Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

12 Alasan Kenapa Perang Dunia Bisa Terjadi, Pemicunya Beragam!

ilustrasi perang (pixabay.com/ThePixelman)
ilustrasi perang (pixabay.com/ThePixelman)

Pada 2022, pasukan Rusia menginvasi Ukraina untuk mendukung separatis di wilayah Donbass. Lalu, pada 2023, Israel dan kelompok Hamas kembali menegang, bahkan kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Sejak artikel ini ditulis, ratusan ribu warga sipil Palestina tewas dalam serangan Israel ke Palestina.

Para ahli berkomentar bahwa invasi Rusia dan Israel memicu kekhawatiran akan Perang Dunia III. Adapun, menurut beberapa ahli, Perang Dunia III sebenarnya memang sudah dimulai. Menurut NATO sendiri, jika pasukan Rusia menyerang pasukan NATO, seluruh blok Barat akan melakukan intervensi. Jika Rusia menggunakan nuklir, konsekuensinya akan benar-benar menghancurkan.

Saat ini, situasi setiap perang unik dan beragam. Namun, dua perang dunia yang lalu memberikan kita pelajaran sejarah yang sangat berharga dan semestinya menjadi pelajaran pada konflik yang terjadi saat ini. Tujuannya agar umat manusia tidak lagi memecahkan rekor dunia baru dengan menciptakan perang paling merusak dalam sejarah.

1. Ambisi teritorial

Ilustrasi ini menggambarkan angkatan laut Kekaisaran Ottoman di lepas pantai Bosphorus yang dijaga oleh kapal penjelajah HAMIDIJE dan BERC-I-SATWET.  (commons.wikimedia.org/Alexander Kircher)
Ilustrasi ini menggambarkan angkatan laut Kekaisaran Ottoman di lepas pantai Bosphorus yang dijaga oleh kapal penjelajah HAMIDIJE dan BERC-I-SATWET. (commons.wikimedia.org/Alexander Kircher)

Ambisi teritorial menjadi penyebab umum terjadinya perang. Suatu negara bisa saja mencaplok wilayah negara lain karena berbagai alasan, seperti ingin mendapatkan prestise (kehormatan), mengambil sumber dayanya, atau membutuhkan tempat untuk membangun koloni karena kelebihan populasi di negaranya. Sering kali, konflik dapat diredakan jika terdapat wilayah “perawan” di luar negeri yang dapat diekspansi.

Ada beberapa konflik teritorial yang memperburuk ketegangan sebelum terjadinya Perang Dunia I. Perselisihan antara Prancis-Jerman mengenai Maroko, misalnya, membuat hubungan Inggris dan Prancis semakin dekat. Sementara itu, Kekaisaran Ottoman menjalin aliansi dengan Jerman karena mereka takut jika Rusia mengklaim wilayah mereka, sebagaimana yang dijelaskan Yale Law. Ketakutan Ottoman sebenarnya tidak berdasar karena Inggris, Prancis, dan Rusia sepakat untuk membagi wilayah kekaisaran menjadi Timur Tengah modern pada 1915.

Pada akhirnya, perselisihan ini dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya Perang Dunia I. Namun, perselisihan tersebut penting dalam menciptakan sistem aliansi yang ada pada 1907 sekaligus merusak kepercayaan antarnegara. Ketika aliansi telah terbentuk dan ruang untuk melakukan ekspansi sudah habis, Eropa malah menjadi gudang mesiu. Jadi, negara mana pun yang menyatakan perang, Eropa akan menyeret lebih banyak negara lagi ke dalamnya.

2. Adanya aliansi antarnegara

lukisan pembunuhan Archduke Franz Ferdinand di Sarajevo (commons.wikimedia.org/Unknown author)
lukisan pembunuhan Archduke Franz Ferdinand di Sarajevo (commons.wikimedia.org/Unknown author)

Dimulainya aliansi memungkinkan terjadinya peningkatan perang. Jika dua pihak yang berperang masing-masing memanggil satu sekutu, perang tersebut akan menjadi konflik empat pihak (negara). Konflik yang semula hanya melibatkan dua pihak akan berkembang menjadi konflik regional atau global yang melibatkan pihak-pihak yang tidak terlibat dalam perselisihan awal. Karena alasan inilah, Mantan Presiden AS, George Washington, memperingatkan masyarakat Amerika untuk tidak terlibat dengan urusan Eropa dan menghindari keterlibatan aliansi.

Peringatan yang dikatakan George Washington memang benar adanya pada 1914. Pasalnya, Perang Dunia I dimulai sebagai konflik di Balkan antara Austria dan Serbia setelah pembunuhan Archduke Franz Ferdinand di Sarajevo. Menanggapi deklarasi perang Austria, Serbia mengeluarkan memorandum untuk meminta dukungan Rusia. Kaisar Austria-Hongaria, Franz Joseph II, mengajukan banding kepada sekutu Jermannya menanggapi kemungkinan keterlibatan Rusia.

Sayangnya, hubungan aliansi ini gagal total. Rusia dan Jerman menyatakan perang satu sama lain. Austria-Hongaria menyusul menyatakan perang terhadap Rusia untuk mendukung Jerman.

Imperial War Museum melansir kabar bahwa Jerman kemudian menyerang sekutu Rusia, yakni Prancis, untuk mencegah pengepungan melalui Belgia. Di lain sisi, Belgia bersekutu dengan Inggris, yang akhirnya bergabung dengan Prancis untuk melawan Jerman. Konflik atas negara kecil Serbia ini berkembang menjadi perang pan-Eropa meskipun Jerman, Rusia, atau Inggris sebenarnya tidak tertarik dengan negara Balkan.

3. Perlombaan senjata

Pelaut menjelaskan cara kerja senjata di kapal angkatan laut Inggris kepada beberapa biarawati yang sedang berkunjung ke Patroli Angkatan Laut Rhine di Cologne, 21 Februari 1919. (commons.wikimedia.org/John Warwick Brooke)
Pelaut menjelaskan cara kerja senjata di kapal angkatan laut Inggris kepada beberapa biarawati yang sedang berkunjung ke Patroli Angkatan Laut Rhine di Cologne, 21 Februari 1919. (commons.wikimedia.org/John Warwick Brooke)

Seperti dua mata pisau, perlombaan senjata bisa saja mendorong perdamaian atau justru menyebabkan perang. Ada argumen yang berpendapat bahwa dua negara yang memiliki senjata mutakhir, misalnya nuklir, mungkin tidak akan berperang mengingat konsekuensinya yang terlalu besar. Namun, keadaan juga bisa berjalan sebaliknya. Jika salah satu pihak khawatir akan tersaingi, kemungkinan perang akan dikobarkan sebelum mereka kalah.

Berdasarkan tulisan yang dikutip International Encyclopedia of the First World War, pengeluaran dana militer membengkak pada awal abad ke-20. Hal tersebut lantaran kala itu negara-negara berlomba untuk mendapatkan senjata terbaru, seperti tank, pesawat terbang, dan senapan mesin. Di Laut Utara, Jerman dan Inggris terlibat dalam perlombaan senjata angkatan laut. Saat itu, angkatan laut Jerman diperluas untuk menyalip armada Inggris. Permintaan masyarakat, pers, dan kelompok yang memiliki kepentingan dalam industri pembuatan kapal—yang mendapatkan keuntungan dengan memproduksi lebih banyak kapal—mendorong kedua negara untuk mempercepat militerisasi.

Walau Jerman menyerah pada ambisi angkatan lautnya pada 1910, perlombaan senjata ini justru merusak kepercayaan Jerman terhadap Inggris. Sementara itu, Inggris ikut serta dalam Perang Dunia I agar angkatan laut Jerman tidak bisa berkembang. Ya, bagaimanapun juga, kekalahan Jerman atas angkatan laut Prancis membuat Inggris harus melawan angkatan laut Jerman yang bisa dibilang masih kuat. Kemenangan Jerman dalam kontes semacam itu akan membuka kemungkinan blokade ekonomi bagi Inggris dan hilangnya kekuatan globalnya.

4. Perjanjian perdamaian yang tidak adil

Negosiator Perjanjian Versailles, 1919 (commons.wikimedia.org/Helen Johns Kirtland)
Negosiator Perjanjian Versailles, 1919 (commons.wikimedia.org/Helen Johns Kirtland)

Idealnya, perjanjian damai harus mendorong rekonsiliasi, tapi sering kali penyelesaiannya cenderung alot dan keras. Hal ini berdampak pada ekonomi, melukai harga diri suatu bangsa, dan cenderung menimbulkan kebencian di antara negara yang kalah. Sering kali, inilah tujuannya: untuk benar-benar mematahkan kemampuan negara yang kalah agar tidak kembali berperang. Namun, jika negara yang kalah mampu bangkit dari segala aspek, balas dendam akan menjadi prioritasnya, terutama jika kaum nasionalis berkuasa.

Dua perang dunia ini menonjol karena Perang Dunia II merupakan kelanjutan dari Perang Dunia I. Hal ini terjadi akibat Perjanjian Versailles: penyelesaian masalah yang justru membebankan dan melemparkan semua kesalahan Perang Dunia I kepada Jerman yang kalah. Akibatnya, Jerman dituntut dengan hukuman berat dari segi konsesi teritorial dan keuangan.

Pada pasal 87 dan 88, Jerman dipaksa untuk menyerahkan sebagian wilayahnya kepada negara baru Polandia. Pada pasal 5, Jerman diminta menyerahkan wilayah barat kepada Prancis. Sementara, pasal 31—38, Jerman diharuskan menyerahkan wilayahnya kepada Belgia. Prusia Timur Jerman (Kaliningrad modern) dibiarkan terpisah dari wilayah lain lewat koridor Polandia yang terkenal. Sementara itu, Kota Danzig dijadikan kota bebas di luar kendali Jerman.

Bagian terburuk dari Perjanjian Versailles adalah ekonomi. Berdasarkan klausul keuangan Perjanjian Versailles, Jerman diperintahkan untuk membayar ganti rugi kepada pihak yang menang. Dikutip BBC, jumlahnya setara 100 ribu ton emas. Ini jumlah yang sangat besar sehingga Jerman baru menyelesaikan pembayarannya pada 2010. Jadi, tidak mengherankan jika kebencian dan penderitaan ekonomi yang dialami Jerman kala itu melahirkan sosok ideal Adolf Hitler untuk naik ke tampuk kekuasaan dan membalas dendam. 

5. Iredentisme

lukisan seorang guru yang menunjuk ke arah tanah Prancis yang hilang di Alsace-Lorraine kepada siswanya (commons.wikimedia.org/Albert Bettannier)
lukisan seorang guru yang menunjuk ke arah tanah Prancis yang hilang di Alsace-Lorraine kepada siswanya (commons.wikimedia.org/Albert Bettannier)

Seperti yang dijelaskan oleh Britannica, iredentisme (dari bahasa Italia irredento artinya 'tidak ditebus') adalah gagasan bahwa suatu negara ingin menganeksasi wilayah dari negara lain dengan melibatkan kelompok etnisnya yang tinggal di luar perbatasan negara lain. Biasanya, hal ini harus dilakukan dengan kekerasan atau paksaan. Ideologi ini mencapai masa kejayaannya selama kedua perang dunia. Ini menjadikannya salah satu faktor pendorong utama terjadinya kedua perang dunia tersebut.

Dua contoh utama iredentisme dalam Perang Dunia I melibatkan Italia dan Rumania. Italia, meski bersekutu dengan Jerman dan Austria, adalah negara yang netral. Namun, Italia menginginkan wilayah Istria di Semenanjung Eropa, Dalmatia (wilayah di pesisir timur), dan Friuli-Venezia-Giulia (terletak di timur laut Italia), yang merupakan milik sekutu Austria-Hongaria. Italia menginginkan wilayah itu karena semua penduduknya memakai bahasa Italia.

Kekuatan (Triple Entente) Entente Tiga (yang terdiri dari Inggris, Prancis, Rusia) mengeksploitasi keinginan ini dengan Perjanjian London 1915. Mereka menawarkan Italia wilayah-wilayah tersebut sebagai imbalan atas serangan terhadap Blok Sentral dan memperluas perang ke Mediterania.

Selain itu, Rumania memasuki Perang Dunia I dengan cara yang hampir sama pula. Negara tersebut masih terpecah mengenai pihak mana yang harus diambil sampai Entente Tiga menawarkan kepada Raja Franz Ferdinand wilayah Transilvania di Hongaria. Seperti yang dicatat Hungary Today, 53 persen wilayahnya adalah orang Rumania.

Namun, Perjanjian Trianon 1920, yang berisi tentang perjanjian untuk menyerahkan Transilvania dan 70 persen wilayah Hongaria ke negara tetangganya, juga dikaitkan dengan masalah iredentisme di wilayah dengan etnis campuran. Sebagaimana yang dijelaskan oleh American-Hungarian Federation, sekitar 3 juta warga Hongaria, termasuk 30 persen populasi Transilvania, kini menjadi minoritas di negara-negara yang memandang mereka sebagai musuh. Tidak mengherankan jika ketegangan tersebut memerlukan arbitrase Jerman dan Italia melalui Penghargaan Wina selama Perang Dunia II untuk menenangkan Hongaria dan menghindari konflik lebih lanjut.

6. Politik oportunis

potret Alexander Israel Helphand alias Parvus, seorang sosial demokrat Rusia (commons.wikimedia.org/Unknown photographer
potret Alexander Israel Helphand alias Parvus, seorang sosial demokrat Rusia (commons.wikimedia.org/Unknown photographer

Perang, seperti yang kita tahu, menimbulkan banyak kesengsaraan, ketidakstabilan, dan kerusuhan di masyarakat sehingga menciptakan kondisi yang sempurna untuk revolusi. Oleh karena itu, para agitator politik sering kali melobi konflik-konflik untuk mencapai tujuan atau kepentingan mereka di negara konflik tersebut. Agitator komunis bernama Alexander Israel Helphand alias Parvus membuat Rusia matang dari segala sendi untuk melakukan revolusi komunis dengan menciptakan perang yang akan membuat pemerintah Tsar bertekuk lutut.

Helphand awalnya mengorganisasi kampanye propaganda secara besar-besaran. Pertama, ia dan agen-agennya mendorong sentimen pro perang dan nasionalisme Jerman terhadap Rusia. Ia percaya bahwa kekalahan Jerman atas Rusia akan memungkinkannya melancarkan revolusi.

Menurut dokumen dari arsip Kementerian Luar Negeri Jerman yang berjudul Germany and the Revolution in Russia 1915—1918, Helphand kemudian memperluas perang dengan kampanye dan propagandanya melalui pers secara besar-besaran untuk meyakinkan Bulgaria agar ikut berpihak pada Jerman. Ini sekaligus membangkitkan sentimen pro perang di Italia dan Rumania juga. Jadi saat Rusia tidak dapat lagi mempertahankan upaya perangnya di dalam negeri karena tekanan Jerman, Helphand memanfaatkan kesempatan tersebut.

Helphand mengajukan tawaran kepada Jerman. Jika Jerman mau membantu Vladimir Lenin dan kaum Bolshevik merebut kekuasaan di Rusia, Lenin akan menarik Rusia keluar dari perang. Hasilnya adalah Perjanjian Brest-Litovsk 1918. Rusia tersingkir ketika komunis memulai kampanye teror mereka untuk mendirikan Uni Soviet. Meski Helphand bukan satu-satunya penyebab Perang Dunia I, ia menjadi contoh bagaimana kaum oportunisme politik dapat memulai dan memperluas perang demi kepentingan mereka sendiri. Tentunya korban jiwanya sangat besar.

7. Adanya kepentingan bisnis

ilustrasi pertumbuhan bisnis (IDN Times/Aditya Pratama)
ilustrasi pertumbuhan bisnis (IDN Times/Aditya Pratama)

Perang jarang terjadi semata-mata untuk tujuan ideologis. Faktanya, ideologi selalu berada di belakang uang dan kekuasaan, yang merupakan akar penyebab terjadinya konflik antarmanusia. Pada perang modern khususnya, suatu negara besar biasanya mendapatkan keuntungan dari penjualan pasokan senjata kepada pemerintah dan paramiliter yang berperang. Tak terkecuali perang dunia, ini diperburuk oleh keinginan industri untuk mendapatkan keuntungan besar dari penjualan perlengkapan alat perang.

Jenderal Korps Marinir Amerika, Smedley Butler, berpendapat bahwa perang terjadi di atas kesenangan orang kaya (elite global). Jenderal tersebut mencatat bahwa keterlibatan Amerika dalam Perang Dunia I didorong oleh kepentingan industri. Meski begitu, AS tidak punya alasan untuk melibatkan diri dalam konflik Eropa.

Nyatanya, perusahaan-perusahaan Amerika meraup untung besar dengan memasok material ke Inggris dan Prancis. Perusahaan DuPont, misalnya, menghasilkan keuntungan lebih dari 58 juta dolar AS per tahun atau setara dengan Rp926 miliar per tahun dengan menjual bubuk mesiu saja. Sementara itu, perusahaan Bethlehem Steel di Pennsylvania menghasilkan hampir 49 juta dolar AS atau setara Rp782 miliar dari 1914 hingga 1918.

Namun, perusahaan-perusahaan Amerika tidak membantu Inggris dan Prancis sendirian. Jenderal Smedley Butler, seorang saksi mata dari peristiwa-peristiwa pada era tersebut, mencatat bahwa industri Amerika secara sinis memasok keperluan perang kepada kedua belah pihak. Pada 1917, tentara Amerika tewas di medan perang Eropa. Di samping itu, para bos perusahaan, yang sejak awal melobi untuk konflik tersebut, terus menikmati keuntungannya.

8. Krisis ekonomi

ilustrasi resesi (IDN Times/Arief Rahmat)
ilustrasi resesi (IDN Times/Arief Rahmat)

Perang menjadi cara mudah untuk merevitalisasi produksi suatu negara dan mengurangi pengangguran. Pasalnya, semua warga negara sangat dibutuhkan untuk menghasilkan persediaan yang diperlukan semasa perang, mulai dari pembuatan amunisi hingga merekrut warga sipil untuk dijadikan tentara. Selain itu, jika keterpurukan ekonomi menjadi penyebab dari konflik sebelumnya, hal ini akan menumbuhkan rasa kebencian dan keinginan untuk membalas dendam.

Seperti disebutkan sebelumnya, klausul keuangan Perjanjian Versailles membuat Jerman harus membayar ganti rugi dalam jumlah besar. Akibatnya, Jerman mencetak uang untuk menutupi utangnya. Dengan begitu, terjadi hiperinflasi yang membuat harga kebutuhan pokok melonjak pada 1923. Dampak ekonomi ini membuat perempuan menjadi pekerja seks untuk bertahan hidup, terutama di kalangan ibu dan anak perempuan.

Jadi tidak mengejutkan ketika Adolf Hitler mencalonkan diri di Jerman. Ia berjanji kepada masyarakat Jerman untuk membalas dendam terkait Perjanjian Versailles yang dirasa tidak adil ini, memulihkan kekuatan militer Jerman, dan merevitalisasi perekonomian negara. Hitler pun mendapat dukungan dari masyarakat Jerman secara signifikan. Tindakan balas dendam ini terbukti ketika Adolf Hitler mulai menyerang negara tetangganya, yang berpuncak pada Invasi Polandia pada 1939.

Jepang juga mengalami masalah serupa. Dikutip National Graduate Institute for Policy Studies, perekonomian Jepang merosot pada 1930-an. Politik Jepang yang berantakan membuka jalan bagi kekuasaan militer. Hal ini mencetuskan perang ekspansionis ke Tiongkok. Konflik tersebut menempatkan perekonomian Jepang di dalam kondisi perang, mengurangi pengangguran, dan merevitalisasi produksi industri. Namun, hal ini harus dibayar mahal. Dengan invasi Jepang ke Tiongkok, Jepang baru saja memicu Perang Dunia II di Asia.

9. Minimnya sumber daya di suatu negara

Dalam serangan Pearl Harbor, terlihat pesawat torpedo Nakajima B5N2 (Kanko) Angkatan Laut Kekaisaran Jepang di atas lapangan Hickam setelah mengebom Pearl Harbor. (commons.wikimedia.org/Naval History and Heritage Command/Unknown author)
Dalam serangan Pearl Harbor, terlihat pesawat torpedo Nakajima B5N2 (Kanko) Angkatan Laut Kekaisaran Jepang di atas lapangan Hickam setelah mengebom Pearl Harbor. (commons.wikimedia.org/Naval History and Heritage Command/Unknown author)

Krisis ekonomi adalah salah satu penyebab perang yang sering dikaitkan erat dengan ekspansionisme teritorial. Penaklukan teritorial melahirkan ekspansi militer untuk mendapatkan wilayah baru, yang pada akhirnya memerlukan sumber daya tambahan. Jika suatu negara yang miskin sumber dayanya tidak dapat mempertahankan ekspansi dengan sumber daya yang tersedia, negara tersebut mungkin akan mengambil sumber daya dari negara lain. Masalah ini membuat Jepang membuka kesempatan untuk mencetuskan Perang Dunia II pada 1930-an. 

Jepang menginvasi Tiongkok pada 1937. Segera, Jepang harus menghadapi masalah besar. Jepang kekurangan minyak untuk bahan bakar angkatan laut dan pesawatnya. Namun, Jepang menginvasi koloni Inggris di Asia Tenggara, khususnya wilayah Pasifik. Nah, serangan Jepang terhadap wilayah Britania di Asia Tenggara inilah yang kemungkinan besar memicu respons Amerika Serikat. 

Saat itu, Jepang mengambil pertaruhan besar. Jepang bersekutu dengan kekuatan Poros Jerman dan Italia pada 1940. Jepang berharapan dapat menghalangi intervensi Amerika di Pasifik. Hal ini ditindaklanjuti dengan pemboman Pearl Harbor pada 1941, yang dimaksudkan untuk melumpuhkan Angkatan Laut AS. Tindakan Jepang ini membuka front tambahan di Pasifik untuk melawan AS yang tidak siap dilawan oleh Jepang. Menurut US Capitol, Jerman dan Italia menyatakan perang terhadap AS untuk mendukung sekutu mereka, Jepang, hingga mencetuskan Perang Dunia II.

10. Perjanjian rahasia

Menteri Luar Negeri Soviet, Vyacheslav Molotov, menandatangani Perjanjian Rahasia Jerman-Soviet di Moskow, 28 September 1939. (commons.wikimedia.org/Unknown author)
Menteri Luar Negeri Soviet, Vyacheslav Molotov, menandatangani Perjanjian Rahasia Jerman-Soviet di Moskow, 28 September 1939. (commons.wikimedia.org/Unknown author)

Perjanjian rahasia tidak lagi dipandang baik saat ini. Namun, perjanjian rahasia menjadi hal yang lumrah pada paruh pertama abad ke-20. Perjanjian rahasia berguna bagi negara-negara yang ingin mengoordinasikan ekspansi secara sembunyi-sembunyi terhadap negara-negara tetangga yang lebih kecil. Lagi pula, akan jauh lebih mudah memulai perang melawan musuh yang tidak siap dibandingkan dengan musuh yang sudah dimobilisasi sebelumnya.

Diktator Jerman, Adolf Hitler, menyadari hal ini. Karena itu, Universitas Harvard mencatat bahwa Hitler mencari rekan konspirator rahasianya, yakni Joseph Stalin untuk membantunya melawan Eropa Timur. Pada 1939, kedua diktator ini merekayasa dimulainya Perang Dunia II dengan Pakta Molotov-Ribbentrop. Secara publik, dokumen tersebut merupakan pakta nonagresi. Namun, hal ini juga mencakup pengaturan rahasia untuk membagi Eropa Timur. Polandia Barat menjadi milik Jerman, sedangkan Polandia Timur dan Baltik menjadi milik Uni Soviet.

Pertama-tama, mereka mengutuk Baltik dan Polandia atas agresi dan pemerintahan Nazi-Soviet. Kedua, hal ini memberikan keamanan bagi Hitler untuk menginvasi Polandia karena Uni Soviet akan secara aktif membantunya, tanpa sepengetahuan sekutu Polandia, Inggris, dan Prancis. Nazi dan Soviet mengharapkan Jerman untuk menyerang Polandia.

Dengan pakta rahasia ini, Hitler dan Stalin menyulut perang paling berdarah dalam sejarah umat manusia. Mereka menyapu bersih tetangga-tetangga mereka di Eropa Timur, yang terjebak sendirian dalam kepungan Soviet-Jerman. Negara-negara yang diserang dadakan ini tidak punya waktu untuk mempersiapkan perlawanan yang berarti.

11. Operasi bendera palsu

Senapan mesin Maxim M/32-33 Finlandia berada 100 meter dari pasukan Soviet selama Perang Musim Dingin, terletak di utara Lemetti (wilayah Distrik Pitkyarantsky modern, Rusia). (commons.wikimedia.org/Unknown author)
Senapan mesin Maxim M/32-33 Finlandia berada 100 meter dari pasukan Soviet selama Perang Musim Dingin, terletak di utara Lemetti (wilayah Distrik Pitkyarantsky modern, Rusia). (commons.wikimedia.org/Unknown author)

Piagam PBB mengizinkan konflik bersenjata asalkan untuk membela diri, baik secara kolektif atau individu. Kini, bahkan sebelum berdirinya PBB, banyak negara yang berupaya mencari alasan untuk membenarkan perang terhadap komunitas internasional dan rakyatnya sendiri. Jika tidak ada, pemerintah akan menciptakannya dengan cara yang salah.

Operasi bendera palsu atau operasi kambing hitam merupakan tindakan melempar batu sembunyi tangan. Adapun, negara yang salah justru melepas tanggung jawabnya dan menyalahkan lawannya. Hal ini biasanya dilakukan untuk membenarkan peperangan.

Operasi ini persis dengan awal Perang Dunia II ketika Adolf Hitler dan Joseph Stalin memicu konflik secara rahasia di Eropa Timur pada 1939. Pada September 1939, pasukan Polandia menyerang menara radio Jerman yang kemudian dikenal sebagai insiden Gleiwitz. Menurut Proceedings of the Nuremberg Trials, ternyata Jerman melancarkan operasi bendera palsu kepada Polandia pada Agustus 1939. Dengan mengenakan seragam Polandia, tentara Jerman menyerang menara radio mereka sendiri. Hal itulah yang menjadi alasan Jerman dan sekutu Sovietnya untuk membenarkan invasi mereka berikutnya pada September.

Lalu, pada 26 November 1939, pasukan Uni Soviet menginvasi Finlandia sebagai tanggapan atas penembakan Finlandia terhadap garis mereka di dekat Mainila. Konflik berdarah ini dikenal sebagai Perang Musim Dingin. Namun, Finlandia tidak punya alasan untuk menyerang Uni Soviet yang jauh lebih kuat sehingga ada kemungkinan bahwa Soviet telah melancarkan serangan mereka sendiri dan menyalahkan Finlandia atas serangan tersebut.

12. Melemahnya kekuasaan negara adidaya

aksi unjuk rasa di Capitol Amerika Serikat pada 2021 (commons.wikimedia.org/Tyler Merbler)
aksi unjuk rasa di Capitol Amerika Serikat pada 2021 (commons.wikimedia.org/Tyler Merbler)

Ketika kekuatan besar melemah, lawan yang lebih kecil akan menyerang. Hal ini menjadi salah satu penyebab umum terjadinya perang sejak zaman dahulu kala. Namun, saat ini, dunia cukup unik karena hanya ada satu negara adidaya, yaitu Amerika Serikat. Meski begitu, rival Amerika, Rusia dan Tiongkok, sama-sama menunjukkan minatnya untuk menggantikan AS sebagai kekuatan dunia dan berpotensi memicu perang dunia baru.

Pada 2015, Time menyatakan bahwa Perang Dunia III akan mempertemukan Amerika Serikat dengan Tiongkok. Ini lantaran Tiongkok telah menantang hegemoni Amerika di Asia, Afrika, dan Amerika Latin melalui ekspansi militer dan investasi ekonomi. Rusia juga melakukan hal yang sama di Amerika Latin dan Asia Tengah.

Vladimir Putin bahkan menyebut AS sebagai negara yang sedang mengalami kemunduran. Agaknya, Putin mengacu pada melemahnya perekonomian AS dan masalah perang di Timur Tengah yang diintervensi AS. Jika dominasi Amerika berakhir, seperti asumsi Putin, dunia akan kembali menjadi negara multikutub. Perang Dunia III yang panas kemungkinan besar akan menentukan apakah prediksi Putin benar dan Rusia (mungkin Tiongkok) tidak akan menemukan peluang yang lebih baik daripada sekarang untuk menggulingkan hegemoni Amerika.

Untuk menghindari konflik global yang semakin meluas ini, kita harus memahami bagaimana perang dunia bisa terjadi. Konflik-konflik ini berbeda dari konflik-konflik lain dalam skala dan kekuatan partisipannya. Namun, perang-perang tersebut terjadi karena alasan yang sama seperti kebanyakan perang, yaitu ingin menguasai wilayah, sumber daya, aliansi militer, atau ingin menjadi yang paling unggul secara global/regional.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Amelia Solekha
EditorAmelia Solekha
Follow Us