Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Beberapa Penjelasan Konflik Rohingya-Rakhine yang Wajib Kamu Pahami

BBC International

Pemerintah Myanmar kembali melakukan tindakan represif terhadap etnis Rohingya. Peristiwa ini dipicu oleh penyerangan 30 pos polisi oleh gerilyawan Rohingya pada Jumat, 25 Agustus lalu yang menewaskan 12 orang. Beberapa pemberontakan sporadis kemudian terjadi di seluruh provinsi Rakhine yang berbatasan langsung dengan Bangladesh. Pemerintah Myanmar sendiri membatasi akses wartawan untuk meliput ke daerah konflik atas "alasan keamanan". Tapi sejumlah laporan terus bermunculan untuk memberitahu masyarakat internasional mengenai situasi terkini di sana.

Dilansir oleh BBC Indonesia, Human Rights Watch pada pekan lalu menunjukkan data satelit sejumlah kebakaran di beberapa wilayah provinsi Rakhine. Pemerintah Myanmar mengatakan bahwa gerilyawan Rohingya membakar "desa-desa kaum mayoritas", sementara mereka menuduh pasukan keamanan dan warga lokal setempat menjadi dalang dari kebakaran. Hingga saat ini, berdasarkan berita SkyNews Australia, diperkirakan konflik sudah menewaskan total 400 orang dan menghanguskan lebih dari 2.600 rumah.

Jumlah pengungsi Rohingya yang terpaksa pergi dari tempat tinggalnya akibat konflik ini mencapai 73 ribu orang, tulis Al-Jazeera. Mayoritas mereka menuju Bangladesh sebagai negara tetangga terdekat yang bisa dijangkau baik dengan berjalan kaki atau memakai perahu. Diperkirakan jumlahnya akan terus bertambah setiap hari. Tidak hanya etnis Rohingya, ada pula ratusan pemeluk Buddha dan Hindu yang terpaksa mengungsi karena takut dengan eskalasi konflik antara gerilyawan dan tentara pemerintah yang kian gawat setiap harinya.

Di Indonesia, kecaman mulai bermunculan belakangan ini. Contohnya aksi lintas profesi pada Sabtu, 2 September kemarin yang diadakan di depan Kedutaan Besar Myanmar di Jakarta. Umumnya mereka menuntut agar Myanmar berhenti melakukan tindakan represif terhadap etnis Myanmar dan menyebutnya sebagai genosida. Mereka juga menyebut peraih Nobel Perdamaian asal Myanmar, Aung San Suu Kyi, tidak pantas menerima penghargaan tersebut karena dianggap melakukan pembiaran atas kejahatan kemanusiaan.

Di ranah internet sendiri, saya membaca banyak sekali status atau kicauan bernada kecaman terhadap Myanmar dan tindakan represifnya. Tapi tidak sedikit juga yang salah kaprah dengan konflik tersebut serta posisi pemerintah dalam hal ini. Saya akan coba meluruskannya dengan berbagai fakta yang ada.

Peran gerilyawan ARSA di balik eskalasi konflik di Rakhine.

The Daily Star

Serangan akhir Agustus lalu dilakukan oleh Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), Tentara Pembebasan Arakan, pimpinan Attaulah Abu Ammar Jununi. ARSA juga yang menjadi pemicu konflik di Rakhine pada bulan Oktober tahun lalu yang menyebabkan 87.000 pengungsi mengalir ke Bangladesh. Para pengungsi saat itu menceritakan hal-hal miris yang menurut mereka dilakukan oleh tentara Myanmar mulai dari pembunuhan, pemerkosaan dan desa-desa yang dibakar.

Pemerintah Myanmar sendiri telah menggolongkan ARSA sebagai kelompok teroris berbahaya dan ditengarai memiliki hubungan dengan kelompok Taliban. Berdasarkan laporan, anggota ARSA hanya dilengkapi dengan perlengkapan senjata seadanya yaitu bom dan senjata rakitan atau hasil curian. Keberadaan ARSA inilah yang (ironisnya) malah membuat sentimen anti-Rohingya dan Islamofobia di seluruh Myanmar meningkat pesat.

Keberadaan ARSA semakin membuat krisis etnis Rohingya jauh dari usaha penyelesaian. Setiap serangan yang mereka lakukan terhadap polisi atau pun tentara Myanmar akan dibalas dengan serangan yang jauh lebih besar. Serangan balasan selain menyasar gerilyawan ARSA juga ditargetkan pada etnis Rohingya sendiri. ARSA boleh saja berpendapat bahwa taktik perlawanan mereka "sah untuk membela rakyat dunia yang dipersekusi dan membebaskan rakyat yang tertindas dari penindas." Namun, "perlawanan" mereka akan percuma jika etnis Rohingya yang mereka perjuangkan malah lebih menderita dari sebelum-sebelumnya.

Dilema posisi Aung San Suu Kyi dan "sikap diamnya".

Seattle Times

Pada Pemilu tahun 2014, banyak penduduk Rohingya yang menjadi sukarelawan untuk kemenangan Aung San Suu Kyi. Ini berangkat dari anggapan bahwa baik partai National League for Democracy (NLD, partai yang didirikan Suu Kyi) dan etnis Rohingya melawan satu hal yang sama: tindakan represif militer dan rezimnya yang selalu menindas. Boleh jadi motivasi mereka sama, namun fakta yang terjadi sangat berbeda.

Dukungan etnis Rohingya itu dinyatakan "tidak masuk hitungan" karena Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar 1982 menyatakan bahwa etnis Rohingya bukanlah bagian dari Myanmar sehingga mereka tidak memiliki hak politik (memilih dan dipilih). Sebaliknya, dukungan dari Rohingya membuat posisinya pada kampanye politik pemilu waktu itu sempat goyah karena berpotensi mengurangi jumlah suara dari pemilih mayoritas Buddha, tempatnya mendapat banyak dukungan dan simpati.

Satu hal yang harus kita camkan, di bawah pemerintah junta militer, baik mayoritas Buddha atau minoritas Rohingya sama-sama mengalami tindakan represif dari pihak tentara Myanmar yang tak jarang memakan korban jiwa.

Sentimen anti-Rohingya dan Islamofobia tersebar luas di kalangan orang-orang Myanmar, diperburuk oleh kelompok ekstremis Buddhis yang disebut "969". Kelompok ini, yang dikepalai oleh seorang biksu bernama Ashin Wirathu, menyebar ketakutan palsu bahwa jika Rohingya memiliki hak politik maka mereka akan mengubah corak demokrasi ke hukum syariat.

Saat kampanye pemilu pun, beberapa kelompok anti-Rohingya menggambarkan Suu Kyi dekat dengan etnis Rohingya yang berpotensi menghilangkan suara dari pendukungnya yang mayoritas Buddha. Ini memberi tekanan politik pada Suu Kyi untuk menjauhkan diri dari situasi Rohingya. Dia mungkin tahu bahwa mengungkapkan dukungan untuk Rohingya pada waktu itu berdampak pada partai dan jutaan pendukungnya.

Sekarang, setelah hasil pemilu menempatkan dirinya sebagai pemenang, Suu Kyi perlu mengkonsolidasikan dukungan dari mayoritas pemilih dan militer Buddhis. Kebijaksanaan politik mengharuskannya untuk menempatkan politik di atas prinsip-prinsip moral. Jauh di lubuk hatinya, dia adalah orang yang bermoral.

Jika dia mengutarakan dukungan Rohingya, itu sesuai dengan prinsip moralnya, tapi dia akan kehilangan banyak pendukung dan kemungkinan mengalami kudeta. Itu berpengaruh terhadap proses demokrasi yang sedang berjalan di Myanmar. Jika tidak, dia akan mempertahankan basis politiknya, tapi kehilangan prinsip moralnya.

Suu Kyi sedang dilema. Mungkin ini sebabnya dia tidak akan berpihak.

Boleh saja Suu Kyi mengambil posisi netral saat dia tidak memiliki kekuasaan politik, tapi sekarang dia telah memilikinya. Tidak ada kata terlambat untuk melakukan hal yang benar, apa lagi jika berhubungan dengan urusan kemanusiaan.

Bagaimana reaksi Indonesia?

Kementerian Luar Negeri RI

Indonesia beberapa tahun terakhir telah menampung hampir 1.000 pengungsi Rohingya. Mereka tersebar di beberapa tempat seperti Aceh, Medan, Jakarta dan Makassar. Hampir setiap tahunnya pemerintah memberi bantuan makanan dan obat-obatan mengandalkan anggaran APBD yang juga sebenarnya tidak terlalu besar. Pemerintah juga bekerja sama dengan International Organization for Migration (IMO) untuk menyalurkan tunjangan hidup mereka sehari-hari.

Untuk konflik yang baru saja terjadi di Rakhine, pemerintah Indonesia sama sekali tidak berdiam diri atau pun terlambat mengambil sikap.

Pemerintah Indonesia secara resmi telah mengeluarkan sikap untuk konflik di Rakhine ini melalui situs resmi Kementerian Luar Negeri pada hari Selasa, 29 Agustus 2017. Tujuh poin tersebut adalah : 

1. Indonesia mengecam serangan kelompok bersenjata kepada pos polisi dan fasilitas penampungan pengungsi di Maungtaw Rakhine State pada 25 Agustus 2017 yang telah mengharuskan ratusan orang mengungsi dan menyebabkan putaran kekerasan baru.

2. Indonesia juga menyesalkan jatuhnya korban, baik korban jiwa maupun luka-luka.

3. Indonesia mengharapkan Pemerintah Myanmar segera mengambil langkah-langkah untuk memulihkan keamanan dan memberikan perlindungan kemanusiaan secara inklusif. 

4. Indonesia juga mendorong semua pihak segera menghentikan aksi kekerasan, berkontribusi terhadap pemulihan keamanan, serta menghormati hak asasi manusia masyarakat di Rakhine State, termasuk masyarakat Muslim.

5. Situasi di Rahkine State sangat kompleks. Kerja sama semua pemangku kepentingan diperlukan agar perdamaian, keamanan, stabilitas dan pembangunan inklusif, dapat dilakukan di Rakhine State. 

6. Situasi yang damai, aman, dan stabil di Myanmar, termasuk di Rakhine State, penting untuk mendukung terjaganya stabilitas di ASEAN dan pembangunan yang berkelanjutan di kawasan.

7. Indonesia akan lanjutkan kerja sama dengan Myanmar dalam proses rekonsiliasi, demokratisasi, dan pembangunan inklusif, termasuk upaya implementasi rekomendasi laporan Kofi Annan.

Pemerintah melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi juga telah melakukan kordinasi dengan Sekjen PBB Antonio Guterres, Menteri Luar Negeri Bangladeh Abul Hassan MA, Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu dan National Security Advisor of Myanmar U Thaung Tun dalam upaya pemberian bantuan kemanusiaan dari pemerintah dan beberapa organisasi kemasyarakatan untuk para pengungsi konflik.

Senin dinihari (04/08/2017), Menlu Retno Marsudi tiba di Myanmar untuk menemui State Counsellor Aung San Suu Kyi dilanjutkan dengan pertemuan dengan beberapa menteri lain Myanmar lainnya di Naypyidaw. Pertemuan ini dilakukan untuk membahas pengungsi konflik yang pergi ke Bangladesh karena kekerasan dari militer Myanmar. Selain ke Myanmar, Melu juga direncanakan akan bertolak ke Dhaka, ibukota Bangladesh, dalam rangka menyiapkan bantuan kemanusian yang diperlukan pengungsi konflik yang saat ini berada di Bangladesh.

Share
Topics
Editorial Team
Achmad Hidayat Alsair
EditorAchmad Hidayat Alsair
Follow Us