Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Protes Hong Kong pada Malam Tahun Baru, Polisi Kerahkan Ribuan Petugas

Seorang pengunjuk rasa membawa poster saat reli anti-pemerintah di Edinburg Place di Hong Kong, pada 29 Desember 2019. ANTARA FOTO/REUTERS/Lucy Nicholson

Hong Kong, IDN Times - Demonstran Hong Kong belum juga mengenal lelah. Saat kebanyakan orang memilih menghabiskan waktu untuk liburan atau bersenang-senang bersama keluarga atau pasangan pada Malam Tahun Baru, mereka memutuskan untuk memperjuangkan demokrasi.

Dilansir dari Reuters, penyelenggara mengumumkan bahwa protes akan tetap terjadi meski saat pergantian tahun yang biasanya diwarnai kembang api dan pesta. Kepolisian Hong Kong pun menyatakan akan menurunkan ribuan anggotanya untuk mengamankan.

1. Penyelenggara bertekad meneruskan tuntutan sampai ke tahun 2020

Seorang pengunjuk rasa memakai topen Guy Fawkes mengibarkan bendera saat demonstrasi Hari Hak Asasi Manusia, yang diselenggarakan oleh Civil Human Right Front, di Hong Kong, pada 8 Desember 2019. ANTARA FOTO/REUTERS/Danish Siddiqui

Jimmy Sham, pemimpin organisasi bernama Civil Human Rights Front yang menyelenggarakan protes, mengatakan ini adalah momentum penting bagi Hong Kong. "Pada Malam Tahun Baru, kami perlu menunjukkan solidaritas kami...untuk melawan pemerintah," ucapnya. "Kami berharap warga Hong Kong akan ikut turun ke jalan demi masa depan Hong Kong."

Civil Human Rights Front sendiri merupakan salah satu organisasi paling vokal sepanjang protes terjadi pada awal Juni lalu. Demonstrasi menuntut kemerdakaan pun selalu berjalan ramai. Pada protes awal Desember, ada sekitar 800.000 massa yang hadir.

2. Demo akan menggunakan slogan khusus

Seorang pengunjuk rasa membawa poster saat reli anti-pemerintah di Edinburg Place di Hong Kong, pada 29 Desember 2019. ANTARA FOTO/REUTERS/Lucy Nicholson

Di media sosial setempat sudah bermunculan tajuk protes untuk Malam Tahun Baru yaitu "Jangan lupakan 2019 -- Teruskan pada 2020". Penyelenggara meminta massa yang akan hadir untuk memakai penutup wajah dan memenuhi distrik bisnis Hong Kong. Di sejumlah kawasan hiburan, para pemilik usaha pun bersiap terkena dampaknya.

Polisi mengatakan tak keberatan dengan adanya protes pada malam pergantian tahun. Namun, mereka mengaku tetap siaga dengan menurunkan lebih dari 6.000 anggota untuk berjaga-jaga di titik-titik yang dianggap rawan.

3. Polisi telah menangkap ribuan demonstran

Warga menghadiri demonstrasi pada Hari Hak Asasi Manusia di dsitrik Causeway Bay di Hong Kong, pada 8 Desember 2019. ANTARA FOTO/REUTERS/Laurel Chor

Selama enam bulan protes berlangsung, polisi mengaku telah menangkap lebih dari 6.500 demonstran. Tak sedikit dari mereka yang merupakan aktivis pro-kemerdekaan. Mereka dituding telah membuat keonaran dan melanggar hukum sehingga layak ditangkap.

Sementara itu, Kepala Polisi Hong Kong, Chris Tang, menuliskan di akun Facebook bahwa ia meminta agar demonstrasi berjalan tertib. "Jika kalian menggunakan kekerasan, kalian takkan mendapatkan dukungan publik. Kami, polisi, akan melakukan apa pun yang kami bisa untuk menangkap kalian," tulis Tang sebagai bentuk peringatan kepada massa.

4. Ada lima tuntutan yang massa ingin agar pemerintah mengabulkannya

Seorang warga berjalan melewati spanduk "Free HK" (bebaskan Hong Kong) saat reli anti-pemerintah di Edinburg Place di Hong Kong, pada 29 Desember 2019. ANTARA FOTO/REUTERS/Navesh Chitrakar

Massa sendiri tetap bersikeras menyatakan ada lima tuntutan yang harus dipenuhi oleh pemerintah Hong Kong jika ingin protes berhenti. Kelimanya adalah:

1. Cabut RUU Ekstradisi sepenuhnya

2. Berhenti menyebut aksi-aksi protes itu sebagai kerusuhan

3. Hapus seluruh tudingan terhadap mereka yang dipenjara [sepanjang demonstrasi berlangsung]

4. Bentuk komisi pencari fakta yang independen

5. Mulai lakukan reformasi politik

5. Protes dimulai dari penolakan terhadap RUU Ekstradisi

Pengunjuk rasa mengangkat tangan mereka, mewakili lima permintaan dari gerakan anti-pemerintah, saat pawai Hari Hak Asasi Manusia, diselenggarakan oleh Front Hak Asasi Manusia Sipil, di Hong Kong, pada 8 Desember 2019. NTARA FOTO/REUTERS/Thomas Peter

Krisis politik di Hong Kong dimulai ketika massa menolak adanya RUU Ekstradisi pada Juni lalu. Jika RUU itu sah, maka setiap orang yang dianggap bersalah bisa diekstradisi ke Tiongkok daratan. Penolakan secara masif terjadi karena mereka tak percaya pada sistem legal di Tiongkok.

Walau Hong Kong masih menjadi bagian dari Tiongkok, tapi secara hukum, pulau tersebut cukup otonom dengan memiliki undang-undang, hakim dan pengadilannya sendiri. Ini karena Tiongkok dan Hong Kong mengadopsi "one country, two systems" yang konsekuensinya adalah keduanya memiliki perbedaan dalam hal legislasi.

Masyarakat Hong Kong terbilang lebih pro-demokrasi dibandingkan mereka yang berada di Tiongkok daratan. Selebriti Hong Kong Denise Ho yang menolak RUU ekstradisi menilai "ini adalah momen yang sangat mengerikan bagi Hong Kong".

"Ini merupakan isu global sebab ini adalah hukum yang berdampak kepada aktivis HAM maupun anggota lembaga nonpemerintahan manapun yang datang ke Hong Kong dan melakukan sesuatu yang tak disukai oleh pemerintah Tiongkok," ujarnya, seperti dilansir South China Morning Post menjelang demonstrasi pada Juni kemarin.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us