Netanyahu Ogah Otoritas Palestina Berkuasa di Gaza Usai Perang

Jakarta, IDN Times - Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, pada Kamis (16/5/2024) mengatakan bahwa ia tidak akan membiarkan Otoritas Palestina (PA) memerintah Jalur Gaza setelah perang berakhir.
“Saya tidak siap mengganti 'Hamastan' dengan 'Fatahstan',” kata Netanyahu, mengacu pada partai politik Fatah yang mendominasi PA.
Ia menuding badan pemerintahan yang mengawasi wilayah Tepi Barat yang diduduki Israel itu turut mendukung, mendidik dan mendanai aksi teror.
“Selama Hamas masih berdiri, tidak ada aktor lain yang bisa menjalankan pemerintahan sipil di Gaza. Tentu saja bukan otoritas Palestina,” tambahnya.
1. Israel tekankan perlunya pemerintahan alternatif di Gaza
Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, pada Rabu (15/5/2024) mengatakan bahwa Tel Aviv perlu mencari pemerintahan alternatif di Gaza yang bisa diajak bekerja sama setelah Hamas dikalahkan. Dia juga menegaskan bahwa dirinya tidak mendukung pendudukan militer Israel tanpa batas di wilayah tersebut.
Pada Kamis, Gallant mengumumkan bahwa mereka akan mengirim lebih banyak pasukan darat ke Rafah.
Dalam video yang diunggah di media sosial X, menteri tersebut mengatakan bahwa dia berada di dekat Rafah dan telah bertemu dengan tentara, yang mengklaim bahwa pasukannya sedang melemahkan Hamas.
“Mereka tidak punya cadangan, tidak punya kemampuan untuk memproduksi senjata, tidak punya persediaan, tidak punya persenjataan,” katanya, seraya menambahkan tentara telah menghancurkan sejumlah terowongan yang dioperasikan oleh kelompok Hamas.
“Operasi (Rafah) akan dilanjutkan dengan tambahan pasukan darat," tambah dia.
Netanyahu memerintahkan serangan ke Rafah bulan ini, mengabaikan peringatan dari Amerika Serikat (AS) dan PBB bahwa serangan militer tersebut akan menyebabkan bencana kemanusiaan. Kota di perbatasan Mesir ini merupakan tempat berlindung bagi sekitar 1,4 juta warga Palestina yang melarikan diri dari berbagai wilayah di Gaza.
Israel mengklaim Hamas memiliki empat batalyon yang masih beroperasi di Rafah. Beberapa sandera yang ditahan oleh Hamas pada 7 Oktober juga diyakini ditahan di kota tersebut.
2. Lima tentara Israel tewas akibat tembakan tank di Jabalia
Selain menyerang Rafah, pasukan Israel juga melancarkan operasi militer di berbagai wilayah lain di Gaza. Serangan udara menghantam kota Gaza, Zeitoun dan kamp pengungsi Jabalia di Gaza utara, serta kamp pengungsi Nuseirat di Gaza tengah.
Di Jabalia, lima tentara Israel tewas akibat tembakan tank. Militer mengatakan bahwa dua tank Israel secara tidak sengaja menembakkan peluru ke gedung tempat mereka berkumpul di kamp pengungsi Jabalia pada Rabu.
“Lima tentara dari Batalyon Penerjun Payung ke-202 tewas tadi malam dalam insiden korban massal akibat tembakan pasukan kami,” kata militer. Tujuh tentara lainnya juga terluka.
Puluhan ribu warga sipil terpaksa meninggalkan Jabalia, sejak pasukan Israel memulai operasi terbaru mereka di daerah tersebut pada Senin (13/5/2024). Pertempuran sengit juga kembali berkobar di wilayah utara menyusul peringatan militer mengenai upaya Hamas untuk membangun kembali kemampuan militernya di sana.
3. Penutupan perbatasan Rafah makin memperburuk situasi kemanusiaan
Dilansir The National, Komite Penyelamatan Internasional (IRC) mengatakan bahwa operasi kemanusiannya menghadapi gangguan signifikan setelah operasi darat Israel di Rafah, yang mengakibatkan penutupan penyeberangan dan blokade terhadap masuknya pekerja dan bantuan kemanusiaan.
“Apa yang kita saksikan di Rafah hanyalah bencana kemanusiaan. Pemboman Israel yang terus berlanjut, ditambah dengan penutupan penyeberangan Rafah, telah menyebabkan kekurangan bahan bakar dan pembatasan pergerakan yang parah, sehingga melumpuhkan semua operasi kemanusiaan," kata Kiryn Lanning, ketua tim IRC untuk wilayah pendudukan Palestina, dalam sebuah pernyataan.
“Gaza berada di ambang menjadi zona bencana. Pembukaan kembali perbatasan dan peningkatan aliran bantuan sangat penting untuk mencegah keruntuhan yang tidak dapat diperbaiki lagi.”
Program Pangan Dunia PBB (WFP) melaporkan bahwa mereka telah kehabisan stok di Rafah, dan distribusi bantuan pangan telah ditangguhkan di sana sejak Sabtu (11/5/2024). Makanan masih dikirimkan di Khan Younis dan Deir Al Balah, namun dalam kapasitas terbatas.
Sementara itu, Mesir telah menolak usulan Israel agar kedua negara berkoordinasi untuk membuka kembali penyeberangan Rafah, dan mengelola operasinya di masa depan. Mesir bersikeras bahwa penyeberangan tersebut hanya boleh dikelola oleh otoritas Palestina.