Kepala MI6 Inggris: Iran Sebenarnya Ogah Teken Kesepakatan Nuklir

Jakarta, IDN Times – Kepala unit intelijen Inggris, MI6, Richard Moore, mengaku kurang percaya atas keinginan pemimpin Iran Ayatollah Ali Khamenei dalam mencapai kesepakatan nuklir bersama negara kekuatan dunia.
"Saya tidak yakin kita akan sampai di sana. Saya tidak berpikir Pemimpin Tertinggi Iran ingin membuat kesepakatan," kata Moore dalam Aspen Security Forum di Colorado, sebagaimana dilansir Reuters, Kamis (21/7/2022).
Di samping itu, Moore melanjutkan bahwa negara itu juga tidak mau mengakhiri pembicaraan nuklir. Padahal, pembicaraan yang dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) 2015 adalah cara terbaik untuk membatasi program nuklir Iran.
1. Iran akui tidak akan keluar dari upaya negosiasi

Dilansir Al Monitor, pada Rabu, Menteri Luar Negeri Iran, Hossein Amirabdollahian, mengadakan negosiasi nuklir untuk upaya menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015. Dalam sebuah video, Amirabdollahian menegaskan tidak akan meninggalkan upaya negosiasi dan menginginkan kesepakatan yang logis.
“Iran telah menjadi yang paling berkomitmen pada perjanjian dan menyambut baik perjanjian yang kuat dan langgeng. Dan demi mencapai kesepakatan untuk menghapus sanksi kami akan bergerak ke arah negosiasi,” katanya.
Menlu Iran itu juga menyalahkan Amerika Serikat (AS) karena gagal mencapai kembali kesepakatan akibat masalah dalam negerinya.
2. Pembicaraan keduanya menghadapi jalan buntu

Pembicaraan antara Iran dan negara kekuatan dunia kini digambarkan tengah berada di jalan buntu. AS enggan memenuhi beberapa tuntutan yang dikemukakan Iran.
Iran menginginkan jaminan bahwa AS tidak akan lagi meninggalkan kesepakatan itu di masa mendatang, tetapi AS bersikukuh langkah itu sulit lantaran hal tersebut tidak akan disetujui kongres. Joe Biden tidak bisa menjanjikannya karena kesepakatan nuklir adalah pemahaman politik yang tidak mengikat, bukan perjanjian yang mengikat secara hukum.
Selain itu, Iran juga menginginkan agar pasukan Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC) dihapus dari daftar teroris asing AS. Namun, hal itu lagi-lagi ditolak oleh Biden.
Mantan presiden AS, Donald Trump, memasukkan IRGC ke dalam daftar teroris asing sebagai taktik untuk mempersulit penggantinya masuk kembali ke dalam perjanjian JCPOA.
3. AS menarik diri dari perjanjian pada 2018

Pada 2018 di masa pemerintahan Trump, AS menarik diri dari kesepakaran nuklir karena menuduh Teheran melanggar perjanjian. Iran disebut terus memperkaya uraniumnya.
Sanksi tersebut kemudian membatasi kemampuan Iran untuk menjual minyaknya dan melakukan transaksi perbankan. Sebagai balasan, Teheran secara bertahap meningkatkan program nuklirnya, meningkatkan pengayaan uraniumnya dari di bawah 5 persen menjadi 60 persen.
Untuk diketahui, uranium yang diperkaya hingga 90 persen cocok untuk bom nuklir. Karena demikian, Iran kerap kali dituduh berupaya membuat senjata nuklir tetapi pemerintah Iran membantah tuduhan itu.
Teheran secara berulang menegaskan pengembangan nuklirnya adalah untuk tujuan damai. Pada Minggu, penasihat Iran untuk Khamenei mengatakan bahwa negaranya mampu membuat bom nuklir tetapi belum mempertimbangkan untuk melakukannya.