[OPINI] Hidup Pascapandemi: Fleksibel, Digital, tapi Makin Terasing?

Pandemi merupakan wabah penyakit berskala global (Ramadani, 2021). Pandemi membawa manusia dalam suatu gaya hidup yang baru. Mulai dari setiap pertemuan jarak jauh diadakan secara daring, segala macam aktivitas yang serba digital, dan hal lainnya yang manusia manfaatkan saat pandemi Covid-19 tersebut berlangsung. Beragam macam aktivitas pascapandemi terlihat lebih fleksibel dengan digitalisasi yang ada. Namun, masa pandemi juga memberikan sebuah efek kepada umat manusia dalam keterasingan mereka.
Serba-serbi digital yang ditawarkan oleh dunia membuat manusia hidup dengan lebih mudah. Teknologi membuat kehidupan manusia menjadi lebih baik dan produktif dari sebelumnya. Contohnya, berkat perkembangan AI (Artificial Intelligent) sejumlah jawaban yang diperlukan dalam setiap kegiatan manusia dapat terjawab dengan cepat serta mudah dimengerti oleh segala macam jenis kalangan. Internet yang semakin meningkat pula menjadi sebuah peluang untuk bisa lebih mengembangkan ke segala hal, seperti perekonomian, perindustrian, bahkan sampai kegiatan keseharian di dalam rumah bisa menjadi lebih efektif.
Meskipun keliatannya seperti sebuah dampak yang bagus, nyatanya beberapa hal dapat menjadi pedang bermata dua bagi umat manusia. Teknologi informasi yang berkembang pesat membuat manusia saat ini mau yang serba instan, sehingga tingkat aktivitas mereka menjadi berkurang. Contohnya, dengan adanya aplikasi ojek online memungkinkan penggunanya bisa memesan motor untuk bisa mengantarkannya ke tempat tujuan yang padahal jaraknya bisa dibilang dekat (1-1.5 km) dimana sebenarnya dia bisa berjalan kaki ke tempat tujuan. Keliatannya sepele, tapi hal kecil seperti ini setidaknya bisa meningkatkan kebugaran jasmani dari seseorang maupun menghemat biaya transport. Ketergantungan AI dapat berpotensi membahayakan umat manusia jika tidak dikontrol dengan baik. Demi mencari informasi secara cepat, AI dimanfaatkan oleh manusia saat ini untuk mencari informasi – informasi yang diperlukan, tanpa memperhitungkan kebenaran beserta ketepatan dari informasi tersebut.
Terdapat juga fenomena brain rot, yaitu fenomena pembusukan otak yang disebabkan oleh media sosial, dimana kemampuan daya ingat, fokus, kemampuan analisis, berpikir kritis menurun dan kebutuhan akan validasi sosial yang meningkat. Hal ini tentunya bisa memengaruhi kehidupan manusia dalam kesehariannya, seperti gangguan kognitif, emosi, serta berdampak dalam interaksi sosial (Artika Mulyaning Tyas, 2024).
Ngomongin soal interaksi sosial, Dr. Rush, mengungkapkan bahwa salah satu hal yang paling sulit dipahami oleh beberapa orang saat ini ialah interaksi sosial setelah pandemi (Stephen Rush, 2024). Saya berpikir bahwa pascapandemi dengan perkembangan teknologi informasi yang pesat dapat mengurangi kegiatan perbincangan antar manusia karena mereka selalu mengandalkan teknologi tersebut sebagai ‘alat pelarian’ mereka dari dunia nyata, sehingga saat mau bertemu dengan seseorangpun tidak terdapat sebuah percakapan antara mereka, melainkan hanya melihat reels dari telepon genggam mereka masing – masing. Dikarenakan perkembangan teknologi digital, kegiatan manusia saat ini bisa selalu instan tanpa harus penggunannya untuk pergi keluar, sehingga meningkatkan jumlah manusia yang selalu berdiam diri di dalam rumah/tempat tinggalnya. Hiburan juga bisa didapatkan dengan mudah lewat sejumlah aplikasi/laman internet hiburan yang terkait (Netflix, Disney+, Spotify, dan lainnya) secara instan. Oleh karena itulah, umat manusia dalam hal interaksi bersama dapat berkurang. Salah satu penyebabnya adalah pandemi yang membuat umat manusia harus menjalani isolasi di rumah selama beberapa tahun lamanya, sehingga saat ini mereka telah terbiasa untuk hidup sendiri di rumah.
Pascapandemi telah banyak hal yang berubah dalam diri setiap manusia. Dari gaya hidup sampai produktivitas manusia menjadi lebih bergantung sama perkembangan teknologi. Tentunya ada dampak baik serta buruk yang timbul dari hidup setelah pandemi. Sebagai manusia, kita bisa harus belajar serta beradaptasi dengan perkembangan yang ada, sehingga kita bisa menyaring beberapa hal yang terjadi dari perubahan tersebut.
Referensi:
- Artika Mulyaning Tyas, S. M. (2024, Februari 18). Brain rot: Fenomena media sosial yang mengancam kesehatan mental. Kemenkes RS Marzoeki Mahdi. Diakses April 2025.
- Ramadani, A. (2021, Maret 18). Bedanya endemi, epidemi, dan pandemi. Universitas Airlangga | Fakultas Keperawatan. Diakses April 2025.
- Stephen Rush, M. B. (2024, Mei 30). The loneliness epidemic: Escape post-pandemic social isolation. UC Health. Diakses April 2025.