Cegah Kelangkaan, WHO Ingatkan Produsen Segera Genjot Produksi Masker

Jenewa, IDN Times - Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengingatkan publik soal kebutuhan masker dan alat-alat medis lainnya bagi para pekerja kesehatan dalam menghadapi virus corona baru COVID-19.
Dalam keterangan tertulisnya, Selasa (3/4), WHO memprediksi setiap bulan para petugas kesehatan akan butuh 89 juta masker medis, 76 sarung tangan eksaminasi, dan 1,6 juta goggle.
Oleh karena itu, WHO meminta pemerintah dan publik mengikuti imbauan untuk menjaga rantai suplai barang secara efektif.
"Kami juga bekerja sama dengan pemerintah, manufaktur, dan Jaringan Rantai Suplai Pandemik (PPE) untuk meningkatkan produksi dan mengamankan suplai bagi negara-negara yang sangat terdampak dan berisiko," kata Tedros.
1. WHO menegaskan para petugas kesehatan tidak bisa bekerja tanpa masker

Hingga kini, ada lebih dari 92.000 kasus virus corona COVID-19, dan setidaknya 3.200 kematian di seluruh dunia. Sedikitnya 75 negara juga telah melaporkan kasus COVID-19 dengan Italia dan Iran menjadi dua tempat di luar Tiongkok yang memiliki tingkat kematian terbesar. Sementara di Korea Selatan, jumlah kasusnya semakin bertambah pesat.
"Kami khawatir dengan kemampuan negara untuk merespons diganggu oleh meningkatnya dan semakin parahnya disrupsi terhadap suplai global, dari perlengkapan perlindungan pribadi yang disebabkan oleh melonjaknya permintaan, penimbunan, dan penyalahgunaan," tegas Tedros. Ini membahayakan bagi para pekerja medis.
"Kelangkaan membuat dokter, perawat dan pekerja kesehatan di garis depan lainnya kekurangan kelengkapan secara membahayakan untuk merawat pasien COVID-19, karena akses terbatas kepada suplai seperti sarung tangan, masker medis, respirator, goggle, pelindung muka, seragam medis, dan apron," tambahnya.
2. Harga masker di berbagai tempat mulai meroket dan persediaan semakin langka

WHO pun menyadari kepanikan karena COVID-19 mengakibatkan publik membeli masker untuk kebutuhan sehari-hari. Tidak sedikit juga laporan yang menunjukkan oknum memanfaatkan situasi ini untuk memborong, menimbun, kemudian menjual kembali masker serta hand sanitizer dengan harga tidak rasional.
"Kita tidak bisa menghentikan COVID-19 tanpa melindungi para pekerja kesehatan kita," kata Tedros. "Harga-harga masker meningkat enam kali lipat, respirator N95 lebih dari tiga kali lipat, dan seragam medis dijual dua kali lipat."
Misalnya, di sebuah marketplace lokal ada yang menjual satu masker N95 seharga Rp1,5 juta, sedangkan satu kotak berisi 50 masker dengan merek Sensi dibanderol sebesar Rp350 ribu. Satu botol hand sanitizer ukuran kecil yang normalnya hanya belasan ribu rupiah menjadi puluhan ribu.
Di banyak minimarket, supermarket dan apotek Indonesia, kelangkaan mulai terjadi sehingga penjual membatasi pembelian. Sementara itu, Wired melaporkan pada Februari lalu Amazon memperingatkan penjual pihak ketiga di situsnya, yang sengaja meninggikan harga masker dengan menyebut praktik ini melanggar kebijakan.
3. Produksi global harus ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan
Mempertimbangkan betapa mustahilnya petugas kesehatan bekerja tanpa masker atau sarung tangan, WHO turut mengirimkan hampir setengah juta set perlengkapan perlindungan pribadi ke 27 negara, tapi persediaan juga menipis.
"Suplai butuh berbulan-bulan untuk dikirim, manipulasi pasar menyebarluas dan stok seringkali dijual kepada penawar tertinggi," kata Tedros.
"Secara global, diprediksi bahwa suplai PPE harus ditingkatkan sebanyak 40 persen," tambahnya. "Kami terus meminta produsen segera meningkatkan produksi untuk memenuhi permintaan dan menjamin suplai."
WHO pun berharap pemerintah "mengembangkan insentif" agar produsen melakukannya. "Ini termasuk memudahkan pembatasan ekspor dan distribusi perlengkapan perlindungan personal serta suplai medis lainnya," jelasnya.
"Sekali lagi, ini adalah masalah solidaritas. Ini tak bisa diselesaikan oleh WHO sendiri atau industri saja," Tedros menegaskan.