Hukuman Trump di Kasus Uang Tutup Mulut Ditunda hingga Pemilu Usai

- Hakim Merchan menunda hukuman Trump atas kasus uang tutup mulut hingga 26 November 2024.
- Penundaan ini memberi kelonggaran bagi Trump di tengah kampanye kepresidenannya yang berlangsung.
- Kasus ini berpusat pada pembayaran sebesar 130.000 dolar AS kepada bintang film dewasa Stormy Daniels menjelang pemilihan presiden 2016.
Jakarta, IDN Times - Hakim Juan Merchan mengumumkan penundaan hukuman Donald Trump dalam kasus uang tutup mulut hingga 26 November 2024. Keputusan ini diambil pada Jumat (6/9/2024). Hukuman Trump akan dijatuhkan tiga minggu setelah pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) berlangsung.
Penundaan memberikan kelonggaran bagi mantan presiden AS tersebut di tengah kampanye kepresidenannya yang sedang berlangsung. Trump, yang menjadi presiden pertama AS yang dihukum atas kejahatan, menghadapi ancaman hukuman hingga 4 tahun penjara.
"Pengadilan adalah institusi yang adil, tidak memihak, dan apolitis.Keputusan ini seharusnya menghilangkan dugaan apa pun tentang keberpihakan pengadilan" tulis Hakim Merchan dalam keputusannya, dilansir dari Associated Press.
1. Hakim tidak ingin proses hukum pengaruhi pemilihan umum
Hakim Merchan menyatakan bahwa penundaan ini bertujuan untuk menghindari kesan bahwa proses hukum dipengaruhi atau berusaha mempengaruhi pemilihan presiden yang akan datang. Keputusan ini berarti pemilih AS akan memilih presiden mereka tanpa mengetahui apakah kandidat Republik tersebut akan dipenjara atau tidak.
Pengacara Trump telah mendorong penundaan ini. Mereka berargumen bahwa menghukum mantan presiden di tengah kampanye akan menjadi bentuk campur tangan pemilu. Sementara itu, jaksa dari kantor Jaksa Distrik Manhattan Alvin Bragg mengaku tidak mengambil sikap ini atas permintaan penundaan tersebut.
"Keyakinan publik terhadap integritas sistem peradilan kita menuntut sidang hukuman yang sepenuhnya berfokus pada vonis juri dan pertimbangan faktor-faktor yang memberatkan dan meringankan, bebas dari gangguan atau distorsi," tulis Merchan, dilansir dari The Guardian.
2. Trump diadili atas pembayaran Rp2 miliar ke bintang film dewasa
Kasus ini berpusat pada pembayaran sebesar 130.000 dolar AS (sekitar Rp2 miliar) kepada bintang film dewasa Stormy Daniels menjelang pemilihan presiden 2016. Jaksa menyebut pembayaran tersebut sebagai bagian dari upaya Trump untuk mencegah pemilih mendengar cerita-cerita skandal terkait dirinya.
Pada Mei 2024, juri memvonis Trump bersalah atas 34 tuduhan pemalsuan catatan bisnis terkait pembayaran tersebut. Mantan pengacara Trump, Michael Cohen, membayar Daniels dan kemudian uang tersebut diganti oleh Trump. Perusahaan Trump mencatat penggantian tersebut sebagai biaya hukum.
Trump menyangkal keras tuduhan tersebut dan berjanji akan mengajukan banding atas vonis ini. Mantan presiden AS itu bersikeras bahwa cerita-cerita tersebut palsu dan penggantian uang dicatat dengan benar.
3. Demokrat jadikan hukuman Trump sebagai amunisi serangan
Hakim Merchan juga mengumumkan bahwa ia akan memutuskan pada 12 November tentang permintaan Trump untuk membatalkan vonis. Keputusan ini berdasarkan putusan Mahkamah Agung AS Juli lalu tentang kekebalan presiden. Putusan tersebut telah menyebabkan penundaan signifikan dalam kasus federal lainnya terhadap Trump.
Meskipun Trump menghadapi beberapa kasus hukum, kasus uang tutup mulut ini adalah satu-satunya yang telah sampai ke pengadilan. Penundaan ini dianggap sebagai keberuntungan bagi Trump dalam musim pemilihan yang sarat dengan bahaya hukum baginya.
Sementara itu, Demokrat telah menjadikan hukuman Trump sebagai fokus pesan kampanye mereka. Dalam pidato mereka pada konvensi partai di Chicago bulan lalu, Presiden Joe Biden menyebut Trump sebagai penjahat yang mencalonkan diri sebagai presiden.
Analis hukum MSNBC, Katie Phang, mengkritik keputusan penundaan ini.
"Hakim Merchan seharusnya menjatuhkan hukuman kepada Trump pada 18 September dan kemudian mengizinkannya tetap bebas sementara bandingnya ditunda. Penundaan ini hanya akan membuat Trump semakin berani dan memicu narasi bahwa ada sesuatu yang salah dalam kasus ini," ujar Phang.