UEA Jatuhi Hukuman Seumur Hidup ke 43 Orang Terkait Teror

- Pengadilan di UEA menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada 43 orang karena terlibat dalam organisasi teroris.
- 10 terdakwa lainnya dihukum 10-15 tahun penjara atas tuduhan bekerja sama dengan al-Islah dan pencucian uang.
- Kasus persidangan massal "UEA 84" melibatkan lebih dari 80 pembela hak asasi manusia dan politik, yang dipenjara selama dekade setelah persidangan "UEA 94" pada tahun 2013.
Jakarta, IDN Times - Pengadilan di Uni Emirat Arab (UEA) menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada 43 orang pada Rabu (10/7/2024). Mereka dihukum karena kejahatan menciptakan, mendirikan, dan mengelola organisasi teroris.
Mereka yang dihukum terkait dengan Organisasi Ikhwanul Muslimin, sebuah gerakan Islam dan afiliasi lokalnya, partai al-Islah. Kedua organisasi itu telah dilarang dan ditetapkan sebagai organisasi teroris di negara itu sejak tahun 2014.
1. Terdakwa lainnya dihukum 10 hingga 15 tahun penjara

Dilansir BBC, selain 43 orang dihukum seumur hidup, pengadilan juga menghukum 10 terdakwa lainnya hukuman penjara 10 hingga 15 tahun atas tuduhan bekerja sama dengan al-Islah dan pencucian uang. Satu terdakwa dibebaskan dan 24 kasus dinyatakan tidak dapat diterima.
Kelompok Human Rights Watch (HRW) mengatakan kasus ini merupakan persidangan massal yang melibatkan lebih dari 80 pembela hak asasi manusia dan pembangkang politik, yang dikenal sebagai "UEA 84". Sebagian dari mereka telah dipenjara selama lebih dari satu dekade setelah dihukum dalam persidangan "UEA 94" pada tahun 2013.
Pihak berwenang mengatakan tuduhan terbaru tersebut sangat berbeda dari tuduhan yang diajukan pada tahun 2013, yang tidak mencakup tuduhan pendanaan "organisasi teroris".
Pada Januari lalu, jaksa agung merujuk para terdakwa ke Pengadilan Banding Federal Abu Dhabi atas tuduhan mendirikan organisasi rahasia lain untuk tujuan melakukan tindakan kekerasan dan terorisme di UEA, yang dikenal sebagai Komite Keadilan dan Martabat.
2. Kecaman atas keputusan hukuman

Dilansir Associated Press, terkait putusan tersebut dilaporkan tidak ada bukti spesifik yang dikutip pengadilan yang menghubungkan mereka yang dihukum dengan kekerasan atau Ikhwanul Muslimin. Para terdakwa dapat mengajukan banding atas putusan ke Mahkamah Agung.
“Hukuman yang sangat panjang ini mengolok-olok keadilan dan menjadi paku terakhir di peti mati bagi masyarakat sipil UEA yang baru lahir. UEA telah menyeret sejumlah pembela hak asasi manusia dan anggota masyarakat sipilnya yang paling berdedikasi melalui persidangan yang tidak adil dan penuh dengan pelanggaran proses hukum dan tuduhan penyiksaan," kata Joey Shea, seorang peneliti yang berfokus pada UEA untuk HRW.
Pusat Advokasi Tahanan Emirates, sebuah kelompok advokasi di pengasingan, secara terpisah melaporkan bahwa hukuman telah dijatuhkan.
"Sangat disayangkan, hukuman ini sepenuhnya dapat diduga. Sejak awal, jelas bahwa persidangan ini hanyalah kedok yang dirancang untuk melanggengkan penahanan tahanan hati nurani bahkan setelah hukuman mereka dijalani," kata direkturnya Mohamed al-Zaabi.
Amnesty International mengkritik hukuman ini, dengan mengatakan para terdakwa ditahan dalam kurungan isolasi yang lama, tidak boleh berhubungan dengan keluarga dan pengacara mereka, dan tidak diperbolehkan tidur karena terus-menerus mendengarkan musik keras. Organisasi itu juga menyampaikan bahwa terdakwa dilarang menerima dokumen pengadilan yang paling mendasar.
“Persidangan ini merupakan parodi keadilan yang tidak tahu malu dan melanggar berbagai prinsip dasar hukum, termasuk prinsip bahwa kamu tidak dapat mengadili orang yang sama dua kali untuk kejahatan yang sama, dan prinsip bahwa kamu tidak dapat menghukum orang secara retroaktif berdasarkan hukum yang tidak ada pada saat terjadinya pelanggaran yang dituduhkan,” kata Devin Kenney, seorang peneliti Amnesty International.
3. Beberapa terdakwa yang dihukum

Beberapa orang yang diadili dalam persidangan itu dikenal sebagai pembela hak asasi manusia yang terkenal. HRW mengidentifikasi tiga orang yang dihukum penjara seumur hidup, yaitu Nasser bin Ghaith, Abdulsalam Darwish al-Marzouqi, dan Sultan Bin Kayed al-Qasimi. Aktivis terkemuka Ahmed Mansoor termasuk di antara para terdakwa.
Ghaith merupakan seorang akademisi yang ditahan sejak Agustus 2015 karena unggahannya di media sosial. Dia juga adalah salah satu dari puluhan orang yang dijatuhi hukuman setelah tindakan keras yang meluas di UEA menyusul protes Musim Semi Arab tahun 2011.
Mansoor adalah penerima Penghargaan Martin Ennals untuk Pembela Hak Asasi Manusia pada tahun 2015. Dia telah berulang kali memancing kemarahan otoritas dengan menyerukan kebebasan pers dan kebebasan demokratis.
Aktivis itu pernah menjadi sasaran mata-mata Israel, yaitu dengan menyadap iPhone miliknya pada tahun 2016, yang kemungkinan digunakan oleh pemerintah UEA menjelang penangkapannya pada tahun 2017 dan hukuman 10 tahun penjara atas aktivitasnya.
Selama COP28, Amnesty International dan Human Rights Watch mengadakan demonstrasi dengan memajang wajah Mansoor di Zona Biru yang dikelola Perserikatan Bangsa-Bangsa di pertemuan puncak tersebut dalam sebuah protes yang diawasi ketat.