Suriah Jalin Dialog dengan Israel untuk Meredam Ketegangan

Jakarta, IDN Times - Presiden Interim Suriah, Ahmed al-Sharaa, mengumumkan pemerintahannya sedang melakukan pembicaraan tidak langsung dengan Israel. Pengumuman ini disampaikan saat kunjungan al-Sharaa ke Paris, Rabu (7/5/2025), dalam pertemuan dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron.
Pembicaraan dilatarbelakangi meningkatnya ketegangan setelah Israel melancarkan lebih dari 20 serangan udara ke Suriah minggu lalu. Salah satu serangan tersebut bahkan mendarat hanya 500 meter dari istana presiden di Damaskus.
Al-Sharaa naik ke tampuk kekuasaan setelah penggulingan rezim Bashar al-Assad pada Desember 2024 yang mengakhiri 25 tahun kekuasaannya. Kunjungan ke Paris merupakan upaya diplomasi pertama al-Sharaa ke Eropa sejak menjabat.
1. Upaya meredam ketegangan Suriah-Israel
Al-Sharaa menjelaskan tujuan pembicaraan ini adalah mencegah pelebaran konflik antara kedua negara. Ia juga menegaskan komitmen Suriah pada Perjanjian Gencatan Senjata 1974 yang mengatur perbatasan dengan Israel di Dataran Tinggi Golan.
"Ada pembicaraan tidak langsung dengan Israel melalui mediator untuk menenangkan dan mencoba mengendalikan situasi agar tidak mencapai titik di mana kedua belah pihak kehilangan kendali," ujar al-Sharaa, dilansir Al Jazeera.
Media sempat melaporkan Uni Emirat Arab (UEA) telah membangun saluran komunikasi antara Suriah dan Israel. Namun, Kementerian Luar Negeri UEA membantah klaim tersebut.
Saat ini, Suriah juga memiliki hubungan diplomatik dengan Yordania, Mesir, dan Turki yang semuanya telah berhubungan dengan Israel. Turki, yang diketahui sebagai pendukung dekat pemerintahan al-Sharaa, juga sedang menegosiasikan perjanjian pertahanan dengan Damaskus.
2. Prancis kritik serangan Israel ke Suriah
Presiden Macron mengkritik serangan Israel terhadap Suriah saat konferensi pers bersama al-Sharaa.
"Soal pengeboman dan penyerbuan, saya pikir itu langkah yang buruk. Anda tidak bisa menjamin keamanan negara sendiri dengan melanggar kedaulatan wilayah tetangga," kata Macron, dikutip Middle East Eye.
Prancis telah bersedia untuk mempertimbangkan pencabutan sanksi Uni Eropa terhadap Suriah secara bertahap. Macron berjanji akan mendorong Amerika Serikat untuk mempertimbangkan pendekatan serupa dan menunda penarikan pasukan dari Suriah.
Sanksi ekonomi menjadi isu krusial bagi Suriah. Bank Dunia memperkirakan Suriah memerlukan lebih dari 250 miliar dolar AS (sekitar Rp4.100 triliun) untuk membangun kembali negaranya. Pencabutan sanksi di sektor minyak, gas, listrik, dan transportasi akan sangat membantu pemulihan ekonomi negara tersebut.
3. Kekerasan sektarian ancam stabilitas Suriah
Israel menduduki sebagian wilayah barat daya Suriah setelah penggulingan Assad dan rutin melakukan serangan. Organisasi Pengamat Suriah untuk Hak Asasi Manusia melaporkan serangan minggu lalu sebagai serangan terberat yang dilakukan Israel terhadap Suriah tahun ini.
Israel berupaya memposisikan diri sebagai pelindung komunitas minoritas Druze di Suriah setelah pecahnya pertempuran antara pasukan pendukung pemerintah dan milisi. Namun mayoritas komunitas Druze justru menolak campur tangan Israel dalam urusan ini.
Suriah juga sedang dihantui konflik sektarian. Pada Maret lalu, sekitar 1.600 orang tewas dalam operasi pemberantasan loyalis Assad. Mayoritas korban berasal dari komunitas Alawi, dilansir NYT.
Macron menyampaikan keprihatinannya atas kekerasan tersebut dan menekankan pentingnya perlindungan bagi seluruh warga Suriah. Saat ini, pemerintahan baru Suriah sedang berusaha memperbaiki citranya untuk memperoleh pengakuan internasional.