Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Serangan Israel di Gaza Tewaskan 5 Jurnalis Al Jazeera

serangan Israel di Jalur Gaza (Tasnim News Agency, CC BY 4.0 <https://creativecommons.org/licenses/by/4.0>, via Wikimedia Commons)
serangan Israel di Jalur Gaza (Tasnim News Agency, CC BY 4.0 <https://creativecommons.org/licenses/by/4.0>, via Wikimedia Commons)
Intinya sih...
  • Militer Israel mengklaim membunuh al-Sharif dan menuduhnya sebagai kepala sel Hamas tanpa bukti yang jelas.
  • Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) menyatakan kekhawatiran atas keselamatan al-Sharif setelah dirinya menjadi sasaran kampanye pencemaran nama baik militer Israel.
  • Israel tidak mengizinkan jurnalis internasional masuk ke Gaza, sehingga banyak media bergantung pada wartawan lokal di Gaza.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Lima jurnalis Al Jazeera tewas dalam serangan Israel di dekat Rumah Sakit Al-Shifa di Kota Gaza. Mereka terdiri dari koresponden Anas al-Sharif dan Mohammed Qreiqeh, serta operator kamera Ibrahim Zaher, Mohammed Noufal dan Moamen Aliwa.

Serangan terjadi pada Minggu (10/8/2025) malam, menargetkan tenda tempat para jurnalis berada yang terletak di luar gerbang utama rumah sakit. Total tujuh orang tewas dalam serangan tersebut.

“Perintah untuk membunuh Anas al-Sharif, salah satu jurnalis paling berani di Gaza, beserta rekan-rekannya, adalah upaya putus asa untuk membungkam suara-suara menjelang pendudukan Gaza,” kata Al Jazeera dalam sebuah pernyataan.

1. Israel tuduh al-Sharif sebagai anggota Hamas

Setelah serangan tersebut, militer Israel (IDF) mengonfirmasi bahwa mereka telah membunuh al-Sharif dan menuduhnya sebagai kepala sel Hamas. Mereka juga mengklaim memiliki bukti yang menunjukkan keterlibatan pria berusia 28 tahun itu dengan kelompok Palestina tersebut.

Muhammed Shehada, seorang analis di Euro-Med Human Rights Monitor, mengatakan bahwa tidak ada sedikit pun bukti bahwa al-Sharif pernah terlibat dalam aksi permusuhan apa pun.

“Seluruh rutinitas hariannya adalah berdiri di depan kamera dari pagi hingga sore,” jelasnya.

Bulan lalu, Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) menyatakan kekhawatirannya terhadap keselamatan al-Sharif setelah dirinya menjadi sasaran kampanye pencemaran nama baik militer Israel. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga menyebut tuduhan terhadap jurnalis Palestina itu sebagai serangan daring dan tuduhan tanpa dasar.

“Saya sangat khawatir dengan ancaman dan tuduhan berulang-ulang yang dilakukan tentara Israel terhadap Anas al-Sharif, jurnalis Al Jazeera terakhir yang masih hidup di Gaza utara,” kata Irene Khan, Pelapor Khusus PBB untuk kebebasan berekspresi, bulan lalu

2. CPJ tuntut pertanggungjawaban atas pembunuhan para jurnalis

Mohamed Moawad, pemimpin redaksi Al Jazeera, mengatakan kepada al-Sharif adalah jurnalis yang terakreditasi dan satu-satunya suara yang menyampaikan apa yang terjadi di Jalur Gaza kepada dunia.

Selama hampir 2 tahun perang, Israel tidak mengizinkan jurnalis internasional masuk ke Gaza untuk meliput secara bebas. Oleh karena itu, banyak media bergantung pada wartawan lokal di Gaza.

“Mereka menjadi sasaran di tendanya, mereka tidak meliput dari garis depan,” kata Moawad mengenai serangan Israel tersebut kepada BBC.

“Faktanya, pemerintah Israel ingin membungkam liputan dari saluran mana pun yang melaporkan dari dalam Gaza. Ini adalah sesuatu yang belum pernah saya lihat sebelumnya dalam sejarah modern," tambahnya.

Menurut CPJ, serangan Israel di Gaza telah menewaskan 186 jurnalis sejak perang meletus pada Oktober 2023.

“Pola Israel yang melabeli jurnalis sebagai militan tanpa memberikan bukti yang dapat dipercaya menimbulkan pertanyaan serius mengenai niat dan penghormatan mereka terhadap kebebasan pers. Jurnalis adalah warga sipil dan tidak boleh menjadi sasaran. Mereka yang bertanggung jawab atas pembunuhan ini harus bertanggung jawab," kata direktur regional CPJ, Sara Qudah.

3. Al-Sharif tinggalkan seorang istri dan dua orang anak

Dalam pesan terakhirnya yang diunggah setelah kematiannya, al-Sharif mengaku telah berulang kali merasakan kesedihan dan kehilangan.

“Meski demikian, saya tidak pernah ragu untuk menyampaikan kebenaran apa adanya, tanpa distorsi atau penyalahartian, dengan harapan Allah menjadi saksi bagi mereka yang tetap diam, mereka yang menerima pembunuhan kami, dan mereka yang mencekik nafas kami,” ujarnya.

Jurnalis tersebut juga mengungkapkan kesedihannya karena harus harus meninggalkan istrinya, Bayan, serta kedua anaknya, Salah dan Sham.

Koresponden Al Jazeera, Hani Mahmoud, menyatakan bahwa melaporkan kematian al-Sharif merupakan hal tersulit yang harus ia lakukan selama 22 bulan terakhir. Mahmoud sendiri berada hanya satu blok dari lokasi kejadian saat serangan berlangsung.

“Para jurnalis itu tewas karena liputan tanpa henti mereka mengenai kelaparan, kelangkaan pangan, dan malnutrisi yang dialami warga Palestina di Gaza, serta karena mereka menyampaikan kebenaran atas kejahatan ini kepada seluruh dunia,” ujarnya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us