Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Belajar dari Indonesia, 5 Negara Kini Tinjau Ulang Proyek Kereta Cepat

ilustrasi kereta cepat Whoosh
ilustrasi kereta cepat Whoosh (commons.wikimedia.org/Dwifa Bagaskoro S A)
Intinya sih...
  • Thailand mengurangi ketergantungan pendanaan China untuk proyek kereta cepat.
  • Malaysia merenegoisasi proyek karena biaya membengkak dan fokus pada keberlanjutan ekonomi.
  • Filipina membatalkan proyek akibat ketegangan politik dengan China dan mencari mitra baru yang lebih transparan.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pembangunan proyek kereta cepat sempat jadi simbol kemajuan infrastruktur di Asia Tenggara. Banyak negara yang ingin meniru langkah Indonesia lewat proyek Jakarta-Bandung atau Whoosh, yang disebut-sebut sebagai proyek ambisius pertama di kawasan ini. Namun, setelah muncul kabar bahwa Indonesia kini melakukan negosiasi ulang utang proyek tersebut dengan China, pandangan beberapa negara terhadap proyek serupa mulai berubah.

Masalah biaya membengkak, keterlambatan pembangunan, dan kekhawatiran soal jebakan utang menjadi pelajaran berharga. Proyek yang awalnya diharapkan jadi penggerak ekonomi, kini justru menimbulkan pertanyaan besar: apakah pembangunan infrastruktur megah selalu sepadan dengan risikonya? Beberapa negara kini memilih meninjau ulang, menunda, atau bahkan mengubah skema pembiayaan mereka agar tidak mengalami hal serupa seperti Indonesia.

Berikut lima negara di Asia Tenggara yang kini mulai berhati-hati dalam menindaklanjuti proyek kereta cepatnya.

1. Thailand kurangi ketergantungan dari pendanaan China

ilustrasi Bangkok, Thailand (pexels.com/DUYTRG TRUONG)
ilustrasi Bangkok, Thailand (pexels.com/DUYTRG TRUONG)

Thailand termasuk negara pertama yang meninjau ulang kerja samanya dengan China untuk proyek kereta cepat. Awalnya, proyek ini dibiayai penuh lewat pinjaman dari Beijing, namun berbagai perdebatan muncul karena kekhawatiran akan jebakan utang dan ketimpangan pembagian keuntungan.

Akhirnya, pemerintah Thailand memutuskan untuk merestrukturisasi perjanjian tersebut. Pendanaan dari China dikurangi secara signifikan, dan sebagian besar biaya kini ditanggung lewat anggaran nasional dan investasi lokal. Langkah ini diambil agar proyek tetap berlanjut tanpa menimbulkan beban finansial besar di masa depan.

2. Malaysia renegosiasi proyek karena biaya membengkak

ilustrasi Kuala Lumpur, Malaysia (pexels.com/Zukiman Mohamad)
ilustrasi Kuala Lumpur, Malaysia (pexels.com/Zukiman Mohamad)

Malaysia juga sempat terjebak dalam persoalan serupa. Proyek kereta cepat yang menghubungkan Kuala Lumpur dengan Singapura mengalami kenaikan biaya yang sangat tinggi hingga membuat pemerintah memutuskan untuk meninjau ulang perjanjiannya dengan pihak China.

Beberapa tahun lalu, proyek ini bahkan sempat dibatalkan sebelum akhirnya dihidupkan kembali dengan skala lebih kecil dan pembiayaan yang lebih realistis. Pemerintah Malaysia kini lebih fokus pada keberlanjutan ekonomi proyek, bukan sekadar prestise politik atau kecepatan pembangunan.

3. Filipina batalkan proyek akibat ketegangan politik

ilustrasi kota Makati, Filipina (pexels.com/Jeson Cabilic)
ilustrasi kota Makati, Filipina (pexels.com/Jeson Cabilic)

Berbeda dari Thailand dan Malaysia, persoalan di Filipina lebih banyak dipicu oleh dinamika politik. Pemerintah Filipina membatalkan tiga proyek kereta yang sebelumnya dibiayai lewat pinjaman lunak dari China, dengan total nilai mencapai sekitar 5 miliar dolar AS.

Keputusan tersebut diambil di tengah memburuknya hubungan bilateral antara Manila dan Beijing. Pemerintah Filipina kini memilih mencari mitra baru yang dianggap lebih transparan dan tidak terlalu membebani negara dari sisi finansial maupun diplomatik.

4. Laos mulai rasakan dampak berat dari utang proyek

ilustrasi negara Laos (pexels.com/Stephen Leonardi)
ilustrasi negara Laos (pexels.com/Stephen Leonardi)

Laos menjadi contoh lain yang kini jadi perhatian banyak pihak. Negara ini telah menyelesaikan proyek kereta cepat yang menghubungkan ibu kota Vientiane dengan perbatasan China pada 2021. Meskipun proyeknya selesai tepat waktu, beban utang yang ditimbulkan sangat besar bagi perekonomian negara kecil seperti Laos.

Menurut analisis dari Asian Development Bank, proyek tersebut berpotensi menimbulkan “liabilitas keuangan besar” dan dinilai “tidak mungkin membawa manfaat ekonomi signifikan”. Kondisi ini membuat Laos sulit menyeimbangkan antara pembayaran utang dan kebutuhan pembangunan domestik lainnya.

5. Kamboja tetap hati-hati tapi belum mundur

ilustrasi penduduk lokal negara Kamboja (pexels.com/Humphrey Muleba)
ilustrasi penduduk lokal negara Kamboja (pexels.com/Humphrey Muleba)

Kamboja termasuk negara yang masih tertarik melanjutkan kerja sama dengan China untuk proyek kereta cepat senilai sekitar 4 miliar dolar AS. Meski begitu, beberapa kali terjadi penundaan dan ketidakjelasan pendanaan dari Beijing.

Pemerintah Kamboja kini lebih berhati-hati dan mulai meninjau kembali skema pembiayaannya. Ada kekhawatiran bahwa proyek semegah itu bisa menimbulkan ketergantungan finansial jangka panjang kalau gak dikelola dengan baik. Namun, mereka juga melihat peluang besar dari sisi pariwisata dan konektivitas antarwilayah jika proyek tersebut berhasil.

Kisah Indonesia lewat proyek kereta cepat Jakarta-Bandung kini jadi bahan refleksi bagi banyak negara di Asia Tenggara. Mimpi memiliki transportasi modern memang menggoda, tapi di baliknya ada tantangan besar dari sisi biaya, utang, dan keberlanjutan ekonomi.

Langkah Indonesia untuk menegosiasikan ulang utang proyek ini bukan sekadar upaya penyelamatan finansial, tapi juga sinyal penting bahwa transparansi dan kehati-hatian harus jadi prioritas dalam proyek berskala besar. Negara lain kini mulai belajar, bahwa kecepatan membangun bukan satu-satunya ukuran kemajuan, melainkan kemampuan mengelola risiko agar pembangunan tetap berpihak pada masa depan rakyat.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us

Latest in News

See More

Ratusan Dokumen Rahasia Inggris Tersebar di Dark Web, Ulah Rusia?

20 Okt 2025, 23:29 WIBNews