Trump Desak Hamas Terima Proposal Gencatan Senjata Terbaru

- Israel pertimbangkan gencatan senjata yang ditawarkan Trump
- Hamas menanggapi usulan gencatan senjata terbaru AS
- AS beri sanksi terhadap 3 organisasi HAM Palestina
Jakarta, IDN Times - Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, mengklaim bahwa Israel telah menerima persyaratan gencatan senjata. Ia juga menyerukan kepada Hamas untuk melakukan hal yang sama.
"Semua orang ingin para sandera pulang. Semua orang ingin perang ini berakhir!," kata Trump dalam unggahannya di Truth Social pada Minggu (7/9/2025).
"Saya telah memperingatkan Hamas tentang konsekuensi, jika tidak menerimanya. Ini peringatan terakhir saya, tidak akan ada peringatan lain!," tambahnya, dikutip dari Anadolu Agency.
Ultimatum Trump muncul saat tekanan internasional meningkat untuk perjanjian gencatan senjata yang akan menghentikan serangan militer Israel. Berdasarkan laporan pada 7 September 2025 oleh otoritas Gaza, perang Israel di Gaza telah menewaskan setidaknya 64.368 warga Palestina dan melukai 162.776 lainnya sejak Oktober 2023. Wilayah kantong tersebut juga menghadapi kondisi kelaparan.
1. Israel pertimbangkan gencatan senjata yang ditawarkan Trump
Terkait pernyataan Trump tersebut, kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu secara serius mempertimbangkan gencatan senjata menyeluruh dan kesepakatan pertukaran sandera.
Menurut lembaga penyiaran publik Israel KAN dan Channel 12, usulan Trump itu membawa perubahan mendasar dibandingkan usulan sebelumnya.
Berdasarkan laporan, ketentuan perjanjian tersebut adalah Hamas membebaskan seluruh 48 sandera Israel, termasuk yang tewas, pada hari pertama gencatan senjata. Ini dengan imbalan sekitar 3 ribu tahanan Palestina yang telah ditahan di penjara-penjara di Israel.
Usulan tersebut juga mengharuskan Tel Aviv menghentikan serangannya untuk menduduki kota Gaza dan memulai negosiasi segera. Nantinya, upaya mengakhiri perang tersebut akan dipimpin langsung oleh Trump sendiri.
2. Hamas menanggapi usulan gencatan senjata terbaru AS

Pada Jumat (5/9/2025), Trump mengatakan bahwa ia terlibat dalam negosiasi sangat mendalam dengan kelompok Palestina Hamas, yang telah menyetujui proposal terbaru dari mediator Qatar dan Mesir pada bulan lalu.
Mesir dan Qatar telah memediasi negosiasi tidak langsung antara Israel-Hamas, guna mencapai pertukaran tahanan dan mengakhiri perang Gaza. Pada 18 Agustus, Hamas menyetujui gencatan senjata selama 60 hari, tetapi Israel belum menanggapi.
Dalam sebuah pernyataan, Hamas mengakui telah menerima beberapa gagasan dari pihak AS yang bertujuan mencapai kesepakatan gencatan senjata. Pihaknya juga terbuka untuk membahas pembebasan semua tawanan yang ditahannya dengan imbalan deklarasi yang jelas untuk mengakhiri perang dan penarikan penuh Israel dari Gaza.
"Hamas menyambut baik setiap inisiatif yang berkontibusi pada upaya menghentikan agresi terhadap rakyat kami," kata Hamas, dikutip dari Al Jazeera.
Hamas telah berulang kali menyatakan kesiapannya untuk mencapai kesepakatan penuh dengan Israel. Namun, Netanyahu menolak usulan tersebut. Ia bersikeras pada pengaturan parsial yang memungkinkannya menunda dan memberlakukan persyaratan baru pada setiap tahap negosiasi.
3. AS beri sanksi terhadap 3 organisasi HAM Palestina

Baru-baru ini, Washington memberikan sanksi kepada tiga organisasi hak asasi manusia (HAM) Palestina atas peran mereka dalam mendukung penyelidikan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) terhadap pejabat Israel.
Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mengatakan pada Kamis (4/9/2025) bahwa Al Haq, Pusat HAM Al Mezan, dan Pusat HAM Palestina (PCHR) ditetapkan berdasarkan perintah eksekutif yang ditandangani oleh Trump pada Februari. Disebutkan, sanksi menargetkan pejabat ICC karena mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu atas kejahatan perang di Gaza.
"Entitas-entitas ini telah terlibat langsung dalam upaya ICC untuk menyelidiki, menangkap, menahan atau mengadili warga negara Israel, tanpa persetujuan Israel," kata Rubio dalam sebuah pernyataan.
"AS dan Israel bukan pihak dalam Statuta Roma dan oleh karena itu tidak tunduk pada wewenang ICC. Kami menentang agenda ICC yang dipolitisasi, tindakan yang melampaui batas, dan mengabaikan kedaulatan AS dan sekutu kami," sambungnya.
Keputusan ini diambil beberapa hari setelah AS mencabut visa bagi pejabat otoritas Palestina yang melarang mereka bepergian ke New York untuk menghadiri Sidang Umum PBB ke-80 pada bulan ini. Langkah tersebut menyusul pengumuman beberapa negara, termasuk Prancis, Inggris, Kanada, dan Australia, bahwa mereka akan mengakui negara Palestina selama konferensi PBB.