Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Jumlah Bapak Rumah Tangga Capai Angka Tertinggi di Korsel

Ilustrasi ayah dan anak. (unsplash.com/Kelli McClintock)

Jakarta, IDN Times - Badan Statistik Korea Selatan (Korsel) melaporkan pada Rabu (21/2/2024), semakin banyak laki-laki yang mengaku tidak produktif secara ekonomi pada 2023.

Mereka terdiri dari yang tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan, sambil memberikan pengasuhan penuh waktu bagi anak-anak mereka. Jumlahnya mencapai sekitar 16 ribu orang, meningkat 37,4 persen dari 12 ribu pada tahun sebelumnya.

Angka tersebut merupakan angka tertinggi sepanjang masa sejak 1999, ketika negara tersebut mulai mengumpulkan data terkait, dilansir Korea Herald.

1. Banyak perempuan Korsel yang terus bekerja setelah melahirkan

Populasi bapak rumah tangga juga mengalami peningkatan, dari 6 ribu pada 2013, menjadi 9 ribu pada 2019, dan mencapai 13 ribu ada 2021.

Peningkatan hampir tiga kali lipat yang terlihat selama satu dekade ini diperkirakan berasal dari perluasan kebijakan cuti ayah, dan peningkatan persepsi terhadap laki-laki mengasuh anak. 

Berdasarkan kelompok umur, ada sekitar 8.400 laki-laki atau 53,3 persen dari jumlah total berusia 40-an tahun. Lalu, diikuti oleh 4.600 laki-laki atau 28,8 persen berusia 30-an.

Di sisi lain, jumlah perempuan yang tidak aktif secara ekonomi karena kebutuhan pengasuhan anak mencapai 840 ribu pada 2023, turun 14,7 persen dari 984 ribu pada tahun sebelumnya.

Angka tersebut terus menurun karena semakin banyak perempuan yang terus bekerja setelah melahirkan, turun dari 1,48 juta pada 2013 menjadi 1,26 juta pada 2017.

Berdasarkan kelompok umur, 497 ribu perempuan atau 9,1 persen dari jumlah total berusia 30-an, diikuti oleh 219 ribu atau 26,1 persen berusia 40-an.

2. Korsel hadapi depopulasi karena rendahnya angka kelahiran

Ilustrasi suasana kota Seoul di Korea Selatan pada malam hari. (pexels.com/Ethan Brooke)

Proporsi penduduk laki-laki maupun perempuan, yang tidak aktif secara ekonomi karena mengasuh anak, juga mengalami penurunan. Diperkirakan akan lebih sedikit perempuan yang tidak aktif secara ekonomi untuk tujuan mengasuh anak di tahun-tahun mendatang.

Sementara itu, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan telah meningkat dari 49,8 persen pada 2011, 50,3 persen pada 2013, dan 53,5 persen pada 2019, kemudian mencapai 55,6 persen pada 2023.

Saat ini, Negeri Ginseng sedang berjuang mengatasi depopulasi akibat terus menurunnya angka kelahiran. Negara tersebut telah melancarkan perang melawan rendahnya tingkat kesuburan.

Tercatat, tingkat kesuburan total negara tersebut berada di angka 0,72 persen pada 2023, dan diperkirakan akan terus menurun menjadi 0,68 persen pada tahun ini, turun di bawah 0,7 untuk pertama kalinya.

3. Program Korsel dalam mengatasi rendahnya angka kelahiran

Ilustrasi bendera Korea Selatan. (pexels.com/byunghyun lee)

Pada 21 Februari, Kementerian Kesataraan Gender dan Keluarga memperkenalkan serangkaian langkah yang bertujuan mengatasi rendahnya angka kelahiran.

Pihaknya mengatakan akan memperkuat dukungan pemerintah terhadap program layanan pentitipan anak bagi keluarga berpenghasilan rendah. Program ini menghubungkan orang tua dengan pekerja penitipan anak, yang dapat menjaga anak berusia 36 bulan atau lebih muda di rumah mereka.

Selain itu, Korsel juga akan memperkuat dukungan terhadap keluarga multikultural dengan memberikan subsidi pendidikan antara 400 ribu won (sekitar Rp4,6 juta) hingga 600 ribu won (Rp7 juta) untuk total 60 ribu siswa sekolah dasar hingga menengah atas yang berasal dari rumah tangga multikultural berpenghasilan rendah.

"Jerman dan Swedia mengalami peningkatan angka kelahiran dengan menemukan keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga," kata Menteri Kesetaraan Gender dan Keluarga Kim Hyun-sook.

"Fondasi untuk mengatasi rendahnya angka kelahiran dapat dibangun dengan menciptakan lingkungan yang ramah keluarga, di mana laki-laki dan perempuan bekerja dan mengasuh anak-anak mereka bersama-sama, sehingga meringankan beban pengasuhan anak," tambahnya, dikutip dari The Straits Times.

Sementara itu, Presiden Yoon Suk Yeol pada 20 Februari menerima pengunduran diri Kim, enam bulan setelah dia mengajukan diri untuk mundur terkait dengan jambore Pramuka kontroversial yang diselenggarakan pada tahun lalu.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rahmah N
EditorRahmah N
Follow Us