AS Ogah Normalisasi Hubungan dengan Suriah di Bawah Rezim Bashar Assad

Jakarta, IDN Times - Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Antony Blinken, menegaskan bahwa Washington tidak akan mendukung normalisasi hubungan dengan Suriah di bawah Presiden Bashar al Assad.
Pernyataan itu disampaikan Blinken pada Rabu (13/10/2021), ketika pemerintah Suriah yang telah satu dekade disibukkan dengan perang sudara berhasil membalikkan keadaan berkat bantuan militer Rusia dan Iran.
Melansir Reuters, Assad tidak akan pernah menjadi kandidat yang cocok bagi Amerika karena konfrontasi antar keduanya. Menurut Blinken, meskipun apabila Assad suatu saat nanti direhabilitasi, AS tidak akan pernah mengakui pemerintahan Suriah jika dia masih memimpin.
1. Negara Arab mulai akui legitimasi Bashar al Assad

Negara Suriah sempat ditinggal oleh sekutu-sekutu Arabnya ketika memasuki konflik berdarah sejak 2011 silam. Negara Arab mencap kepemimpinan Bashar al Assad akan berakhir. Oleh sebab itu, mereka menolak legitimasi Damaskus selama bertahun-tahun.
Sekarang berkat keberhasilan Suriah, beberapa negara seperti Yordania dan Mesir secara bertahap mulai melakukan dialog serta kerja sama resmi bersama pemerintah Suriah, yang sebelumnya tidak mungkin terjadi.
Salah satu contoh konkret adalah pemerintah Yordania membuka perbatasannya dengan Suriah pada September 2021 untuk mendongkrak ekonomi pariwisata. Tidak hanya itu, Yordania juga mengajak negara-negara lain, secara khusus negara Arab, untuk kembali mengakui kepemimpinan Bashar al Assad sebagai pemimpin sah Suriah.
2. Mantan Dubes AS untuk Suriah percaya Assad tidak akan lengser

Sejak 2012, Washington memutus hubungan diplomatik dengan Suriah sebagai respons memburuknya situasi di negara tersebut. Meskipun saat ini pasukan pemerintah Suriah sudah berhasil menguasai sebagian besar negaranya, namun hal tersebut ternyata belum cukup bagi Amerika untuk mempercayai Damaskus.
Mantan Duta Besar AS untuk Suriah, Robert Ford, berpendapat bahwa Bashar al Assad dengan posisinya yang sekarang tidak akan bisa dilengserkan oleh siapa pun, seperti yang dilansir dari Newsweek. Menurutnya, pasukan oposisi atau pemberontak di Suriah tidak memiliki kekuatan militer yang cukup untuk membalikkan keadaan.
Walau pun begitu, Ford cukup pesimis apabila Suriah dapat bangkit dari keterpurukan. Hal ini disebabkan ekonominya yang hancur lebur akibat perang dan sanksi ekonomi.
3. Suriah belum menjadi prioritas kebijakan luar negeri AS

Pergantian pemerintahan AS dari Donald Trump ke Joe Biden secara langsung mengubah kepentingan Washington, termasuk dalam konflik Suriah. Presiden Biden yang fokus dengan ancaman China membuat situasi di Suriah tidak teratasi dan meninggalkan ketidakpastian.
Menurut nota analisis, AS belum menjadikan Suriah sebagai prioritas kebijakan luar negerinya. Ketidakperhatian ini diakibatkan ancaman China di Asia Pasifik yang semakin serius dan berbahaya di mata Amerika.
Berdasarkan pernyataan Blinken, untuk sementara agenda Washington di Suriah hanya memperluas akses bantuan kemanusiaan dan membantu memerangi ISIS.