Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Jejak Diplomasi Indonesia 2025: Ambisi Global dan Ujian Konsistensi

WhatsApp Image 2025-09-23 at 10.26.50 PM.jpeg
Presiden RI Prabowo Subianto berpidato di PBB (IDN Times/Marcheilla Ariesta)
Intinya sih...
  • Presiden Prabowo melakukan 34 kunjungan luar negeri ke 25 negara selama 63 hari, dengan fokus pada pertemuan bilateral dan kerja sama konkret.
  • Presiden Prabowo memosisikan Indonesia sebagai pengusung agenda keadilan global dan perdamaian dunia di Sidang Majelis Umum PBB, serta mengguncang panggung dengan sikap konfrontatif terhadap praktik standar ganda dalam hukum internasional.
  • Indonesia mencapai kesepakatan IEU-CEPA dengan Uni Eropa, memperluas jejaring ekonomi melalui CEPA dengan Kanada serta peningkatan perdagangan dengan negara-negara BRICS, serta bergabung sebagai anggota penuh BRICS untuk memperkuat posisi Indonesia di Global
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Ketidakpastian geopolitik global sepanjang 2025 mendorong banyak negara menata ulang strategi luar negerinya, termasuk Indonesia. Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, Jakarta memilih jalur diplomasi yang lebih aktif, dengan memperbanyak pertemuan bilateral dan mengambil posisi dalam isu-isu global utama, mulai dari konflik Gaza, reformasi tata kelola dunia, hingga ekonomi Global South.

Namun, di balik aktivitas tersebut, muncul pertanyaan penting: sejauh mana diplomasi yang agresif ini benar-benar menghasilkan pengaruh strategis, dan bukan sekadar memperluas visibilitas Indonesia di panggung global?

1. Lawatan luar negeri intens oleh Presiden Prabowo

Prabowo
Presiden Prabowo Subianto saat tiba di Tanah Air usai kunjungan Sidang Umum PBB di New York, Amerika Serikat. Prabowo tiba di Indonesia melalui Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Sabtu (27/9/2025) sekitar pukul 15.30 WIB. (YouTube/Sekretariat Presiden)

Dalam satu tahun penuh, Presiden Prabowo tercatat melakukan 34 kunjungan luar negeri ke 25 negara selama 63 hari. Lawatan tersebut mencakup hampir seluruh kawasan strategis dunia, Asia, Eropa, Amerika, Afrika, dan Australia.

Malaysia menjadi negara yang paling sering dikunjungi, mencerminkan prioritas Indonesia di kawasan ASEAN, disusul Uni Emirat Arab, Mesir, Qatar, Singapura, dan Rusia.

Mayoritas kunjungan dilakukan dalam format pertemuan bilateral langsung dengan kepala negara, menandakan pendekatan personal diplomacy yang kuat. Fokusnya bukan hanya simbolik, melainkan konkret: penguatan kerja sama ekonomi, pertahanan, energi, dan pangan.

Namun, pendekatan personal diplomacy yang kuat, dengan Presiden sebagai aktor utama, juga membawa konsekuensi struktural. Diplomasi menjadi sangat bergantung pada figur kepala negara, sementara peran diplomasi teknokratik, melalui kementerian, duta besar, dan mekanisme regional, berisiko tersubordinasi. Ketergantungan semacam ini dapat menciptakan kerentanan, terutama ketika dinamika global menuntut respons cepat yang tidak selalu bisa ditangani melalui diplomasi tingkat tinggi.

Dari sisi kawasan, dominasi kunjungan ke negara-negara tertentu seperti Malaysia dan Uni Emirat Arab mencerminkan prioritas pragmatis Indonesia pada stabilitas regional dan akses ekonomi. Namun, pola ini juga menunjukkan adanya ketidakseimbangan perhatian terhadap isu-isu strategis di kawasan lain, terutama Afrika dan Amerika Latin, yang selama ini kerap disebut sebagai bagian penting dari solidaritas Global South, tetapi relatif minim tindak lanjut konkret.

2. Presiden Prabowo mengguncang panggung Sidang Majelis Umum PBB

WhatsApp Image 2025-09-23 at 16.12.24 (1).jpeg
Suasana General Assembly Hall di Markas Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), di kota New York, Amerika Serikat, Senin sore (22/9/2025) saat Presiden Prabowo pidato. (IDN Times/Uni Lubis)

Di panggung multilateral, terutama Sidang Majelis Umum PBB ke-80, Presiden Prabowo secara konsisten memosisikan Indonesia sebagai pengusung agenda keadilan global dan perdamaian dunia. Isu Palestina dijadikan poros utama diplomasi Indonesia, dengan seruan terbuka agar pengakuan atas kemerdekaan Palestina ditempatkan sebagai prasyarat politik bagi tercapainya perdamaian melalui skema solusi dua negara.

Namun, yang membedakan pendekatan ini dari diplomasi normatif sebelumnya adalah nada konfrontatif terhadap praktik standar ganda dalam hukum internasional. Indonesia tidak lagi sekadar mengutuk kekerasan atau menyampaikan keprihatinan kemanusiaan, melainkan secara eksplisit menantang negara-negara besar yang selama ini mengedepankan prinsip universal, tetapi selektif dalam penerapannya. Seruan penghentian perang di Gaza dibingkai sebagai kegagalan kolektif tatanan global, bukan semata konflik regional.

Dalam kerangka itu pula, pernyataan Prabowo bahwa Indonesia bersedia mengakui Israel sebagai negara apabila Palestina diakui terlebih dahulu oleh Israel menjadi manuver diplomatik yang signifikan sekaligus kontroversial. Di satu sisi, pernyataan ini dapat dibaca sebagai upaya membuka ruang kompromi politik yang realistis. Namun di sisi lain, langkah tersebut juga berisiko mengaburkan posisi historis Indonesia yang selama ini menolak segala bentuk normalisasi sebelum hak-hak dasar Palestina terpenuhi.

Terlepas dari kontroversi tersebut, sikap Indonesia ini menegaskan transformasi politik luar negeri bebas aktif ke fase yang lebih asertif. Indonesia tidak lagi sekadar menjaga jarak yang seimbang, tetapi secara sadar memilih berdiri di garis depan perdebatan moral global, meski dengan konsekuensi diplomatik. Dalam konteks Global South, pendekatan ini memperkuat peran Indonesia sebagai aktor normatif, tetapi sekaligus menguji konsistensi antara keberanian retorik dan kapasitas pengaruh nyata di arena internasional.

3. Terobosan dalam diplomasi ekonomi dan perdagangan

Screenshot_20250715_213117_Instagram.jpg
Presiden Prabowo Subianto (kiri) ketika bertemu dengan Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen saat memberikan keterangan pers bersama di kantor pusat Uni Eropa, Brussel. (www.instagram.com/@prabowo)

Salah satu capaian diplomasi paling signifikan pada 2025 adalah tercapainya Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) setelah 10 tahun perundingan. Kesepakatan ini menghapus lebih dari 98 persen tarif dan mencakup hampir seluruh nilai impor bilateral.

Bagi Indonesia, IEU-CEPA bukan sekadar perjanjian dagang, melainkan pengakuan strategis Uni Eropa terhadap posisi Indonesia sebagai mitra setara. Di tengah ketidakpastian geopolitik global, kesepakatan ini memperluas akses pasar, memperkuat hilirisasi industri, dan meningkatkan daya tawar Indonesia di rantai pasok global.

Selain Uni Eropa, Indonesia juga memperluas jejaring ekonomi melalui CEPA dengan Kanada serta peningkatan perdagangan dengan negara-negara BRICS, terutama India dan Rusia.

4. BRICS dan taruhan Indonesia di Global South

IMG-20250708-WA0017.jpg
Presiden Prabowo Subianto hadiri KTT BRICS 2025 (dok. BPMI Sekretariat Presiden)

Keputusan Indonesia bergabung sebagai anggota penuh BRICS pada 2025 menandai pergeseran penting dalam orientasi geopolitik Jakarta. Langkah ini bukan sekadar soal keanggotaan dalam sebuah forum ekonomi, melainkan sinyal bahwa Indonesia ingin keluar dari posisi ‘netral pasif’ dan mulai ikut membentuk arsitektur kekuatan global dari sisi negara berkembang.

Dalam KTT BRICS di Brasil, Presiden Prabowo mengusulkan gagasan South-South Economic Compact, yakni kerangka kerja sama antarnegara berkembang untuk memperkuat perdagangan, investasi, dan ketahanan ekonomi bersama. Gagasan ini lahir dari realitas sistem ekonomi global selama ini masih didominasi negara maju, sementara negara berkembang kerap menjadi pasar, bukan penentu arah.

Dorongan penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan antaranggota BRICS juga mencerminkan strategi jangka panjang Indonesia. Tujuannya bukan menggantikan dolar AS secara frontal, tetapi mengurangi ketergantungan yang membuat negara berkembang rentan terhadap gejolak ekonomi global. Bagi Indonesia, ini adalah upaya memperkuat daya tahan ekonomi sekaligus memperluas ruang manuver politik.

Namun, bergabung dengan BRICS juga bukan tanpa risiko. Indonesia harus menyeimbangkan hubungan dengan Barat agar tidak terjebak dalam polarisasi geopolitik. Dalam konteks ini, posisi Indonesia sebagai ‘jembatan’ Global South menjadi krusial, tidak sepenuhnya menolak tatanan lama, tetapi berupaya memperbaikinya dari dalam.

5. Posisi Indonesia terkait Gaza dan diplomasi perdamaian

IMG-20251014-WA0009.jpg
Presiden RI, Prabowo Subianto disambut hangat dan akrab oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump saat sesi foto bersama para pemimpin dunia (dok. Tim Media Prabowo)

Peran Indonesia dalam isu Gaza sepanjang 2025 menunjukkan pergeseran dari diplomasi moral ke diplomasi berbasis tindakan. Kehadiran Presiden Prabowo dalam penandatanganan kesepakatan gencatan senjata di Sharm el-Sheikh, Mesir, menempatkan Indonesia bukan hanya sebagai pendukung dari jauh, tetapi sebagai bagian dari proses politik itu sendiri.

Yang membuat peran Indonesia menonjol adalah tawaran pengiriman 20.000 pasukan penjaga perdamaian. Ini bukan langkah simbolik. Pengerahan pasukan berarti komitmen anggaran, risiko keselamatan personel, serta keterlibatan langsung di kawasan konflik. Dengan kata lain, Indonesia mempertaruhkan reputasi dan kapasitas militernya demi stabilitas kawasan.

Langkah ini juga berfungsi sebagai strategi diplomatik. Dengan menunjukkan kesiapan berkontribusi secara konkret, Indonesia meningkatkan posisi tawarnya dalam percakapan internasional, terutama di isu Timur Tengah yang selama ini didominasi kekuatan besar. Jakarta tidak hanya berbicara soal keadilan, tetapi menawarkan solusi operasional.

Meski demikian, tantangan berikutnya adalah memastikan kontribusi ini benar-benar berdampak dan tidak berhenti sebagai pernyataan politik. Kredibilitas Indonesia ke depan akan sangat ditentukan oleh konsistensi antara janji, implementasi, dan keberlanjutan perannya di lapangan.

6. ASEAN dan ujian kepemimpinan Indonesia di kawasan

Presiden Prabowo di KTT ASEAN ke-46, di Kuala Lumpur, Malaysia. (Dok. BPMI Setpres)
Presiden Prabowo di KTT ASEAN ke-46, di Kuala Lumpur, Malaysia. (Dok. BPMI Setpres)

Di Asia Tenggara, Indonesia masih dipersepsikan sebagai natural leader ASEAN. Namun, 2025 juga memperlihatkan bahwa kepemimpinan ini tidak lagi otomatis. Krisis Myanmar yang berlarut, konflik perbatasan antarnegara, serta meningkatnya ketegangan di Laut China Selatan menjadi ujian nyata bagi diplomasi Indonesia.

Sepanjang tahun, Indonesia mencoba mendorong pendekatan yang lebih pragmatis dalam ASEAN, menjaga persatuan kawasan sambil tetap memberi ruang bagi penyelesaian masalah yang realistis. Inisiatif di bidang ketahanan pangan regional dan diplomasi kemanusiaan menunjukkan bahwa Indonesia berusaha menjaga relevansinya, meski hasilnya belum selalu cepat terlihat.

Masalahnya, ekspektasi terhadap Indonesia semakin tinggi, sementara ruang gerak ASEAN sering dibatasi oleh prinsip konsensus. Dalam situasi ini, Indonesia berada di persimpangan antara memimpin dengan risiko konflik internal atau tetap berhati-hati dengan konsekuensi melemahnya pengaruh di kawasan.

7. Diplomasi Indonesia di Titik Transisi

pertemuan 2+2 dengan Menlu dan Menhan Jepang
Menlu Sugiono dan Menhan Sjafrie lakukan pertemuan 2+2 dengan Menlu dan Menhan Jepang. (Dok. Kemlu RI)

Tahun 2025 memperlihatkan diplomasi Indonesia sedang berada di fase transisi. Di bawah Presiden Prabowo, politik luar negeri bergerak ke arah yang lebih tegas, berani mengambil posisi, dan berorientasi hasil. Indonesia mulai tampil sebagai aktor yang ingin ikut membentuk agenda global, bukan sekadar meresponsnya.

Namun, fase ini juga membawa tantangan besar. Ambisi global harus dijaga agar tidak melampaui kapasitas nasional, sementara konsistensi kebijakan menjadi kunci agar diplomasi tidak terjebak pada simbolisme. Jika mampu menjaga keseimbangan ini, Indonesia berpeluang memperkuat posisinya sebagai kekuatan menengah yang berpengaruh.

Yang jelas, sepanjang 2025, Indonesia mengirim sinyal bahwa Jakarta tidak lagi puas berada di ‘pinggir lapangan’ sebagai penonton. Pertanyaannya kini bukan lagi apakah Indonesia ingin berperan lebih besar, melainkan sejauh mana kita mampu mempertahankan peran tersebut secara berkelanjutan.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwifantya Aquina
EditorDwifantya Aquina
Follow Us

Latest in News

See More

Israel Akan Larang Puluhan Organisasi Bantuan Beroperasi di Gaza

01 Jan 2026, 02:52 WIBNews