Fakta-Fakta Program Nuklir Iran: Sedekat Apa Teheran ke Bom Atom?

- Pengayaan uranium adalah proses krusial dalam program nuklir, membedakan tujuan sipil dan militer.
- Sejarah program nuklir Iran dimulai pada 1950-an dengan bantuan Amerika Serikat, kemudian terhenti setelah Revolusi Islam.
- Temuan terkait program nuklir Iran mengkhawatirkan, termasuk pengayaan uranium hingga tingkat yang dekat dengan material bom.
Jakarta, IDN Times - Timur Tengah kembali memanas setelah Israel-Iran kembali berkonflik dengan saling kirim rudal. Ketegangan ini dimulai oleh serangan Israel yang menargetkan fasilitas nuklir, ilmuwan, serta komandan militer Iran. Israel menyatakan serangannya ini bertujuan untuk mencegah Iran membangun senjata nuklir atau bom atom.
Israel mengklaim Iran semakin dekat untuk mencapai bom nuklir. Namun, Teheran secara konsisten membantah tuduhan tersebut dan menyatakan program nuklirnya murni untuk tujuan damai. Artikel ini akan mengupas fakta-fakta terkait program nuklir Iran.
1. Apa itu pengayaan uranium?

Secara mendasar, program nuklir bisa bertujuan sipil untuk pembangkit listrik, atau militer untuk membuat senjata. Titik krusial yang membedakan keduanya adalah proses teknis yang disebut pengayaan uranium. Proses ini bertujuan untuk meningkatkan konsentrasi isotop bernama uranium-235 (U-235).
Di alam, kandungan U-235 hanya sekitar 0,7 persen dari total satu bongkahan uranium, dan sisanya adalah uranium-238 (U-238) yang lebih stabil. Hanya U-235 yang dapat memicu reaksi berantai untuk menghasilkan energi atau ledakan.
Proses pengayaan ini dilakukan menggunakan ribuan mesin sentrifugal super cepat yang berputar puluhan ribu kali per menit. Dalam tabung-tabung sentrifugal, gas uranium diputar dengan kecepatan ekstrem, menyebabkan isotop U-238 yang lebih berat terlempar ke dinding luar, sementara U-235 yang lebih ringan terkonsentrasi di bagian tengah. Proses ini diulang berkali-kali hingga mencapai tingkat kemurnian yang diinginkan, dilansir Scientific American.
Tingkat kemurnian inilah yang menjadi penentu. Untuk bahan bakar reaktor nuklir, uranium cukup diperkaya hingga sekitar 3,5 - 5 persen. Namun, untuk menjadi inti dari sebuah bom atom, tingkat kemurniannya harus mencapai 90 persen atau lebih, yang dikenal sebagai uranium kualitas senjata (WGU).
2. Sejarah program nuklir Iran

Melansir DW, jejak program nuklir Iran dapat ditelusuri kembali ke era 1950-an, di mana program ini justru dimulai dengan bantuan dari Amerika Serikat. Saat itu, Iran masih dipimpin oleh Shah Mohammad Reza Pahlavi yang merupakan sekutu dekat Barat. Namun, lanskap politik berubah total setelah Revolusi Islam pada 1979 yang menggulingkan Shah dan melahirkan rezim teokratis yang anti-Barat.
Sejak revolusi tersebut, dukungan dari negara-negara Barat terhenti dan muncul kekhawatiran terkait kelanjutan program di tangan rezim baru. Titik balik terjadi pada awal tahun 2000-an, ketika pengawas internasional menemukan uranium diperkaya tingkat tinggi di fasilitas Natanz. Penemuan ini memicu serangkaian sanksi ekonomi terhadap Iran.
Upaya diplomasi selama bertahun-tahun akhirnya membuahkan hasil pada 2015 dengan lahirnya perjanjian nuklir yang dikenal sebagai Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Melalui kesepakatan ini, Iran setuju untuk membatasi aktivitas pengayaan uraniumnya di level 3,67 persen dan membuka fasilitasnya agar diawasi secara ketat. Sebagai imbalannya, sanksi-sanksi ekonomi yang melumpuhkan Iran harus dicabut secara bertahap.
Namun, perjanjian tersebut tidak berumur panjang. Pada 2018, Presiden AS Donald Trump secara sepihak menarik negaranya dari perjanjian JCPOA, menyebutnya sebagai kesepakatan yang buruk, dan menerapkan kembali sanksi yang jauh lebih berat. Sebagai balasan, Iran mulai meninggalkan komitmennya dalam JCPOA dan kembali mengakselerasi program pengayaan uraniumnya ke level yang belum pernah terjadi sebelumnya.
3. Temuan-Temuan mengkhawatirkan terkait program nuklir Iran

Sejak runtuhnya JCPOA, kemajuan program nuklir Iran semakin mengkhawatirkan negara-negara Barat. Laporan dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menyebutkan bahwa Iran telah mengumpulkan stok uranium yang diperkaya hingga kemurnian 60 persen dalam jumlah yang sangat signifikan, yaitu lebih dari 400 kilogram. Institute of Science and International Security (ISIS) menilai tidak ada alasan sipil yang masuk akal untuk memproduksi uranium pada tingkat kemurnian setinggi itu.
Pada 2023, inspektur IAEA bahkan menemukan adanya partikel uranium yang telah diperkaya hingga kemurnian 83,7 persen di fasilitas nuklir Iran. Angka ini sangat dekat dengan ambang batas 90 persen yang dibutuhkan untuk material bom. Penemuan ini dianggap sebagai bukti bahwa Iran memiliki kemampuan teknis untuk mencapai level pengayaan kualitas senjata.
Kemampuan Iran untuk mempercepat laju produksi juga diduga meningkat pesat. Negara itu kini telah berhasil memasang dan mengoperasikan ribuan sentrifugal generasi baru yang jauh lebih canggih dan efisien, seperti model IR-6. Sentrifugal canggih ini memungkinkan Iran untuk memperkaya uranium dalam jumlah besar dengan waktu yang jauh lebih singkat dibandingkan model-model lama.
Situasi ini diperparah oleh sikap Iran yang semakin tidak kooperatif terhadap upaya pengawasan internasional. Teheran telah berhenti menerapkan protokol pengawasan tambahan, mencabut akreditasi beberapa inspektur berpengalaman IAEA, dan melepas kamera pengawas dari banyak fasilitas nuklirnya. IAEA bahkan mengaku tidak dapat lagi menjamin bahwa program nuklir Iran sepenuhnya bertujuan damai, dilansir BBC.
4. Apakah Iran sudah memiliki senjata nuklir?

Lalu, apakah Iran sudah punya bom nuklir? Menurut laporan intelijen negara-negara Barat, jawabannya adalah belum. Konsensus saat ini menyatakan bahwa Iran belum memiliki senjata nuklir yang sudah jadi dan siap digunakan. Laporan intelijen AS juga menyebut Pemimpin Tertinggi Iran belum memberi perintah untuk memulai kembali program pembuatan senjata.
Penting untuk dipahami bahwa memiliki bahan baku nuklir tidak sama dengan memiliki senjata nuklir. Mempunyai stok uranium yang diperkaya memang merupakan langkah paling sulit, tetapi itu bukanlah langkah terakhir. Material tersebut masih harus melewati serangkaian proses yang sangat rumit untuk menjadi bom.
Proses tersebut mencakup pembentukan material uranium menjadi inti logam berbentuk bola, serta merancang mekanisme ledakan untuk memicu reaksi berantai nuklir. Selain itu, satu unit senjata nuklir juga membutuhkan pengembangan hulu ledak yang stabil dan sistem pengiriman yang andal. Sistem pengiriman ini biasanya berupa rudal balistik yang mampu membawa hulu ledak tersebut secara akurat ke target yang jauh.
5. Seberapa dekat Iran ke senjata nuklir?

Para ahli memakai istilah "breakout time" untuk mengukur seberapa dekat suatu negara ke bom nuklir. Ini adalah perkiraan waktu yang dibutuhkan untuk mengubah stok uranium yang ada menjadi material kualitas senjata yang cukup untuk satu bom. Berkat kemajuan teknologinya, breakout time Iran kini diperkirakan menjadi sangat singkat.
Beberapa laporan AS menyebut Iran hanya membutuhkan waktu sekitar satu hingga dua minggu untuk melakukannya. Sementara, analisis ISIS bahkan memperkirakan Iran bisa menghasilkan bahan yang cukup untuk bom pertamanya hanya dalam waktu dua hingga tiga hari.
Jika Iran memutuskan untuk melakukan "breakout", potensi produksinya dinilai akan sangat mengkhawatirkan. Stok uranium yang dimilikinya saat ini diperkirakan cukup untuk membuat sekitar sembilan bom nuklir. Jumlah itu bahkan diproyeksikan dapat meningkat hingga 19 bom pada akhir bulan ketiga sejak keputusan dibuat.
Seperti disinggung sebelumnya, Iran masih perlu melalui berbagai proses rumit lainnya untuk membuat senjata nuklir siap pakai. Namun, menurut The Telegraph, ancaman nuklir juga dapat berupa "bom mentah", yaitu alat ledak nuklir sederhana yang bisa dikirim melalui metode lain seperti kapal atau truk. Oleh karena itu, potensi nuklir Iran membuat banyak musuh-musuhnya was-was.
Kesimpulannya, belum ada bukti bahwa Iran telah membangun senjata nuklir yang siap digunakan. Namun, beberapa analisis menyimpulkan bahwa Iran telah mencapai titik kritis untuk meraih senjata nuklir. Jika Iran mencapai senjata nuklir, kemungkinan negara lain di Timur Tengah, seperti Arab Saudi akan melakukan hal serupa. Hal ini dapat memicu perlombaan senjata di kawasan yang telah panas tersebut.