Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Umat Kristen Ortodoks Palestina Tolak Rayakan Natal Akibat Perang Gaza

ilustrasi pohon natal (unsplash.com/Jonathan Chng)
ilustrasi pohon natal (unsplash.com/Jonathan Chng)

Jakarta, IDN Times - Umat ​​​​Kristen Palestina di seluruh dunia telah menolak merayakan Natal Ortodoks pada Minggu (7/1/2024) akibat serangan Israel yang terus berkecamuk di Gaza. 

Hammam Farah, psikoterapis yang berbasis di kota Kanada, menngaku dirinya hancur saat menyaksikan dari jauh perang yang memporak-porandakan tanah kelahirannya. Baginya, perayaan Natal yang berlangsung meriah di Gaza kini hanya tinggal kenangan.

“Ini adalah waktu yang suci untuk merayakannya, tapi sekarang, keluarga saya sedang melarikan diri dan berada di ambang kepunahan,” katanya kepada The National.

Seperti ribuan warga Palestina lainnya, Farah juga kehilangan bibinya, Ilham Farah, dan sepupunya, Suleiman Tarzy, akibat serangan Israel di Gaza belakang ini. Konflik tersebut dimulai ketika kelompok perlawanan Palestina Hamas meluncurkan serangan lintas batas pada 7 Oktober, yang menewaskan 1.200 orang di Israel dan menyandera 240 lainnya.

Bibi Farah tewas dibunuh penembak jitu Israel pada 12 November, sementara sepupunya terbunuh dalam pemboman di kompleks Gereja Ortodoks Yunani St Porphyrius di kota Gaza pada 19 Oktober. Militer Israel mengatakan bahwa jet tempur mereka tidak menargetkan gereja tersebut, melainkan pusat komando Hamas di dekatnya.

1. Pemimpin gereja di Palestina batalkan perayaan Natal

Menurut pejabat kesehatan Gaza, serangan Israel di wilayah tersebut telah merenggut lebih dari 22.800 nyawa. Adapun mayoritas korban tewas adalah perempuan dan anak-anak.

Sekitar 85 persen dari 2,3 juta penduduk Gaza juga telah meninggalkan rumah mereka, dengan sebagian besar di antara mereka mencari perlindungan di zona aman yang ditetapkan Israel di Gaza selatan. Namun, Israel juga secara rutin melancarkan serangan di wilayah tersebut, sehingga membuat banyak warga merasa tidak lagi memiliki tempat yang aman untuk berlindung.

Dengan situasi seperti ini, sekitar 30 pemimpin gereja utama Palestina sepakat untuk membatalkan seluruh perayaan Natal untuk memprotes situasi kemanusiaan yang terjadi di Gaza.

“Mustahil untuk merayakan dan menyalakan pohon Natal dan bersuka cita dalam situasi seperti ini,” kata pendeta Munther Isaac, pendeta di Gereja Natal Evangelis Lutheran di Bethlehem.

Natal Ortodoks pada 7 Januari dirayakan oleh 200-300 juta orang di seluruh dunia, termasuk anggota cabang Ortodoks Timur, yang diikuti oleh sebagian besar umat Kristen di Timur Tengah.

2. Umat Kristiani menolak merayakan natal di tengah berlangsungnya genosida di Gaza

Analis politik yang berbasis di Washington, Khalil Sayegh, mengatakan bahwa nyawa ayahnya, Jeries Sayegh, tak dapat tertolong karena terbatasnya perawatan medis akibat blokade Israel. Selama konflik, ayahnya berlindung di Gereja Katolik Keluarga Kudus di Gaza utara.

“Rumah kami dibom pada hari-hari awal perang. Seperti umat Kristiani lainnya di lingkungan kami di Gaza utara, ayah saya berlindung di Gereja Katolik Keluarga Kudus terdekat," kata Sayegh.

“Kesehatan ayah saya memburuk, dan karena hancurnya hampir semua fasilitas kesehatan di wilayah utara, dia tidak dapat bertahan," tambahnya. 

Sayegh bahkan tidak dapat berbicara dengan ayahnya melalui telepon untuk terakhir kalinya lantaran jaringan komunikasi yang sering terganggu. Ayahnya meninggal pada 21 Desember.

Selain rasa kehilangan pribadi, solidaritas antara sesama warga Palestina atas tragedi yang berlangsung di Gaza membuat Sayegh dan umat Kristiani lainnya memutuskan untuk tidak mendekorasi pohon Natal tahun ini.

“Kami tidak bisa merayakannya ketika ada potensi genosida yang terjadi di Gaza,” ujar Sayegh.

3. Umat Kristiani Palestina merasa dikucilkan

Menurut laporan Departemen Luar Negeri AS pada 2022, 50 ribu umat Kristen Palestina tinggal di Tepi Barat dan Yerusalem, sementara sekitar 1.300 lainnya tinggal di Gaza. 

“Mata pencaharian kami di sini sangat sulit. Kami tidak berkembang sebagai sebuah komunitas di Palestina, dan karena meningkatnya emigrasi, jumlah kami berkurang," ujar Rev Isaac kepada The National.

Sayegh mengatakan bahwa warga Kristen Palestina juga mengalami penindasan yang sama seperti warga Muslim saat hidup di bawah apartheid dan pendudukan Israel.

“Meskipun kebangkitan politik Islam di Gaza telah melepaskan kekuatan radikal ketika Hamas pertama kali mengambil alih Gaza pada tahun 2007, namun setelah kelompok tersebut mengkonsolidasikan kekuasaan, mereka menghentikan gangguan terhadap komunitas Kristen,” kata Sayegh.

“Hamas bahkan melindungi gereja-gereja, memastikan bahwa elemen-elemen ekstremis lainnya di masyarakat Palestina dapat dicegah," sambungnya. 

Meski begitu, Farah merasa umat Kristiani masih merasa dikucilkan dari perjuangan untuk kemerdekaan Palestina.

“Kami merasa tersisih. Perjuangan Palestina telah menjadi perang agama antara Muslim versus Yahudi. Umat ​​​​Kristen merasa dikucilkan dari percakapan ini. Kami juga diusir dari rumah kami, tanah kami disita, dan masyarakat kami, juga menjadi sasaran pembersihan etnis yang terus dilakukan Israel," katanya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Fatimah
EditorFatimah
Follow Us