WHO Puji Peran Indonesia dalam Negosiasi Perjanjian Pandemi

- Menkes Budi menjadi pemimpin bersama untuk komite percepatan vaksin Tuberculosis.
- Perjanjian Pandemi pertama di dunia diadopsi secara konsensus oleh WHA ke-78, tanpa partisipasi AS.
Jenewa, IDN Times – Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus memuji peran Indonesia dalam negosiasi perjanjian pandemi
(Pandemic Treaty).
“Saya berterima kasih atas peran Indonesia, Anda dan tim sangat membantu dalam mendorong perjanjian ini,” ujar Tedros saat menerima Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Budi Gunadi Sadikin, di ruang kerjanya, Gedung Palais de Nations, tempat berlangsungnya World Health Assembly, WHA ke-78, pada Selasa (20/5/2025).
Dalam pertemuan itu Menkes Budi menyampaikan sejumlah usulan mewakili Indonesia dan melaporkan hasil pembahasan percepatan vaksin Tuberculosis. Menkes Budi dan Menkes Brasil Alexandre Padhila menjadi pemimpin bersama untuk komite percepatan vaksin TB ini.
1. Menkes Budi gencar promosikan pentingnya Pandemic Treaty

Dalam berbagai kesempatan, termasuk di sejumlah acara yang digelar dalam rangkaian
pertemuan puncak WHA ke-78 tahun kali ini, Menkes Budi memang rajin menjelaskan
pentingnya Dana Pandemi (Pandemic Fund) dan Perjanjian Pandemi (Pandemic Treaty).
Hajatan WHA ke-78 berlangsung di Palais de Nations, kantor pusat Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) di Jenewa, berlangsung 19-27 Mei 2025.
Menkes Budi hadir selama 2,5 hari, karena dia tiba di Jenewa menjelang sore 19 Mei 2025. Selain pidato di Paripurna WHA, Budi jadi pembicara di sembilan sesi pendamping yang digelar selama WHA 78. Delegasi Indonesia ikut serta, baik sebagai pembicara maupun penanggap dan peserta di 92 sesi pendamping WHA 78.
“Ketika saya diangkat jadi menteri kesehatan di tengah pandemi COVID-19, saya melihat
dua problem besar yang kami hadapi saat itu. Pertama, gak punya duit. Kedua, kalaupun ada duit, bagaimana menggunakan dana itu untuk mengakses peralatan medik, vaksin dan obat- obatan untuk kondisi darurat saat itu. Sangat sulit bagi kami untuk mendapatkan pakaian pelindung bagi tenaga medis, ventilator, apalagi vaksin,” ujar Budi, saat bicara di sesi “Membangun Ketahanan: Pendekatan Lokal dan Regional Untuk Kesiapan Pandemik dan Keamanan Kesehatan” yang digelar di kediaman Duta Besar Prancis di Jenewa, Senin (19/5/2025).
Di depan 200-an peserta, Budi memaparkan, pengalaman Indonesia yang juga dialami
banyak negara saat itu, mendorong mulai dibahas Dana Pandemi (Pandemic Fund) dalam
pertemuan menteri Kesehatan negara anggota G-20 di Italia, yang menjadi presidensi G-20
2021. Pembahasan dilanjutkan dan disepakati saat G20 presidensi Indonesia 2022.
“Pandemic Fund ini ibarat Dana Moneter Internasional, IMF, disaat terjadi krisis keuangan
global,” kata Budi. Tetapi, ada dana darurat saja tidak cukup.
“Kita perlu struktur yang bisa menjamin setiap negara dapat hak yang setara dalam mengakses kebutuhan medical darurat saat terjadi krisis. Di sini muncul ide Perjanjian Pandemi (Pandemic Treaty), katanya.
Dia menambahkan, "Bagi kita di sini yang saat itu terlibat dalam penanganan pandemi, kita pasti paham bahwa dana pandemi dan kesepakatan pandemi adalah dua pilar utama yang dibutuhkan oleh arsitektur kesehatan dunia saat terjadi krisis serupa, sebagaimana dunia keuangan memiliki IMF dan Bank Dunia yang membantu dunia, saat terjadi krisis keuangan global. Dan, akses itu harus setara, sehingga semua negara, apalagi negara miskin bisa mengakses perlengkapan medis, terapi maupu vaksin yang dibutuhkan."
2. Negosiasi Perjanian Pandemi berlangsung alot selama 3 tahun, 124 negara mendukung

Meskipun AS memutuskan tidak ikut membahas, karena AS dalan proses menarik diri dari
keterlibatan di WHO sejak pemerintahan Presiden Donald J. Trump, Rapat Paripurna WHA
78, Selasa (20/5/2025) resmi mengadopsi secara konsensus Perjanjian Pandemi pertama di dunia. Keputusan penting oleh WHA ke-78 ini merupakan puncak dari lebih dari tiga tahun negosiasi intensif yang diluncurkan oleh pemerintah sebagai tanggapan atas dampak buruk pandemi COVID-19, dan didorong oleh tujuan untuk membuat dunia lebih aman dari – dan lebih adil dalam menanggapi – pandemi di masa mendatang.
“Dunia menjadi lebih aman saat ini berkat kepemimpinan, kolaborasi, dan komitmen negara- negara anggota kami untuk mengadopsi Perjanjian Pandemi WHO yang bersejarah,” kata Tedros Adhanom Ghebreyesus.
“Perjanjian ini merupakan kemenangan bagi kesehatan masyarakat, sains, dan tindakan multilateral. Perjanjian ini akan memastikan kita, secara kolektif, dapat melindungi dunia dengan lebih baik dari ancaman pandemi di masa mendatang. Perjanjian ini juga merupakan pengakuan oleh komunitas internasional bahwa warga negara, masyarakat, dan ekonomi kita tidak boleh dibiarkan rentan untuk kembali menderita kerugian seperti yang dialami selama COVID-19.”
Dalam paripurna WHA, 124 negara anggota WHO mendukung Perjanjian Pandemi, 11
negara abstain, sedangkan AS tidak ikut serta.
3. Pandemic Treaty menjamin kesetaraan akses bagi semua di saat terjadi krisis pandemi

“Dimulai pada puncak pandemi COVID-19, pemerintah dari seluruh penjuru dunia bertindak
dengan tujuan, dedikasi, dan urgensi yang besar, dan dengan demikian menjalankan kedaulatan nasional mereka, untuk merundingkan Perjanjian Pandemi WHO yang bersejarah yang telah diadopsi hari ini,” kata Teodoro Herbosa, Sekretaris Departemen Kesehatan Filipina, dan Presiden Majelis Kesehatan Dunia tahun ini, yang memimpin paripurna pengambilan keputusan.
“Sekarang setelah Perjanjian tersebut diberlakukan, kita semua harus bertindak dengan
urgensi yang sama untuk menerapkan elemen-elemen pentingnya, termasuk sistem untuk
memastikan akses yang adil terhadap produk-produk kesehatan terkait pandemi yang
menyelamatkan jiwa. Karena COVID adalah keadaan darurat sekali seumur hidup, Perjanjian Pandemi WHO menawarkan kesempatan sekali seumur hidup untuk membangun pelajaran yang dipetik dari krisis itu dan memastikan orang-orang di seluruh dunia terlindungi dengan lebih baik jika pandemi di masa mendatang muncul.”
Perjanjian Pandemi WHO menetapkan prinsip, pendekatan, dan alat untuk koordinasi internasional yang lebih baik di berbagai bidang, untuk memperkuat arsitektur kesehatan global untuk pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons pandemi. Hal ini termasuk melalui akses yang adil dan tepat waktu terhadap vaksin, terapi, dan diagnostik.
Menurut Perjanjian tersebut, produsen farmasi yang berpartisipasi dalam sistem Patogen
Access and Benefits Sharing (PABS) akan memainkan peran penting dalam akses yang adil dan tepat waktu terhadap produk kesehatan terkait pandemi dengan menyediakan akses cepat bagi WHO yang menargetkan 20 persen dari produksi vaksin, terapi, dan diagnostik mereka yang aman, berkualitas, dan efektif untuk patogen yang menyebabkan keadaan darurat pandemi.”
Distribusi produk-produk ini ke negara-negara akan dilakukan atas dasar risiko dan kebutuhan kesehatan masyarakat, dengan perhatian khusus pada kebutuhan negara-
negara berkembang.
Perjanjian Pandemi WHO adalah perjanjian hukum internasional kedua yang dinegosiasikan berdasarkan Pasal 19 Konstitusi WHO, yang pertama adalah Konvensi Kerangka Kerja WHO tentang Pengendalian Tembakau, yang diadopsi pada tahun 2003 dan mulai berlaku pada tahun 2005.