Memulai Pandemik di Negeri Ratu Elizabeth dan Trauma yang Dalam

#SatuTahunPandemik COVID-19

Sudah setahun pandemik COVID-19 berlangsung di Indonesia, bahkan dunia. Tentu, saya sudah jengah dan bosan dengan situasi yang tak pasti seperti ini. Kegiatan menjadi terbatas, interaksi dengan kawan jadi tak bebas, bagaikan hidup dalam sangkar burung, selalu diatur dengan berbagai protokol ketat.

Apalah daya, malang tak bisa ditolak karena memang seluruh dunia merasakannya. Bukan hanya stres, tapi ngeri rasanya.

Ingat sekali, bagaimana saya mengawali perjalanan setahun belakangan di masa pandemik. Kebetulan, sebelum kasus pertama COVID-19 ditemukan di Indonesia, saya sempat melakukan perjalanan ke negara yang lebih dulu terjangkit.

Setahun lalu, tepatnya 21 Februari 2020, saya berangkat ke Inggris, untuk keperluan pekerjaan. Saat itu, sudah ada warga positif COVID-19 yang ditemukan di Inggris, sekitar 12 kasus.

Keadaan ketika itu masih normal. Orang-orang di penjuru Inggris, kebanyakan tak mengenakan masker saat bepergian ke mana-mana, meski sudah ada 12 kasus positif COVID-19.

Saya, ketika itu, merasa sedikit waspada. Masker sudah saya pakai. Pun, menggunakan hand sanitizer, saat pergi ke mana saja, termasuk ketika bepergian dengan kereta.

Tapi, tetap saja, hati ini bergejolak, “capek pakai masker terus”. Ada beberapa momen, saya melepas masker dan masa bodoh mau bicara kepada orang dengan jarak dekat, tanpa mengenakannya. Akhirnya, pada hari keempat hingga terakhir saya di Inggris, praktis tak memakai masker sama sekali.

Bandel, memang, karena saat itu masih berpikiran ribet pakai masker ke mana-mana. Tepat 28 Februari 2020, saya tiba di Indonesia.

Sampai di pintu kedatangan Bandara Soekarno-Hatta, saya sudah ditunggu petugas medis. Mereka tanya, saya dari mana. Cek suhu tubuh. Yang cukup mengecewakan kala itu, pemeriksaan hanya sebatas wawancara saja. Tak ada spesimen yang diambil.

“Dari mana? Sesak tidak? Pilek tidak? Coba cek dulu suhu tubuhnya.”  Ya, sekiranya itu pertanyaan yang dilemparkan ke saya saat mau masuk ke Indonesia. Loh, longgar sekali ya, memang benar.

Saya jawab dengan luwes dan enteng, tak sesak, tak sakit, tidak flu sama sekali. Sempat juga saya sindir petugasnya, “Begini doang pak periksanya?” Dia hanya tersenyum dan tak bicara lebih lanjut. Lolos lah saya, pulang ke rumah dengan bebas. Pun, belum ada pikiran saya terinfeksi atau tidak.

Ketakutan mulai muncul ketika Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, mengumumkan kasus pertama COVID-19, 2 Maret 2020 silam. Saya berpikir saat itu, “Wah corona sudah masuk ke Indonesia, jangan-jangan saya juga membawanya.”

Cemas, was-was, itu perasaan saya. Karena memikirkan yang macam-macam, saya mulai merasa tak enak badan. Saya juga akhirnya mulai merasa sesak di dada, makin takut kalau terinfeksi COVID-19.

Saya pada akhirnya memutuskan untuk melakukan tes. Alhamdulillah, negatif hasilnya. Dokter hanya bilang, kecapekan saja dan cuma mengalami anxious attack.

Satu, dua, tiga bulan berikutnya, kondisi makin tak menentu. Pembatasan kegiatan mulai diberlakukan, meski Jakarta atau Indonesia sama sekali tak melakukan lockdown.

Namun, saya sudah merasa hak-hak dirampas begitu saja oleh virus ini. Saya jadi sulit menyalurkan hobi, bermain sepakbola dan olahraga beladiri. Ya, dua olahraga yang saya gemari, namun harus dipendam hasratnya demi alasan keselamatan.
Bosan juga, berbulan-bulan, hingga satu tahun tak melakukannya. Sesekali membandel, main sepakbola, tapi setelahnya pasti waswas karena bertemu orang yang tak tahu dengan siapa saja mereka berkontak.

Pada akhirnya, saya harus rela menahan diri tak bandel lagi, bermain sepakbola atau berlatih beladiri. Sebab, saya punya istri dan orangtua yang harus dijaga.

Paling stres, ketika semua kantor menerapkan kebijakan work from home alias WFH. Pikiran sudah stres, tak bisa jumpa kawan karib di tempat kerja yang biasa jadi tempat curhat atau sekadar bercanda.

Rasa bosan melanda, karena kegiatan hanya di rumah saja. Mental ini benar-benar diuji, dan begitu menguras emosi. Pekerjaan saya makin terbatas karena tak satu pun cabang olahraga yang berkompetisi akibat pandemik, dalam dan luar negeri.

Bosan menuliskan berita yang itu-itu saja. Yang baca pun sedikit, karena antusiasme menurun akibat kompetisi yang vakum.

Mental ini makin saja diuji karena bulan kelima pandemik, ibu saya masuk rumah sakit. Rasa takut melanda diri saya, khawatir beliau memang positif COVID-19. Sebab, ibu harus swab sejak masuk UGD karena demam hingga 38 derajat sampai sesak napas.

Alhamdulillah, kami masih dilindungi. Ibu saya, ternyata negatif dan mengidap penyakit lain. Namun, tetap saja penyakit tersebut cukup berbahaya karena berurusan dengan jantung.

Sulit rasanya, merawat orangtua di masa pandemi. Sebab, saya tak bisa dengan bebas menjenguknya. Hanya satu orang yang boleh menemaninya di rumah sakit. Itu pun, harus menggunakan tes rapid, swab, dan lainnya.

Terbatas pergerakan kami, mengurus orangtua yang seharusnya mendapat perhatian lebih. Pandemik memang mengubah segalanya. Sepekan sudah ibu saya dirawat, dan akhirnya bisa ke luar dengan tubuh yang sehat.

Sekitar tiga bulan, ibu saya harus bolak-balik ke rumah sakit untuk memeriksakan kesehatannya. Lagi-lagi, prosedurnya begitu sulit. Sebab, kami harus janji dulu ke dokter, dan ambil nomor antrean yang dibatasi, karena protokol kesehatan yang ketat.

Melelahkan, pandemik membuat segalanya jadi sulit. Selama perawatan tiga bulan itu, ibu saya mengalami kemajuan, lebih segar dan sehat.

Namun, pada 25 Desember 2020, beliau harus mengembuskan napasnya yang terakhir. Saya sempat kebingungan, bagaimana harus bersikap. Sebab, kala itu angka penularan sedang tinggi-tingginya. Tapi, saya tak bisa mencegah kerumunan para pelayat yang datang. Yah, saya hanya bisa berharap pemakaman ibu aman, dan mengingatkan kepada ayah saya untuk tetap menjalankan protokol agar terhindar dari marabahaya.

Kekhawatiran saya akhirnya jadi kenyataan. Keluarga kami dihebohkan karena ayah saya tiba-tiba sakit, demam sampai 38,5 derajat celcius. Swab dilakukan, dan ayah saya dinyatakan positif COVID-19. Tracing di rumah orangtua saya dilakukan, dan diketahui, adik saya yang nomor dua positif, pun dengan keponakan saya.

Di sisi lain, meski sudah pisah rumah dengan orangtua,saya harus pula menjalani prosedur. Saya isolasi mandiri bersama istri. Memanggil home care untuk melakukan swab di rumah. Semalaman saya menunggu hasilnya, Alhamdulillah, saya dan istri negatif.

PR berat kami adalah tak bisa berbuat apa-apa untuk merawat ayah kami. Sebab, beliau harus diisolasi mandiri di rumah, bersama adik dan keponakan saya. Kala itu, kondisi ayah saya naik dan turun. Stres rasanya, memikirkan kesehatan beliau.

Saya dan istri hanya bisa membantu merawat beliau dengan memasok bahan-bahan makanan saja, beserta vitamin. Namun, ternyata cara itu cukup jitu. Beliau semakin sehat setelah menjalani isolasi selama tiga pekan. Dan di pekan keempat, ayah saya di-swab, hasilnya sudah negatif.

Yang jadi soal, sepekan setelah ayah saya dinyatakan negatif, adik saya nomor dua malah memburuk keadaannya. Dia sempat lemas, tak berdaya di ranjang. Napasnya tersengal-sengal.

Saya kembali bingung, ketakutan, khawatir ada hal buruk terjadi. Akhirnya, saya mencari rumah sakit yang tersedia, dan bisa merawatnya.

Dalam dua hari, saya harus menyambangi lima rumah sakit agar bisa mendapatkan kamar. Melelahkan, dan memang para petugas bilang kondisinya mencekam.

Di rumah sakit pertama, adik saya hanya ditempatkan di UGD saja. Pun, saat masuk ke rumah sakit kedua. Rumah sakit ketiga yang saya sambangi, tak mau menampung adik saya, karena memang penuh, baik UGD dan kamar rawat. Di rumah sakit keempat, hal sama terjadi. Barulah saya mendatangi rumah sakit terakhir.

Sekitar pukul 14.00 WIB, adik saya masuk UGD. Saya harus menunggunya, di tempat lain, sampai dia masuk ke kamar rawat. Sangat lama prosesnya, karena adik saya harus menunggu adanya kamar yang kosong. Dan tepat pukul 01.15 WIB, adik saya baru mendapatkan kamar rawat. Sekitar tujuh hari, dia dirawat di rumah sakit dan mengalami kemajuan pesat hingga akhirnya dinyatakan sembuh total dari COVID-19.

Ya, begitulah cerita saya dari setahun ini berkutat di masa pandemik COVID-19. Sejauh ini, saya masih bisa bertahan, tubuh ini masih cukup kuat, mungkin karena makanan, minuman, dan vitamin yang dikonsumsi. Ditambah, saya masih cukup rutin berolahraga. Namun, siapa tahu ancaman di depan?

Saya juga tak mau terjangkit. Sayangi diri, mulai sadar diri, dan jangan bandel lagi. Saya rindu hari di mana kita berjabat tangan, berpelukan, tertawa bersama-sama dalam satu tempat atau ruangan, hingga bekerja bertatap muka dengan rekan. Semoga pandemi ini bisa berakhir, segera.

#SatuTahunPandemik adalah refleksi dari personel IDN Times soal satu tahun virus corona menghantam kehidupan di Indonesia. Baca semua opini mereka di sini.

Baca Juga: Pandemik dan Keluarga Kecilku

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya