Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Parlemen Gambia Bahas RUU yang Hapus Larangan Sunat Perempuan

Bendera Gambia. (Pexels.com/Kelly)

Jakarta, IDN Times - Parlemen Gambia membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berupaya menghapus larangan female genital mutilation (FGM) atau sunat perempuan pada Senin (18/3/2024). Gambia telah menerapkan larangan sunat perempuan pada 2015.

Dalam pembahasan RUU tersebut, para anggota parlemen memberikan 42 suara mendukung dan empat suara menentang untuk mengirim RUU ke komite parlemen agar ditinjau. Komite akan mengirimkan kembali ke majelis nasional untuk dilakukan pemungutan suara, yang biasanya memakan waktu setidaknya 3 bulan.

1. Larangan dianggap melanggar hak budaya dan agama

Dilansir France 24, RUU yang dianggap kontroversial ini diajukan anggota parlemen bernama Almameh Gibba. Dia menganggap larangan tersebut melanggar hak terkait budaya dan agama.

“RUU ini bertujuan menjunjung tinggi kesetiaan beragama dan menjaga norma-norma dan nilai-nilai budaya. Penggunaan larangan sunat perempuan merupakan pelanggaran langsung terhadap hak warga negara untuk menjalankan budaya dan agamanya,” kata Gibba.

Dewan Islam, organisasi Muslim utama di Gambia, mengatakan praktik tersebut bukan hanya sekedar adat istiadat yang diwariskan. Tapi salah satu keutamaan dalam Islam. Mayoritas penduduk Gambia beragama Islam.

Namun, RUU tersebut jika disetujui dikhawatirkan dapat membalikkan kemajuan yang telah dicapai selama bertahun-tahun dan berisiko merusak catatan hak asasi manusia Gambia.

“Ada risiko yang melekat bahwa ini hanyalah langkah pertama dan dapat mengakibatkan hilangnya hak-hak lain seperti undang-undang tentang pernikahan anak dan tidak hanya di Gambia, tetapi di kawasan secara keseluruhan,” kata Divya Srinivasan dari organisasi Equality Now, yang memperjuangkan hak-hak perempuan.

Jika RUU ini disahkan, maka Gambia akan menjadi negara pertama yang mencabut aturan larangan sunat perempuan.

2. Larangan sunat perempuan di Gambia

Potret perempuan. (Unsplash.com/Annie Spratt)

Mantan Presiden Gambia Yahya Jammeh menerapkan larangan sunat perempuan pada 2015. Hal itu dilakukan karena praktik tersebut dianggap sudah ketinggalan zaman dan bukan merupakan keharusan dalam Islam.

Parlemen kemudian mengadopsi undang-undang pertama yang secara khusus melarang praktik tersebut, yang dapat menjatuhi hukuman denda dan penjara hingga 3 tahun bagi pelanggar.

Namun, sejak larangan itu diterapkan hanya dua kasus yang telah diadili, dengan hukuman pertama dijatuhkan pada Agustus 2023. Tiga perempuan didenda karena melakukan sunat terhadap delapan bayi perempuan.

3. Perempuan yang melakukan sunat paling banyak ditemukan di Afrika

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, sunat perempuan tidak memiliki manfaat kesehatan dan dapat menyebabkan pendarahan berlebihan, syok, masalah psikologis, bahkan kematian. Namun, praktik tersebut masih banyak dilakukan.

Dilansir Reuters, Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) dalam laporan awal bulan ini menunjukkan bahwa dalam delapan tahun terakhir di seluruh dunia ada 30 juta perempuan yang melakukan sunat. Hampir sebagian perempuan yang melakukan sunat ditemukan di negara-negara Afrika, dengan lebih dari 144 juta kasus, diikuti lebih dari 80 juta kasus di Asia, dan lebih dari 6 juta kasus di Timur Tengah.

UNICEF dalam laporannya pada 2021 menemukan bahwa 76 persen perempuan di Gambia berusia antara 15-49 tahun telah menjalani sunat.

Equality Now mengatakan kriminalisasi adalah langkah penting dalam perjuangan melawan sunat perempuan, tapi kelompok itu mencatat bahwa separuh lebih dari 92 negara tempat sunat perempuan dilakukan memiliki undang-undang yang melarangnya.

“Jika undang-undang di Gambia dibatalkan, ada risiko bahwa upaya advokasi di negara-negara berikutnya akan gagal atau mundur,” kata Caroline Lagat, staf program di Equality Now.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Vanny El Rahman
EditorVanny El Rahman
Follow Us