Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Cerita WNI Hampir Kena Roket, Dikepung Tank Israel di Gaza

Farid Zanzabil Al Ayubi, WNI relawan MER-C di Gaza. (IDN Times/Rendy)
Intinya sih...
  • Israel menggempur Gaza selama tujuh bulan, menewaskan 35.272 orang dan melukai 78.827 orang.
  • Terdapat tiga WNI di Gaza saat serangan bertubi-tubi Israel Oktober 2023, salah satunya mahasiswa yang ikut evakuasi ke Indonesia.

Jakarta, IDN Times - Tujuh bulan sudah Israel menggempur Jalur Gaza. Wilayah utara hingga selatan Gaza, kini hancur.

Serangan Israel ini berdalih sebagai serangan membela diri karena diserang Hamas pada 7 Oktober 2023 lalu dan menewaskan sekitar 1.200 orang.

Dikutip dari Anadolu, serangan Israel di Gaza menelan korban tewas sebanyak 35.272 orang serta membuat 78.827 orang terluka. Tel Aviv juga menerapkan blokade yang melumpuhkan wilayah kantong Palestina tersebut, menyebabkan seluruh penduduknya berada di ambang kelaparan akut.

Dalam serangan bertubi-tubi Israel ke Gaza pada Oktober 2023 lalu, ada tiga Warga Negara Indonesia (WNI) yang kala itu berada di Gaza dan tinggal di sekitar Rumah Sakit Indonesia, yang terletak di Beit Lahiya, utara Gaza. Salah satunya bernama Farid Zanzabil Al Ayubi.

Farid, sapaan akrabnya, merupakan mahasiswa yang menempuh studi di universitas di Gaza. Ia bisa berada di Gaza dengan bantuan dari Medical Emergency Rescue Committee atau MER-C, sebuah organisasi sosial kemanusiaan yang bergerak dalam bidang kegawatdaruratan medis terutama di wilayah-wilayah konflik dan terkena bencana alam, baik itu di dalam negeri maupun di luar negeri.

Farid juga akhirnya memutuskan untuk ikut evakuasi dari pemerintah Indonesia via Kementerian Luar Negeri RI dan KBRI Kairo, untuk kembali ke Indonesia pada Desember 2023 lalu.

Farid pun berbagi pengalamannya kepada IDN Times, bagaimana ia menyaksikan roket Israel jatuh tepat di depan RS Indonesia Gaza, serta sehari-hari ia dan dua kawannya membantu warga Palestina yang membutuhkan.

1. Bisa diceritakan bagaimana awal bergabung dengan MER-C dan akhirnya berada di Gaza? Total berapa lama tinggal di Gaza?

RS Indonesia di Jalur Gaza. (Dok. Tim MER-C Indonesia)

Jadi awalnya ini MER-C punya pemimpin namanya Joserizal. Dia punya sahabat pemimpin pondok pesantren Al Fatah Bogor, tempat saya menuntut ilmu. Lalu mereka bertemu dengan misi yang sama, yaitu membangun RS Indonesia di Gaza, namun butuh orang untuk membangun. Mereka berdua misinya juga sama, yaitu ingin ke Masjid Al Aqsa.

Pemimpin Al Fatah ini keterbatasan dana, ketemulah dengan Dokter Joserizal, terjalinlah kerja sama antara pesantren Al Fatah sm MER-C sampai sekarang. RS Indonesia di Gaza itu murni semua dari relawan Indonesia (pembiayaannya).

Nah, ketika di pesantren itu biasa studinya memperdamal Al-Qur'an dan hadist, dan juga pelajaran soal Palestina. Dari sini saya terbentuk bagaimana menimbulkan rasa solidaritas terhadap Palestina, rasa ini tumbuh. Terketuk hati saya bagaimana keadaan Gaza. Kalau kita lihat di media kan kehancuran di mana-mana, bom di mana-mana, banyak korban, apakah seperti itu? Itu pertama yang saya pikirkan sebelum ke Gaza.

Awalnya saya punya cita-cita jadi jurnalis di sana, tapi enggak tahu mau ke Gaza bagaimana caranya saya gak tahu. Alhamdulillah Allah punya jalannya sendiri, dengan melalui seorang ayah. Ayah ini menjadi relawan Indonesia yang dikirim MER-C untuk membangun RS Indonesia Tahap 2. Terbentuk dari pesantren juga, ayah ini jadi jembatan saya pergi ke Gaza dengan dinaungi oleh MER-C.

Saya ditanya, “Mas mau gak kuliah di Gaza?”. Saya ya mau dong, saya tanpa pikir panjang dan setelah lulus Madrasah, saya langsung ambil ini kesempatan emas, yang tidak semua orang bisa dapat.

Lalu, sama pemimpin pesantren juga disetujui dan pada 19 Februari 2020 saya tiba di Gaza.

2. Saat tiba di Gaza saat itu, bagaimana kondisinya?

Farid Zanzabil Al Ayubi, WNI relawan MER-C di Gaza. (IDN Times/Rendy)

Situasi masih tidak terjadi peperangan, biasa saja kayak di iIndonesia. Ketika saya masuk waktu itu sama tim MER-C, sama mas Fikri juga (relawan WNI yang saat ini masih ada di Gaza), sama 7 orang yang lain dari MER-C termasuk dokter dan presidium. Nah mau masuk ke Gaza ini juga perjuangan karena sempat dua hari tertahan di Mesir karena harus ada izin dari Mesir kalau mau masuk ke Gaza.

Mesir ini (saat itu) seperti menyepelekan kita, izin ini dilama-lamain, saya dua kali bolak balik perbatasan, lalu dibantu KBRI Kairo baru bisa masuk. Kita juga punya misi untuk membantu warga Gaza, kami juga membawa bantuan. Tapi saat itu, dari 100 persen bantuan yang kita bawa, cuma bisa masuk sekitar 20 persen karena harus lewat pemeriksaan ini dan itu.

Saat itu, saya pikir Gaza itu rusak, banyak korban, banyak bom tapi itu semua tidak ada pada saat saya tiba 2020 lalu.

3. Saat perang Hamas dan Israel pecah pada 7 Oktober 2023, posisi mas Farid dan dua rekan yang lain di mana, bisa diceritakan seperti apa suasananya saat itu?

Anak-anak di Gaza. (twitter.com/@UNICEF)

Pada 7 Oktober 2023, ini peperangan luar biasa dahsyat dibanding peperangan sebelumnya. Saat itu saya, Fikri, dan Reza ada di Wisma. Nah, wisma itu untuk relawan MER-C yang ke Gaza dan letaknya ada di belakang, di RS Indonesia, di Gaza utara.

Pecahnya (perang) itu habis subuh, sekitar jam 06.30 pagi, para pejuang Gaza itu meluncurkan roket-roketnya. Kita bangun tidur habis solat subuh itu kaget, ini ada apa? Tiba-tiba ada roket terbang ke Tel Aviv, ini biasanya mereka kirim belasan, tapi ini ribuan roket mereka kirim. Sekali luncur.

Sebelumnya, biasanya itu ada pemberitahuan, kita dengar lah dari warga atau media lokal. Tapi ini gak ada. Yang tahu bakal ada peperangan, ya cuma sekelompok kecil saja, terutama Hamas.

Kita bangun tidur, solat subuh langsung kaget karena roket-roket dari Gaza ke Tel Aviv. Saya juga mau siap-siap berangkat kuliah pada 7 Oktober itu, eh ternyata ada perang. Jadi, ya gak jadi (sekolah) karena libur. Ya sudah, kami di RS diam saja memerhatikan dan memantau. RS Indonesia juga mulai kedatangan para relawan lain, untuk ngangkut bangunan runtuh dan evakuasi korban, paramedis juga datang.

Selama itu, kita lihatin saja dari wisma. Tiba-tiba jam 09.30 pagi ini ada roket nyasar ke rumah sakit dan itu serangan pertama dari Israel. Jatuh di depan Wisma RS Indonesia, pas banget kita ada lagi di halaman, ada mobil di depan halaman.

Roket itu jatuh. BOOM! Saya, Fikri dan Reza ini sudah panik. Seolah-olah telinga saya ini gak bisa denger apa-apa saat itu, kita sudah kalang kabut, ini pertama kali dalam hidup saya lihat roket sedekat itu. Sebelumnya memang beberapa kali dengar tapi kan jauh. Kalau yang kemarin ini paling dekat yang pernah saya rasakan, mungkin sekitar 5 sampai 10 meter dari saya berdiri.

Akibat bom di depan wisma itu, ada yang meninggal, yaitu relawan MER-C orang Palestina karena beliau pas banget lagi lewat di dekat mobil itu, yang ada di halaman wisma. Kita langsung evakuasi ke kamar jenazah dan meninggal di situ.

4. Kegiatan sehari-hari kala membantu warga Palestina seperti apa? Apa tugas mas Farid dan dua rekan lainnya sebelum bergerak di selatan?

Sehari-hari itu di RS Indonesia kan juga ada relawan lokal, dari awal pembangunan RS sampai sekarang itu beliau sama kita. Jadi sehari-hari dibantu sama beliau. Kita tugasnya, kita cari bahan makanan seperti tuna kaleng, sosis, daging kaleng, sayur-sayuran. Bahkan kita pernah buat paket kotak nasi kebuli daging sapi, 1.000 paket. Jadi selama perang itu, ya kita di dalam RS saja gak bisa ke mana-mana. Relawan MER-C orang Palestina ini yang keliling-keliling cari makanan, beli obat.

Kita juga beli obat-obatan apapun yang ada di Gaza itu kita borong. Sempat ada dua apotek itu kita borong semua untuk RS Indonesia. RS Indonesia Gaza itu tumpuan di daerah utara. Awal-awal perang itu kan serangannya ke utara, baru tengah, lalu kota Gaza-nya dan sekarang selatan.

Sampai 46 hari kami stay di utara, disuruh di situ dulu untuk menjaga RS Indonesia. RS Indonesia ini dari awal peperangan sudah gak ada listrik, tapi kami punya generator yang besar, nah dari awal sampai 46 hari itu kami pakai generator itu. Sebelum evakuasi ke selatan, pernah generator itu kehabisan solar. Kita tugasnya cari alternatif solar ini. Sedangkan semua pasokan solar di Gaza itu habis dibom Israel.

Jadi ada insinyur listrik di RS Indonesia itu bilang ke kami, coba pakai minyak goreng. Akhirnya kami buru-buru ke pasar, cari minyak goreng. Pertama kami beli 300 liter, lalu coba dituang ke generator dan kita tunggu sehari dulu kira-kira bisa gak, dan alhamdulillah bisa nyala.

Setelah 46 hari di utara, kami evakuasi ke selatan karena RS Indonesia itu sudah jadi sasaran Israel dan dikepung. Saat itu RS Indonesia dituduh ada terowongan bawah tanah untuk Hamas sembunyi, saya tegaskan itu tidak ada ya. Niat Israel hanya untuk mengusir kita dari situ, mereka ingin membenarkan klaim itu.

Saat itu ada empat tank datang mengepung RS Indonesia. Mereka telepon direktur RS, minta untuk masuk, tapi minta dikosongkan dulu RS Indonesia ini. Israel ini pengecut. Kalau memang sudah datang bawa tank dan senjata, ngapain minta izin? Langsung saja masuk cari terowongan itu benar ada atau tidak.

Saat itu mencekam sekali. Kejadiannya sekitar 18 November 2023 pukul 02.30 pagi. Baku tembak terjadi. Pengungsi di depan RS Indonesia ini langsung lari ketakutan. Kami sendiri bersembunyi di basement. Nah kendengaran jelas itu tentara Israel jalan mondar-mandir. Kami takut juga di luar, di dalam juga mencekam, jadi kami putuskan tetap di basement saja. Jika memang harus meninggal saat itu, ya sudah. Berarti amanah kita selesai kalau memang harus meninggal di situ.

Mereka juga menembaki lantai 2 dan lantai 3. Ada 12 pasien itu ditembak sama mereka dan semuanya tewas. Jasadnya ini saking dibiarkan saja dan tidak ada yang mengubur, kata warga sekitar, sampai dimakan kucing.

5. Apa yang membuat mas Farid akhirnya meminta dievakuasi? Seperti apa proses evakuasi itu sendiri? Karena evakuasi warga asing dari Gaza terbilang cukup sulit

Ketika kita masih di RS itu memang dari MER-C itu suruh kita stay di sana untuk menjaga RS Indonesia, tapi karena situasi makin buruk jadinya ikut dievakuasi ke selatan. Setelah sampai di selatan akhirnya, MER-C setujui untuk evakuasi kita, (sebelumnya sempat ditanya Kemlu RI apakah mau dievakuasi). Sempat waktu itu ditolak terus karena kita masih di RS Indonesia. Tapi ketika kami di selatan, MER-C sepakat untuk pulangkan kami bertiga karena akses tidak leluasa, tempat tinggal gak ada.

Di sini terjadi perbedaan antara saya, mas Fikri, dan mas Reza. Saya pulang karena orang tua saya juga sudah telepon, mereka menyerahkan kepada saya enaknya bagaimana, tapi saya tahu mereka pasti khawatir dan saya kepikiran. MER-C juga sudah mengizinkan kami pualng, jadi saya putuskan saya pulang dulu ke Indonesia untuk keluarga juga dan bisa menceritakan bagaimana kejadian sebenarnya di sana karena waktu itu kita adalah saksi matanya.

Sebelumnya pas mengungsi dari utara ke selatan itu juga sempat diblokade jalannya. Kita benar-benar merasakan itu. Mau lewat jalan sini diperiksa, di situ diperiksa. Di-scan muka kita. Jadi mereka tahu identitas kita itu sudah terdata. Kita lewat jalur pemeriksaan itu luar biasa takutnya, mengerikan.

Warga Gaza juga harus lewat situ kalau mau ngungsi, jadi wajah mereka di-scan dan sudah terdeteksi mereka ini anggota keluarga siapa, hubungan saudara sama siapa. Kalau terdeteksi mereka ada hubungan keluarga dengan Hamas atau Fatah itu mereka dipisahkan dulu. Israel ini mau cari tahu siapa warga yang ada hubungannya dengan Hamas.

6. Proses evakuasi ini seperti apa? Bagaimana akhirnya bisa keluar dari Gaza via Mesir?

Saya ikut evakuasi pemerintah lewat KBRI Kairo. Pihak KBRI ini hanya bisa masuk sampai Rafah Mesir. Selebihnya itu urusan saya, pun ketika saya harus bisa mencapai Rafah Gaza. Karena perbatasan Rafah ini kan ada dua sisi. Nah, KBRI Kairo ini tidak bisa jemput saya ke Rafah Gaza, cuma bisa sampai Rafah Mesir. Saya menunggu sampai 15 hari untuk perizinan keluar agar bisa keluar dari Gaza

Perizinan itu kan keluar dari Mesir, Israel, dan Palestina. Dari Mesir dan Palestina langsung keluar izinnya, kalau dari Israel lama bukan main. Akhirnya 10 Desember 2023, itu saya bisa keluar dari Gaza numpang ambulans rumah sakit. Ambulans ini lagi bawa pasien untuk berobat di Mesir, kan pasti lewat Rafah. Jadi saya numpang. Sampai perbatasan, diperiksa paspor, difoto, ditanya-tanya, baru akhirnya bisa masuk Rafah Mesir. Itu juga saya nunggu sekitar 6 jam untuk dijemput pihak dari KBRI Kairo karena jarak dari Kairo ke Rafah juga jauh sekali.

7. Ada keinginan untuk kembali lagi ke Gaza?

Kerusakan besar terlihat di distrik populer Al-Rimal di Gaza. (972mag.com)

Kalau ditanya apakah mau ke Gaza lagi, saya mau. Tapi sekarang MER-C ini yang dibutuhkan yang medis untuk ke sana, saya kan nonmedis. Jadi lebih baik memang yang dibutuhkan dulu. Kalau saya ke sana mungkin nanti untuk ngecor, benerin RS Indonesia. Sekarang juga ada tim EMT MER-C yang tertahan belum bisa masuk ke Rafah, jadi mereka nunggu di Mesir.

7. Harapan untuk kondisi saat ini? Karena Israel terus melancarkan serangannya ke Gaza, terutama di Rafah dan ada tim EMT di Rafah

Israel mengebom Rafah, Mei 2024. (dok. X @sahouraxo)

Untuk warga Palestina dan tim MER-C di sana semoga Allah selalu melindungi di mana pun kalian berada. Harapan untuk warga-warga Gaza di sana, malah sebenarnya kita yang butuh mereka. Mereka itu puluhan tahun diblokade, mereka sedang dimuliakan oleh Allah, sedang berperang, sedang berjihad.

Kita yang butuh mereka untuk kemuliaan kita. Dari kacamata kemanusiaan itu, mereka sangat menderita banget. Kita bantu doa dari sini, untuk masyarakat Indonesia. Segala upaya yang bisa dilakukan seperti boikot, terus menggaungkan berita-berita soal Palestina.

Untuk saya, Israel ini benar-benar nekat. Karena Netanyahu (PM Israel) ini kalau peperangan berhenti, dia otomatis bakal dibawa ke meja hijau karena banyak sekali kasus di dalam negeri. Bagi saya, Israel ini sudah gagal menyerang Gaza. Pencapaian di Gaza itu nol. Hamas itu baru sekitar 10 persen mengeluarkan pasukannya, sedangkan Israel ini sudah habis triliunan dolar yang mereka keluarkan untuk menyerang Gaza.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Jujuk Ernawati
EditorJujuk Ernawati
Follow Us