merupakan transmisi lokal itu di DKI Jakarta, saya kira di wilayah lain juga. Untuk itu, harus terus disampaikan bahwa protokol kesehatan harus, memakai masker, jaga jarak, cuci tangan, itu sebuah pola hidup.

Jadi mau tidak mau kita harus memakai masker, itu satu poin pertama. Namun maskernya medis bukan masker kain, karena kita benar-benar memproteksi diri.

6. Pemerintah memangkas karantina pelaku perjalanan luar negeri dari 7 hari menjadi 5 hari, bagaimana tanggapan IDI?

Dok. PT Angkasa Pura II

Saya kira yang pertama yang harus dipahami adalah perubahan kebijakan ada referensinya atau masukan dari para pakar, artinya kebijakan ini berdasarkan referensi ilmiah.

Yang perlu dipahami bahwa karantina pasca-perjalanan itu berbeda jika positif COVID-19, sebab karantina merupakan suatu proses pada saat pelaku perjalanan datang, dengan asumsi bahwa Omicron masa inkubasinya lebih cepat yakni 3 hari bisa terdeteksi, sehingga 5 hari ini upaya untuk screening. Jika hasil positif maka akan berlanjut proses isolasi mandiri.

Sehingga sekali lagi upaya suatu proses yang harus dilakukan sekaligus screening. Jadi 7 hari 10 hari itu bukan bagian isolasi mandiri, tetapi saat positif harus melakukan isolasi mandiri dan karantina benar-benat dipantau agar tidak beraktivitas dengan orang lain.

Selain lansia, pasien Omicron juga didominasi anak-anak sebagai dampak PTM 100 persen, bagaimana pandangan IDI?

Ilustrasi siswa mengikuti Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di Sekolah dengan prokes ketat (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Kami dari IDI bersama lima organisasi profesi sudah menyampaikan pada saat pertemuan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) 100 persen, harus berdasarkan pemantauan dalam satu wilayah dan kenaikan kasus nasional, sehingga referensi untuk menyatakan bisa PTM 100 persen atau tidak harus berdasarkan hal itu.

Kedua, kita harus melihat karakter, cakupan vaksinasi anak sekolah dasar belum maksimal, bahkan pada anak-anak di bawah 11 tahun itu cenderung masih abai pada protokol kesehatan, itu perlu diperhatikan. Kalau cakupan vaksinasi masih rendah, angka abai prokes tinggi maka perlu dikaji.

Jika cakupan vaksinasi tinggi serta prokes ketat, maka ada pola 10 atau 25 persen, jadi ada tahapan atau transisi. Paling penting dari lingkungan sekolah, bagaimana standar ventilasi dalam suatu ruangan, hindari kumpul-kumpul, pulang dijemput.

Yang perlu diperhatikan, PTM tidak sekedar hanya buka, karena kepentingan kami bukan pendidikan saja tetapi kesehatan juga penting bagi anak.

Gejala Omicron mirip flu, apakah boleh minum obat warung?

Infografis gejala khas COVID-19 varian Omicron (IDN Times/Aditya Pratama)

Kadang-kadang memang perlu diwaspadai, karena bisa saja pilek biasa minum obat sembuh, bisa saja saat itu sudah terpapar tapi daya tahan tubuh cukup bagus, vaksin lengkap, makan banyak sehingga imunnya bisa melawan dan sembuh.

Dan memang yang angka positif rate sekitar 24 persen artinya 1 dari 4 orang yang PCR positif karena ada kontak atau proses mau perjalanan itu yang bisa jaring, tetapi ada gejala OTG (orang tanpa gejala). Saya yakin masyarakat mengganggap hal biasa karena kondisi bagus, bisa pulih dengan cepat.

Omicron lebih menular tapi tak sebahaya Delta. Bagaimana memahami dan menakar tingkat bahaya varian virus dari segi medis?

Omicron di Indonesia (IDN Times/Aditya Pratama)

Jadi jika kita melihat suatu proses mutasi ada piramida di dalam kesehatan. Virus mudah bermutasi yang artinya akan lebih kuat, lebih menular kemudian gejalanya lebih bervariasi. Bahkan informasi malah jarang sebagian batuk dan pilek, bahkan dengan nyeri-nyeri saja ternyata positif.

Paling utama adalah angka fataliti (angka kematian) memang rendah, namun bukan berarti tidak ada, yang meninggal juga ada terutama yang mempunyai komorbid, hipertensi, diabetes, dan lansia. Kelompok ini sangat penting untuk kita proteksi.

Paling penting adalah vaksinasi karena yang dirawat kondisi sedang atau berat dan meninggal sebagian besar memang belum vaksin lengkap. Cakupan vaksinasi itu harus ditingkatkan, yang paling penting adalah booster harus dilakukan, mulai kelompok yang prioritas lansia, komorbid.

Apa saran untuk pemerintah jika kasus terus meroket, kebijakan apa yang perlu dibuat?

Ilustrasi mobilitas masyarakat selama PPKM (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)

Yang pertama upaya preventif dan promotif harus di tingkatkan. Protokol kesehatan jangan sampai segan untuk selalu disampaikan. Kita perlu mengingatkan pada saat masyarakat terpapar dengan kondisi berita atau acara di televisi yang menggangap sudah kondisi normal, maka kemudian masyarakat itu lupa bahwa kita belum selesai dengan COVID-19.

Kita harus melibatkan kembali satgas di RT RW untuk mengingatkan masyarakatnya agar mematuhi protokol kesehatan. Jika ada kondisi gejala-gejala itu, harus mulai proteksi diri sendiri. Paling penting adalah kesiapan sarana kesehatan, jangan sampai pola yang seperti bulan Juli terjadi.

Bagaimana pendataan obat, penataan obat perlu dikoordinasikan, call center untuk oksigen itu diaktifkan, rumah sakit khusus untuk COVID-19 juga harus diaktifkan. Paling penting tetap kejar upaya vaksinasi terutama di daerah, karena banyak yang masih di bawah 50 persen. Seluruh stakeholder dan masyarakat juga perlu terlibat.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sunariyah
Dini Suciatiningrum
Sunariyah
EditorSunariyah
Follow Us