5 Fakta Menarik Asal-usul Perceraian, Sudah Ada Sejak Zaman Babilonia!

- Perceraian sudah diatur dalam Kode Hammurabi
- Pria harus memberi kompensasi finansial kepada istri
- Istri berhak meminta cerai jika diabaikan oleh suami
Perceraian adalah proses yang rumit dan emosional, sering dianggap sebagai isu modern dalam rumah tangga. Siapa sangka, konsep berakhirnya ikatan pernikahan secara hukum ini ternyata sudah ada sejak ribuan tahun lalu! Jauh sebelum ada pengadilan modern, prosedur perpisahan sudah diatur secara sistematis.
Aturan perceraian ini bahkan sudah tertulis, dikodifikasi lengkap dengan hukuman dan ganti rugi yang terperinci. Sejarah menegaskan, Babilonia Kuno adalah peradaban paling awal yang mengatur pernikahan dan perceraian melalui undang-undang tertulis. Dokumen hukum dari zaman ini memberikan kita gambaran yang mengejutkan tentang cara masyarakat kuno menyelesaikan urusan rumah tangga mereka. Penasaran? Berikut lima fakta menarik asal-usul perceraian yang diatur sejak masa Kekaisaran Babilonia!
1. Diatur jelas dalam Kode Hammurabi

Fakta ini benar-benar mencengangkan yakni perceraian di Babilonia sudah memiliki dasar hukum yang sangat kuat dan tertulis. Masalah rumah tangga tidak bisa diselesaikan hanya berdasarkan kata-kata atau adat istiadat.
Dilansir laman Britannica, Kode Hammurabi, yang berasal dari sekitar tahun 1792–1750 SM, adalah koleksi hukum Babilonia yang paling lengkap dan terawat, yang mencakup ketentuan rinci tentang hukum keluarga, termasuk pernikahan dan perceraian. Kode yang diukir pada stela (lempengan batu besar tempat tulisan atau ukiran resmi dibuat) mencerminkan sistem hukum yang terorganisir di masa itu. Setiap warga yang ingin bercerai wajib mengikuti ketentuan yang berlaku.
2. Pria harus memberi kompensasi finansial

Meskipun Babilonia merupakan masyarakat patriarki, perceraian tidak otomatis membuat istri menderita. Justru, proses perpisahan sering membawa konsekuensi finansial besar yang harus ditanggung suami.
Dilansir laman Facts and Details, jika seorang pria menceraikan istrinya yang sudah melahirkan anak, ia harus mengembalikan mas kawin dan menyerahkan bagian dari hasil bumi berupa ladang, kebun, dan properti, untuk membesarkan anak-anaknya.
Sebaliknya, jika perceraian terjadi dan pasangan belum memiliki anak, pria wajib mengembalikan mas kawin penuh kepada istri dan membayarkan denda (sejumlah perak) sebagai hadiah pelepasan jika tidak ada mas kawin yang tercatat. Pria yang menceraikan istrinya tanpa alasan yang kuat harus siap menanggung biaya ganti rugi yang tidak sedikit.
3. Istri berhak meminta cerai jika diabaikan

Konsep bahwa wanita hanya bisa diceraikan adalah mitos sejarah yang dipatahkan oleh hukum Babilonia. Meskipun prosesnya lebih menantang, istri punya hak mengajukan cerai, terutama bila suami melalaikan tanggung jawabnya. Hal ini menunjukkan adanya upaya keadilan dalam sistem yang didominasi pria.
Masih dari laman Facts and Details, dalam Kode Hammurabi pasal 142, jika seorang istri berselisih dengan suami dan merasa tidak cocok, alasannya harus dipresentasikan di depan hakim. Jika wanita itu terbukti tidak bersalah, namun suaminya meninggalkannya dan mengabaikannya, ia berhak mengambil kembali mas kawinnya dan kembali ke rumah ayahnya. Ia pergi tanpa menyandang status buruk di mata hukum.
4. Hukuman berat untuk istri yang curang

Di samping perlindungan finansial untuk istri, hukum perceraian Babilonia menerapkan standar ganda yang sangat keras terkait kesetiaan. Pelanggaran kesetiaan oleh istri dianggap sebagai kejahatan serius.
Dilansir laman EBSCO, sementara pria diperbolehkan memiliki hubungan seksual di luar pernikahan dengan pelayan atau mengambil istri kedua dalam kasus tertentu, wanita yang terbukti bersalah karena perselingkuhan akan diikat dan dilemparkan ke sungai hingga tenggelam.
Hukuman brutal ini memperlihatkan betapa pentingnya kehormatan pernikahan pada masa itu. Ini juga menunjukkan perbedaan perlakuan gender yang ekstrem dalam hukum pidana mereka.
5. Infertilitas jadi alasan mendasar poligami

Tujuan utama pernikahan di Babilonia seringkali adalah menghasilkan ahli waris, terutama keturunan laki-laki. Oleh karena itu, ketidakmampuan untuk memiliki anak secara langsung memengaruhi status perkawinan dan hak menikah lagi.
Dilansir laman Ohio State University eHistory, satu-satunya alasan yang dianggap sah dan legal bagi seorang pria untuk mengambil wanita lain adalah jika istri pertamanya terbukti mandul atau tidak subur (infertile). Meski begitu, suami tidak wajib menceraikan istri pertamanya. Ia tetap bisa mempertahankan istri pertama sambil mengambil wanita kedua, sebab pemenuhan kewajiban untuk mendapatkan ahli waris dianggap sebagai prioritas utama.
Babilonia Kuno sudah memiliki dasar hukum yang mengatur berakhirnya pernikahan sejak ribuan tahun lalu. Aturan tersebut mencakup kompensasi finansial serta alasan perceraian yang dijabarkan secara rinci. Kode Hammurabi memperlihatkan bahwa upaya mencari keadilan dan menyelesaikan masalah rumah tangga sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia sejak lama.


















