Xi Jinping Bawa China Bersinar Usai AS Tinggalkan KTT APEC 2025

- China ambil alih panggung multilateral
- Kehadiran AS di APEC terasa dingin, menunjukkan prioritas yang berbeda.
Jakarta, IDN Times - Saat Air Force One Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump meninggalkan Busan, Korea Selatan, untuk kembali ke Washington, limusin Hongqi N701 milik Presiden China Xi Jinping justru baru meluncur ke tempat KTT APEC digelar. Dua momen itu terasa simbolis, satu pemimpin meninggalkan panggung, satu lagi bersiap jadi pusat perhatian.
KTT APEC 2025 kali ini tidak hanya soal ekonomi dan perdagangan, tapi juga tentang siapa yang sebenarnya memimpin arah kerja sama di kawasan Asia-Pasifik.
Dengan Amerika Serikat di bawah Donald Trump yang sibuk dengan kebijakan proteksionis dan tarif tinggi, China melangkah cepat memosisikan diri sebagai pembela perdagangan bebas.
Xi Jinping tampil percaya diri di hadapan para pemimpin dunia. Dia menyerukan pentingnya multilateralisme dan sistem perdagangan global yang adil.
“Kita harus mempraktikkan multilateralisme sejati,” kata Xi Jinping menegaskan peran China di panggung dunia.
Sementara, Trump absen dari sesi utama APEC dan hanya diwakili Menteri Keuangan Scott Bessent. Kehadiran Xi pun menjadi magnet. Para analis menilai, inilah momen ketika Asia benar-benar melihat siapa yang hadir dan siapa yang memilih pergi.
Kawasan ini seolah jadi saksi pergeseran. Dari AS yang dulu penggerak globalisasi, kini ke China yang berusaha merebut sepenuhnya.
1. China ambil alih panggung multilateral

China datang ke APEC tidak hanya untuk bicara, tetapi juga menunjukkan komitmen. Xi Jinping menegaskan, Beijing ingin memperbarui aturan perdagangan global agar lebih berpihak pada negara berkembang.
Pesan itu disampaikan jelas. Apabila dunia butuh pemimpin baru untuk perdagangan bebas, China siap. Dikutip dari Straits Times, Jumat (31/10/2025), Xi juga menyinggung perlunya meningkatkan efektivitas sistem perdagangan multilateral dengan WTO sebagai pusatnya.
Sementara itu, kehadiran AS di forum APEC justru terasa dingin. Trump yang mempersingkat kunjungannya seolah menunjukkan bahwa multilateralisme bukan lagi prioritas. Bagi banyak negara Asia, pemandangan ini mengingatkan pada pola lama, yaitu AS bicara keras soal perdagangan, tapi justru membangun lebih banyak tembok tarif.
Di sisi lain, China berusaha jadi wajah baru keterbukaan ekonomi. Namun tentu saja, tak semua negara percaya begitu saja.
2. Antara strategi ekonomi dan dominasi China

China memanfaatkan momentum ketidakpastian yang ditinggalkan AS untuk memperluas pengaruhnya. Dalam sepekan, Beijing juga menandatangani perjanjian perdagangan bebas baru dengan ASEAN di Kuala Lumpur.
Langkah itu menunjukkan bagaimana China bergerak cepat membangun koneksi ekonomi regional, dari infrastruktur, rantai pasok, sampai investasi jangka panjang.
Namun, di balik semua itu, ada kekhawatiran tersendiri. Negara-negara tetangga khawatir dengan besarnya dominasi ekonomi China, termasuk kecenderungan mereka menggunakan kontrol ekspor untuk menekan pihak lain.
Jepang misalnya, secara terbuka menyebut bahwa China memanfaatkan sumber daya untuk memaksakan posisi politik. Pernyataan keras itu mencerminkan skeptisisme yang masih kuat di kawasan.
Tetap saja, bagi banyak negara berkembang di Asia, kerja sama dengan China sering kali terasa lebih nyata dibanding janji-janji dari Washington.
3. Amerika ketinggalan langkah di kawasan

Trump memang dikenal suka membuat gebrakan, tapi keputusannya melewatkan KTT APEC dinilai jadi kesalahan strategis. Dalam politik Asia, kehadiran adalah pesan.
Beberapa diplomat menyebut, dengan tidak hadirnya Trump, AS terlihat tidak konsisten dalam menjaga keterlibatan di Asia-Pasifik. Padahal, forum seperti APEC dulu dibentuk justru atas inisiatif Amerika sendiri.
Sebaliknya, Xi Jinping menggunakan kesempatan ini untuk memperkuat citra China sebagai mitra jangka panjang.
“Kami mendukung perdagangan terbuka yang saling menguntungkan,” kata Xi Jinping dalam pidato pembukaan.
Perbandingan itu sulit dihindari. Pada saat Trump sibuk dengan urusan domestik dan tarif baru, Xi tampil sebagai pemimpin global yang bicara tentang stabilitas, kerja sama, dan masa depan bersama.



















