Desak Mundur PM Paetongtarn, Ribuan Warga Thailand Turun ke Jalan

- Rekaman telepon kontroversial memicu krisis politik
- Ribuan warga turun ke jalan menuntut pengunduran PM
- PM Paetongtarn menghadapi tuntutan hukum dan potensi pemberhentian
Jakarta, IDN Times - Ratusan demonstran turun ke jalan di Bangkok pada Sabtu (28/6/2025), menuntut Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra mundur. Demonstrasi ini menyusul kebocoran rekaman telepon kontroversial antara Paetongtarn dengan mantan pemimpin Kamboja, Hun Sen, yang memicu krisis politik dan konflik perbatasan.
Aksi ini menjadi unjuk rasa terbesar sejak Partai Pheu Thai kembali berkuasa pada 2023. Tekanan terhadap Paetongtarn meningkat, di tengah koalisi pemerintahan yang rapuh dan lesunya ekonomi nasional. Situasi diperburuk oleh ancaman mosi tidak percaya yang berpotensi diajukan pada Juli mendatang.
1. Krisis politik usai bocornya rekaman
Rekaman percakapan berdurasi 17 menit yang bocor pada Rabu (18/6/2025) memperdengarkan Paetongtarn menyebut komandan militer Thailand sebagai lawan dan berbicara dengan nada lunak kepada Hun Sen, yang kini menjabat Presiden Senat Kamboja. Sikap itu dianggap publik merendahkan militer dan mengorbankan kedaulatan negara.
“Paetongtarn dikecam karena dianggap tunduk pada Hun Sen, yang memperburuk hubungan bilateral,” ujar Thitinan Pongsudhirak, profesor ilmu politik Universitas Chulalongkorn, dilansir CNN.
Ketegangan bermula dari bentrokan bersenjata pada 28 Mei di wilayah sengketa Segitiga Zamrud, yang menewaskan satu tentara Kamboja. Insiden itu mendorong Thailand membatasi perjalanan darat dan mengancam memutus pasokan listrik ke wilayah perbatasan Kamboja.
Dalam konferensi pers pada Kamis (19/6/2025), Paetongtarn membela diri. Namun, pernyataannya gagal meredakan kemarahan publik.
Krisis memburuk ketika Partai Bhumjaithai, mitra koalisi terbesar kedua, menarik dukungan pada hari yang sama rekaman bocor.
“Kami tidak bisa mentolerir tindakan yang membahayakan integritas nasional,” ujar perwakilan Bhumjaithai, dilansir The Straits Times.
2. Protes meluas, sentimen nasionalis menguat
Ribuan warga berkumpul di sekitar Victory Monument pada Sabtu (28/6/2025), membawa bendera nasional dan spanduk menuntut pengunduran diri perdana menteri. Aksi ini didominasi kelompok “Yellow Shirts,” yang dikenal sebagai pendukung monarki dan oposisi keluarga Shinawatra.
“Ini perdana menteri terlemah yang pernah kami miliki. Kami ingin melindungi kedaulatan Thailand,” kata Tatchakorn Srisuwan, pemandu wisata dari Surat Thani, dikutip The Washington Post.
Demonstrasi ini mengingatkan pada protes-protes yang memicu kudeta militer terhadap Thaksin dan Yingluck Shinawatra pada 2006 dan 2014. Namun, analis politik Ken Lohatepanont menilai skenario kudeta kecil kemungkinannya.
“Proses demokrasi belum buntu, jadi kudeta bukan ancaman utama saat ini,” ujarnya kepada The Guardian.
Kemarahan publik juga dipicu oleh hubungan erat keluarga Shinawatra dan Hun Sen, yang menyebut Thaksin sebagai “saudara dewa.” Kritikus menilai hubungan ini membuat Paetongtarn tampak berpihak pada Kamboja.
“Paetongtarn tidak punya kemampuan memimpin. Dia harus mundur,” kata Tasana Soma, pensiunan yang ikut berdemo, dikutip Associated Press.
3. Ancaman hukum dan potensi pemberhentian
Paetongtarn kini menghadapi tuntutan hukum yang bisa mengakhiri jabatannya. Pada Selasa (24/6/2025), sejumlah senator mengajukan petisi ke Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikannya atas dugaan pelanggaran etika. Komisi Anti-Korupsi Nasional juga menyelidiki kasus tersebut.
“Kami sedang menyelidiki pelanggaran etika serius yang dilakukan perdana menteri,” kata Sarote Phuengrampan, Sekjen Komisi Anti-Korupsi, dilansir The Hindu.
Mahkamah Konstitusi dijadwalkan memberi keputusan awal setelah 28 Juni 2025. Jika terbukti bersalah, Paetongtarn bisa dipecat, seperti pendahulunya dari Pheu Thai yang dilengserkan pada 2024.
“Saya siap membuktikan tidak ada keuntungan pribadi dan tidak ada kerugian negara dari percakapan itu,” ujar Paetongtarn dalam wawancara, dilansir BBC.
Sementara itu, Hun Sen memperkeruh situasi dengan menyerang Paetongtarn dalam pidato televisi pada Jumat (27/6/2025), dan menyerukan pergantian pemerintahan Thailand.
Menanggapi hal ini, Kementerian Luar Negeri Thailand menyatakan akan tetap mengedepankan jalur diplomasi.
“Thailand tetap berkomitmen pada solusi damai,” ujar juru bicara kementerian.