Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Rwanda Setuju Tampung Migran yang Dideportasi dari AS

bendera Rwanda. (unsplash.com/Chris Boland)
bendera Rwanda. (unsplash.com/Chris Boland)
Intinya sih...
  • Rwanda menyetujui kesepakatan dengan AS untuk menerima hingga 250 migran yang dideportasi
  • Rwanda memiliki kewenangan untuk menolak pelaku kejahatan seksual terhadap anak dan migran yang masa hukumannya belum tuntas
  • Kebijakan deportasi ke negara ketiga menuai kritik karena dianggap menjadikan negara Afrika sebagai tempat pembuangan
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Rwanda telah menyetujui kesepakatan dengan Amerika Serikat (AS) untuk menerima hingga 250 migran yang dideportasi. Kebijakan ini merupakan bagian dari kampanye deportasi massal yang menjadi fokus pemerintahan Presiden AS Donald Trump.

Melalui perjanjian ini, Rwanda menjadi negara Afrika ketiga yang menerima migran dari AS, menyusul Sudan Selatan dan Eswatini. Sebagai imbalan, pemerintah AS dilaporkan akan memberikan hibah dengan jumlah yang belum diungkapkan kepada Rwanda, dilansir The Guardian pada Selasa (5/8/2025).

1. Rwanda tidak mau menampung pelaku pelecehan anak

Berdasarkan kesepakatan, Rwanda memiliki kewenangan untuk menyetujui atau menolak setiap individu yang diusulkan oleh AS. Migran yang diterima nantinya akan memperoleh sejumlah dukungan untuk memulai hidup baru di negara tersebut.

Dukungan itu mencakup fasilitas pelatihan kerja, jaminan akses layanan kesehatan, serta akomodasi lainnya. Pemerintah Rwanda tidak akan menerima pelaku kejahatan seksual terhadap anak dan migran yang masa hukumannya belum tuntas.

"Rwanda setuju dengan Amerika Serikat untuk menerima hingga 250 migran, mengingat hampir setiap keluarga Rwanda pernah mengalami kesulitan akibat pengungsian, dan nilai-nilai kemasyarakatan kami didirikan di atas reintegrasi dan rehabilitasi," tutur Juru bicara pemerintah, Yolande Makolo, dikutip dari Al Jazeera.

Meskipun kesepakatan telah diumumkan, detail mengenai jadwal deportasi dan latar belakang migran yang akan dikirim belum dirilis ke publik. Pihak berwenang menyatakan informasi lebih lanjut akan diberikan setelah semuanya rampung.

2. Trump dituduh menjadikan negara Afrika tempat pembuangan

Kebijakan deportasi ke negara ketiga merupakan salah satu cara pemerintahan Trump untuk menangani imigran tidak berdokumen. Skema ini terutama menyasar para migran yang negara asalnya menolak untuk menerima mereka kembali.

Langkah ini menuai kritik karena dianggap menjadikan negara-negara Afrika sebagai tempat pembuangan. Sebelumnya, seorang pejabat AS sempat menyebut para migran yang dideportasi ke Sudan Selatan dan Eswatini sebagai penjahat barbar.

Gedung Putih membela kebijakan tersebut sebagai langkah yang diperlukan untuk menegakkan hukum imigrasi.

"Amerika Serikat terus-menerus terlibat dalam percakapan diplomatik dengan negara-negara asing yang bersedia membantu kami dalam memindahkan orang asing ilegal yang oleh (mantan Presiden AS) Joe Biden diizinkan untuk menyusup ke komunitas Amerika," kata seorang pejabat Gedung Putih kepada CNN.

Kelompok hak asasi manusia memperingatkan adanya risiko pelanggaran hukum internasional dalam kebijakan ini. Kekhawatiran diperparah oleh keputusan Mahkamah Agung AS yang memberi lampu hijau bagi deportasi jalur cepat dengan pemberitahuan singkat.

3. Rwanda hampir jalin kerja sama serupa dengan Inggris

Ini bukan pertama kalinya Rwanda terlibat dalam perjanjian serupa yang kontroversial. Pada 2022, Rwanda menyepakati perjanjian dengan Inggris untuk menampung pencari suaka, namun skema itu dibatalkan setelah pengadilan tinggi Inggris menyatakan Rwanda bukan negara ketiga yang aman.

Dalam kesepakatan itu, Rwanda telah menerima lebih dari 300 juta dolar AS (sekitar Rp4,9 triliun) dari Inggris dan mengisyaratkan tidak akan mengembalikan dana tersebut. Analis berpendapat bahwa kesepakatan ini merupakan strategi Rwanda untuk mendekatkan diri dengan Washington.

"Perjanjian ini meningkatkan kepentingan strategis Rwanda untuk memiliki hubungan baik dengan pemerintahan Trump," kata analis politik Gonzaga Muganwa.

Hubungan kedua negara memang tampak menghangat, terutama setelah AS menengahi perjanjian damai antara Rwanda dan Republik Demokratik Kongo pada Juni lalu. Di sisi lain, Rwanda sendiri memiliki pengalaman menampung hampir 3 ribu pengungsi dari Libya melalui kerja sama dengan PBB dan Uni Afrika sejak 2019, dilansir BBC.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sonya Michaella
EditorSonya Michaella
Follow Us