Surat untukku 5 Tahun Mendatang: Guten Morgen, Frau Woro!

Artikel ini merupakan hasil karya peserta kompetisi menulis #WorthyStory yang diadakan oleh IDNtimes.com. Kalau kamu ingin artikelmu eksis seperti ini, yuk ikutan kompetisi menulis #WorthyStory sekarang juga. Informasi lebih lengkapnya, kamu bisa cek di sini.
Â
Stuttgart, 28 Maret 2016
Â
Halo Frau Woro Liana Lestari, S.T., M.T., PMP,
Ya ampun, sekarang gelarmu sudah sepanjang jalur MRT! Tapi luar biasa, akhirnya kau bisa menye-lesaikan pendidikan S2-mu dengan susah payah tanpa harus keluar dari pekerjaanmu. Masih ingat, berapa lama kau lupa tidur demi mengerjakan tesismu? Belum lagi muntahan revisi dari dosen pembimbingmu yang—entah mengapa—tiba-tiba meninggal saat kau berangkat ke Jerman untuk training sekaligus penelitian tesis.
Lalu kau menangis selama 5 menit di bandara sebelum akhirnya putar otak lagi untuk memikirkan nama dosen baru. Kemudian culture shock di Jerman, di mana semuanya serba kompleks untuk dirimu yang serba instan, proyek kantor yang terus beranak-pinak, serta perjalanan selama 5 jam dari Stuttgart ke Duisburg yang harus kau tempuh setiap minggunya demi menemui profesor Jermanmu di kota yang berbeda. Masih ingatkah kau?

Tapi lihat dirimu sekarang! Umurmu 33 tahun dan kau nampak…. hebat. Lima tahun lalu, banyak orang yang meragukan engineer wanita satu-satunya di perusahaanmu ini dapat memegang proyek dan menyelesaikan studi S2-nya secara bersamaan. Tapi kau buktikan bahwa mereka salah.
Kau masih ingat, saat Profesor mendadak ingin bertemu tanggal 26 Februari 2016 yang lalu? Saat itu, di kantongmu cuma tinggal 57 Euro sementara tiket kereta S-Bahn sendiri harganya 48 Euro. Kalau kau menemuinya, uangmu tersisa 9 Euro. Artinya, kau cuma bisa makan Kitkat seminggu sampai penerbanganmu kembali ke Indonesia. Tapi kau putuskan pergi ke Duisburg demi meminta pengesahan dual-thesis yang akan mengantarkanmu maju sidang 8 minggu lagi di Depok.
Ya, kau hampir mati kelaparan di sana. Tapi tak banyak orang yang tahu hal ini, kan? (saya rasa, kau bahkan tak ingin menceritakannya). Tapi kau mendapat sebuah nasihat indah dari Profesor :
"Hargailah proses, bukan hasil."
Hmm. Mungkin benar. Setiap kita punya drama hidup masing-masing. Tapi setiap masalah punya takdirnya sendiri untuk usai. Kita hanya perlu menikmati prosesnya, menjadi apa yang Tuhan inginkan tanpa perlu membanding-bandingkan dan bertanya mengapa.

Â
Dan kini saya melihatmu, seorang wanita tangguh yang matang secara emosional dan spiritual—hasil proses pendewasaan bertahun-tahun di duniamu yang begitu keras dan penuh tekanan. Kau sudah tak lagi muda, namun semangatmu bagai gadis remaja yang berapi-api.
Keputusanmu untuk meninggalkan pekerjaan teknikmu adalah pilihan tepat. Kau tahu, uang bukan segalanya. Kau memilih kembali ke dunia mengajar—sesuatu yang kau sukai sejak duduk di bangku SMA.
Kau putuskan pulang ke kampung halamanmu di Malang. Kau melamar sebagai dosen di sebuah kampus kecil di sana. Setiap hari libur, kau buka kelas mengajar gratis di halaman rumahmu untuk pedagang asongan, penjual warung, tukang parkir, para istri kuli bangunan, atau warga biasa yang ingin belajar. Kau ajarkan mereka membaca, berhitung, dan bagaimana mengelola uang mereka dengan lebih layak.
Kau ambil cuti setiap tiga bulan sekali dan pergi mengunjungi daerah pedalaman. Kau ajari anak-anak buta aksara di sana. Kau berikan semua ilmu yang kau punya. Sesekali, kau selipkan cerita hebatmu melihat dunia Eropa yang luas pada mereka; kau pompa semangat mereka untuk menun-tut ilmu hingga ke ujung dunia. Hatimu serasa dipenuhi kupu-kupu setiap kali mereka menjengit, “Saya ingin sekolah ke Eropa!”

Semua muridmu menyapamu dalam bahasa Jerman sederhana yang kau ajarkan, “Guten Morgen, Frau Woro!“ (Selamat pagi, Bu Woro!) dengan aksen Jawa yang beraneka ragam. Kau selalu tertawa dibuatnya.
Kau nampak bahagia. Kau bersenandung sambil mengecek hasil UTS mahasiswamu di taman depan fakultas setiap sore. Kau mencintai pekerjaanmu dan kesederhanaan yang tercipta olehnya. Kau menemukan kepuasan batin sesungguhnya, yaitu ketika kau bisa berguna bagi hidup orang lain.
Frau Woro, saya bangga melihatmu. Tetaplah seperti ini sampai aku sampai di sana. Sekarang saya harus berjuang untuk sidang akhir. Doakan saya!
Â
Salam hangat,
Woro Liana Lestari, S.T., (sebentar lagi) M.T.
#WorthyStory
