Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[OPINI] Maraknya Kekerasan di Satuan Pendidikan kesalahan Orangtua?

Ilustrasi kekerasan. (IDN Times/Nathan Manaloe)

"Polisi menetapkan dua pelajar SMP sebagai tersangka penganiayaan di Kabupaten Sukabumi. Keduanya dengan tega membacok mati MG (15) saat sedang pulang sekolah.
Korban, diketahui tewas setelah diserang oleh dua pelajar lainnya, berusia 15 dan 14 tahun pada Rabu (28/8/2024)."  Peristiwa ini cukup miris karena Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi tengah gencar-gencarnya memerintahkan seluruh satuan pendidikan untuk menyusun SK Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK).

Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, di setiap satuan pendidikan diminta untuk membentuk TPPK, namun ternyata kekerasan di antara siswa tetap terus berlangsung. 

Menurut Devi Indra Kusumah Kepala Seksi Kesiswaan dan Manajemen SMP pada Dinas Pendidikan Kabupaten Sukabumi, seperti dikutip dari media Tatar Sukabumi, upaya untuk mencegah kekerasan di sekolah terus dilakukan, termasuk melalui edukasi kepada satuan pendidikan mengenai sekolah ramah anak. Menurutnya, setelah edukasi ini diterapkan, jumlah kasus kekerasan cenderung menurun, meskipun tantangan masih ada terutama di daerah terpencil yang infrastrukturnya kurang mendukung​.

Timbul pertanyaan, apakah TPPK memang efektif mencegah terjadinya kekerasan di satuan pendidikan?

Adanya SK TPPK baik di pemerintah daerah dan satuan pendidikan, tentunya tidak akan efektif bila tanpa kerjasama dengan pihak orangtua dan masyarakat sekitarnya. Siswa tumbuh berkembang dalam hidupnya dididik oleh orangtuanya, hal ini yang sebenarnya menjadi poin penting dalam membentuk dan mengarahkan emosi dan mental siswa. 

Sayangnya saat ini orangtua tidak sedikit yang abai terhadap pendidikan pembentukan karakter ini dan lebih menyerahkan pada sekolah. Padahal, seorang anak (baca: siswa) sekolah dalam waktu kurang lebih 8 jam, sisanya adalah tinggal di rumah bersama orangtuanya. 

Budaya empati, berpikiran positif, mudah memaafkan, mengucapkan terimakasih dan budaya lainnya, sejatinya di ajarkan oleh orangtuanya. Edward B. Tylor, seorang antropolog Inggris, mendefinisikan budaya sebagai keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan lain yang didapatkan manusia sebagai anggota masyarakat. Taylor menekankan bahwa budaya adalah sesuatu yang dipelajari dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Budaya harus dipelajari dan diwariskan, itu artinya suatu kewajiban bagi orangtua untuk mempelajari dan mewariskan berbagai budaya tersebut pada keturunannya, sehingga terbentuk masyarakat yang berbudaya.

Selembar SK TPPK memang tidak akan berfungsi tanpa adanya rincian tugas dan pelaksanaannya dari tim tersebut, namun sejauh apapun upaya mereka tidak akan efektif tanpa kerjasama dengan orangtua, karena budaya itu diajarkan dan diwariskan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
handphone muti
Editorhandphone muti
Follow Us