Protes Meletus di Seluruh Dunia Usai Pembunuhan Jurnalis Al Jazeera

- Media dianggap memberikan peluang bagi Israel untuk terus membunuh warga Palestina
- Pembunuhan jurnalis dapat dianggap sebagai kejahatan perang
- PBB menyerukan penyelidikan independen atas pembunuhan 6 jurnalis
Jakarta, IDN Times - Protes meletus di seluruh dunia menyusul pembunuhan enam jurnalis dalam serangan Israel di Gaza pada Minggu (10/8/2025) malam. Mereka tewas setelah serangan Israel menghantam sebuah tenda media yang berada di luar gerbang utama Rumah Sakit al-Shifa di Kota Gaza.
Para korban termasuk empat staf Al Jazeera, yaitu koresponden Anas al-Sharif dan Mohammed Qreiqeh, serta juru kamera Ibrahim Zaher dan Mohammed Noufal. Juru kamera lepas Momen Aliwa dan jurnalis lepas Mohammed al-Khalidi juga tewas dalam serangan tersebut.
Pembunuhan ini memicu kemarahan di seluruh dunia. Di Tepi Barat yang diduduki, warga Palestina memadati jalan-jalan di kota Ramallah, mengibarkan bendera sambil membawa foto para jurnalis yang terbunuh. Ratusan orang juga berunjuk rasa di Tunisia, menuntut pertanggungjawaban atas serangan tersebut.
Protes juga terjadi di ibu kota Irlandia Utara, Belfast, dan ibu kota Republik Irlandia, Dublin, sementara acara peringatan diadakan di Berlin, Jerman, dan Belanda. Demonstrasi sebelumnya juga digelar di Washington DC, London, Oslo dan Stockholm.
1. Media dianggap berikan peluang bagi Israel untuk terus membunuh
Di Washington DC, pengunjuk rasa berkumpul di luar gedung yang menjadi kantor NBC, Fox News, ITN, dan The Guardian. Mereka memukul-mukul panci dan wajan untuk mengganggu kegiatan siaran langsung di dalam gedung.
“Mereka menilai bahwa liputan media tentang genosida di Gaza memberikan peluang bagi Israel untuk membunuh banyak warga Palestina, termasuk sejumlah besar jurnalis,” kata Shihab Rattansi dari Al Jazeera.
Hazami Barmada, salah satu penyelenggara protes di Washington DC, menyatakan bahwa media telah berperan dalam menciptakan persetujuan publik atas pembunuhan para jurnalis, dengan memberikan alasan kepada pemerintah Israel untuk menargetkan dan membunuh mereka.
“Setelah kematian mereka, (organisasi media) terus membenarkan kematian, penembakan, pengeboman dan pembunuhan jurnalis secara ilegal, yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang," tambahnya.
2. Pembunuhan jurnalis dapat dianggap sebagai kejahatan perang
Menurut kelompok kebebasan pers PEN America, pembunuhan para jurnalis di Gaza telah menimbulkan kekhawatiran serius dan dapat dianggap sebagai kejahatan perang.
“Serangan ini tidak hanya menghilangkan satu tim jurnalis secara keseluruhan — di saat semakin sedikit suara yang mampu melaporkan dari Gaza — tetapi juga menewaskan enam warga Palestina lainnya dalam serangan yang telah merenggut ribuan nyawa,” kata Liesl Gerntholtz, direktur pelaksana PEN/Barbey Freedom to Write Center.
Aliansi Media, Hiburan dan Seni (MEAA), organisasi terbesar yang mewakili para jurnalis di Australia, mengungkapkan bahwa laporan al-Sharif telah membuka mata dunia mengenai realitas mengerikan yang dihadapi oleh warga sipil di Gaza akibat kampanye militer Israel.
“Penargetan terhadap jurnalis adalah serangan terang-terangan terhadap kebebasan pers, dan juga merupakan kejahatan perang. Hal ini harus dihentikan,” tambahnya.
3. PBB serukan penyelidikan independen atas pembunuhan 6 jurnalis
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, turut mengecam pembunuhan enam jurnalis tersebut pada Senin (11/8/2025). Ia juga mendesak dilakukannya penyelidikan yang independen dan tidak memihak.
“Kemarin, rekan-rekan dari teman-teman kami di Al Jazeera yang bekerja di Gaza kembali menjadi korban konflik. Pembunuhan terbaru ini menyoroti risiko ekstrem yang terus dihadapi jurnalis saat meliput konflik yang masih berlangsung ini,” kata juru bicara PBB, Stephane Dujarric, dalam konferensi pers, dikutip dari Anadolu.
Menurut Kantor Media Pemerintah Gaza, sedikitnya 238 jurnalis telah terbunuh sejak perang Israel di Gaza dimulai pada Oktober 2023. Sementara itu, jumlah warga Palestina yang terbunuh selama perang tersebut telah mencapai lebih dari 61.500 orang, dengan sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak.