Sekjen PBB Kecam Penahanan Stafnya oleh Houthi di Yaman

- Houthi menahan pegawai PBB setelah menyerbu kantor di Sanaa
- Houthi dan pemerintah Yaman terlibat konflik selama satu dekade
- Dewan keamanan PBB mengecam penahanan dan serukan perlindungan kemanusiaan
Jakarta, IDN Times – Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, mengutuk penahanan sewenang-wenang terhadap staf PBB oleh kelompok Houthi di Yaman. Menurut juru bicaranya, Stephane Dujarric, sembilan staf tambahan baru-baru ini ditahan, menjadikan total 53 pegawai PBB ditahan sejak 2021.
"Tindakan ini menghambat kemampuan PBB untuk beroperasi di Yaman dan memberikan bantuan kritis. Sekretaris Jenderal tetap sangat prihatin tentang keselamatan dan keamanan personel Perserikatan Bangsa-Bangsa di Yaman," katanya, dikutip dari Anadolu Agency.
Guterres meminta semua pihak yang ditahan, termasuk dari PBB, organisasi non-pemerintah, dan misi diplomatik, segera dibebaskan tanpa syarat. Ia menyatakan bahwa para pekerja kemanusiaan harus dihormati dan dilindungi berdasarkan hukum internasional.
1. Houthi menahan pegawai PBB setelah menyerbu kantor di Sanaa
Dilansir dari Economic Times, pada Agustus 2025, kelompok Houthi menyerbu kantor PBB di Sanaa, ibu kota Yaman, dan menahan sedikitnya 18 pegawai setelah serangan udara Israel yang menewaskan perdana menteri pemerintahan Houthi, Ahmed Al Rahawi.
Pejabat Houthi menuding para staf tersebut melakukan kegiatan mata-mata dan menyatakan kekebalan hukum mereka tidak berlaku untuk tindakan spionase. Mereka juga menuduh PBB bersikap bias karena tidak mengutuk serangan Israel, menyebut penahanan itu sebagai tindakan hukum terhadap sel-sel mata-mata.
Dujarric menegaskan bahwa seluruh properti dan fasilitas PBB harus dilindungi dari gangguan apa pun. Ia menyebut penyitaan aset di wilayah yang dikuasai Houthi, termasuk kantor Program Pangan Dunia (WFP) dan Dana Anak-Anak PBB (UNICEF), sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional. Tindakan tersebut menghambat operasi kemanusiaan dan menyebabkan penundaan bantuan di Yaman.
2. Houthi dan pemerintah Yaman terlibat konflik selama satu dekade

Dilansir dari The National, kekacauan di Yaman bermula pada akhir 2014 ketika kelompok Houthi merebut ibu kota Sanaa dari pemerintahan yang didukung Arab Saudi di Aden. Perebutan itu memicu perang yang telah berlangsung selama satu dekade dan memecah negara menjadi dua pemerintahan yang bersaing. Sejak saat itu, Yaman menjadi salah satu medan konflik paling kompleks di Timur Tengah.
Sebagai bagian dari aliansi anti-Israel yang dipimpin Iran, Houthi telah berulang kali melancarkan serangan drone dan rudal ke Israel sejak pecahnya perang Gaza pada Oktober 2023. Israel kemudian membalas dengan serangan udara ke berbagai target di Yaman, termasuk pelabuhan, pembangkit listrik, dan bandara internasional Sanaa. Serangan beruntun ini memperparah penderitaan warga sipil yang telah lama terjebak dalam krisis kemanusiaan.
3. Dewan keamanan PBB mengecam penahanan dan serukan perlindungan kemanusiaan

Dewan Keamanan PBB yang beranggotakan 15 negara mengecam keras tindakan Houthi yang menahan staf dan menyerbu fasilitas PBB. Dewan tersebut menyebut langkah itu sebagai pelanggaran serius terhadap hukum internasional dan memperingatkan bahwa tindakan Houthi dapat memperburuk krisis kemanusiaan di Yaman. Mereka menyerukan agar kelompok tersebut menjamin keamanan staf kemanusiaan agar bantuan dapat disalurkan tanpa hambatan.
Guterres menyampaikan keprihatinan mendalam atas keselamatan para pegawainya di Yaman. Ia menilai penahanan tersebut menghambat kemampuan PBB dalam menjalankan misi kemanusiaan di wilayah yang sangat membutuhkan dukungan internasional. Seruan Guterres memperlihatkan urgensi penyelesaian masalah ini agar operasi kemanusiaan dapat segera dipulihkan.
Kementerian Luar Negeri Houthi menuduh PBB gagal menanggapi agresi Israel sambil membela penahanan yang mereka lakukan. Namun, PBB menegaskan bahwa para stafnya harus dilindungi dan diberikan akses penuh untuk bekerja. Penyitaan aset dan penahanan berkelanjutan terus menjadi hambatan utama bagi upaya kemanusiaan di Yaman.