Netanyahu Dituduh Korbankan Warganya Demi Kepentingan Politik

Jakarta, IDN Times - Keluarga sandera Israel yang ditahan mengecam serangan besar-besaran Tel Aviv di Jalur Gaza. Mereka menuding pemerintah mengorbankan sandera dengan melanjutkan kembali perang terhadap kelompok Palestina Hamas.
Lebih dari 400 orang dilaporkan tewas dalam serangan Israel pada Selasa (18/3/2025), sementara ratusan lainnya terluka. Ini adalah gelombang serangan udara terbesar di Gaza sejak gencatan senjata Israel-Hamas dimulai pada 19 Januari 2025. Hamas menyebut eskalasi ini sebagai pembatalan gencatan senjata secara sepihak.
"Keluarga sandera menuntut pertemuan pagi ini (Selasa) dengan perdana menteri, menteri pertahanan, dan kepala tim negosiasi, di mana (para pejabat) harus menjelaskan bagaimana mereka dapat menjamin bahwa para sandera tidak akan terdampak oleh tekanan militer serta bagaimana rencana mereka untuk membawa mereka pulang," kata Forum Sandera dan Keluarga Hilang dalam sebuah pernyataan pada Selasa.
Mereka berencana melakukan demonstrasi pekan ini untuk mendesak Tel Aviv kembali melanjutkan kesepakatan gencatan senjata.
1. Mayoritas warga Israel dukung gencatan senjata
Sebanyak 59 sandera yang ditahan oleh Hamas masih berada di Gaza, dengan lebih dari setengahnya diduga telah tewas. Berbagai jajak pendapat menunjukkan bahwa mayoritas warga Israel mendukung gencatan senjata di Gaza demi memulangkan para sandera yang tersisa, meskipun dukungan untuk melanjutkan perang sampai Hamas dikalahkan tetap tinggi.
“Mereka (sandera) masih bisa dibawa pulang. Dan mereka yang tidak selamat berhak untuk dikembalikan dan dikuburkan dengan cara bermartabat. Kita harus kembali ke gencatan senjata dan negosiasi, dan menjamin pembebasan mereka. Kesepakatan adalah satu-satunya cara untuk membawa mereka semua kembali," kata Ayelet Svatitzky, saudara perempuan Nadav Popplewell, salah satu sandera yang terbunuh di Gaza.
Standing Together, kelompok progresif yang terdiri dari warga Yahudi dan warga Palestina di Israel, mengatakan bahwa mereka telah menerima ratusan seruan yang memprotes serangan tersebut. Mereka juga siap memobilisasi ribuan orang jika pertempuran skala penuh di Gaza kembali berlanjut.
"Kami menolak untuk berpartisipasi dalam perang yang mengabaikan dan akan membunuh sandera kami. Kami menolak untuk membunuh dan dibunuh di Gaza. Kami menolak untuk berjuang demi pemerintah yang tidak sah ini, yang sekarang hanya berperang untuk mempertahankan kekuasaan, terlepas dari apa yang diinginkan sebagian besar rakyat," kata Alon Lee Green, Co-Direktur Standing Together.
2. Serangan ke Gaza bertujuan melanggengkan kelangsungan politik Netanyahu
Dilansir dari The Guardian, gelombang serangan terbaru ini diluncurkan di tengah ketegangan politik yang akut di Israel. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu membutuhkan dukungan dari sekutu sayap kanan untuk memenangkan suara penting di parlemen Israel dalam beberapa hari mendatang, atau berisiko kehilangan kekuasaan. Adapun sekutu-sekutu tersebut menentang keras perang di Gaza secara permanen.
Mantan menteri keamanan nasional sayap kanan, Itamar Ben-Gvir, kembali bergabung dengan pemerintahan pada Selasa. Ia sebelumnya mengundurkan diri pada Januari sebagai protes atas gencatan senjata yang disepakati dengan Hamas.
Dalam pernyataannya di media sosial, Ben-Gvir menyebut serangan baru di Gaza sebagai langkah yang benar, bermoral, etis, dan paling dapat dibenarkan.
Dillansir Al Jazeera, Alon Pinkas, mantan duta besar dan konsul jenderal Israel di New York, mengatakan bahwa serangan yang diperintahkan oleh Netanyahu ini dilakukan semata-mata demi kelangsungan politik sang perdana menteri. Serangan tersebut bertujuan mengalihkan perhatian publik dari upaya pemecatan kepala Shin Bet, Ronen Bar.
"Serangan tersebut tidak memiliki signifikansi militer (dan) tujuan politik," tambahnya.
3. AS beri dukungan penuh terhadap Israel
Sementara itu, Amerika Serikat (AS) menyatakan dukungan penuhnya terhadap tindakan Israel, meskipun Tel Aviv mengingkari kesepakatan yang sebelumnya turut dimediasi oleh Washington.
Utusan AS untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, mengusulkan perpanjangan tahap pertama gencatan senjata, kemudian mendukung Israel mengubah ketentuan perjanjian tersebut. AS juga diam ketika Israel memblokir masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza sebagai upaya menekan Hamas agar menerima persyaratan baru dari Israel, yang menolak negosiasi mengenai gencatan senjata permanen.
Sebelumnya, AS dan negara-negara penjamin lainnya telah berjanji untuk memastikan Israel menghormati ketentuan gencatan senjata dan melanjutkan negosiasi ke tahap kedua dan ketiga yang bertujuan mengakhiri perang.
“Sekarang keadaannya sangat berbeda. Kami memiliki pemerintahan baru (AS) yang mengatakan, 'Bebaskan para sandera sekarang – atau yang lain'," kata Mitchell Barak, analis jajak pendapat Israel dan mantan penasihat politik beberapa tokoh senior Israel, termasuk Netanyahu.
"Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) tidak bisa lagi menggunakan gencatan senjata, atau bahkan para sandera, sebagai alat tawar-menawar," tambahnya