6 Fakta Bioluminescence, Organisme Bercahaya seperti di Fairyland!

Kamu pernah melihat hutan atau air laut bercahaya? Bukan, bukan karena pantulan sinar Matahari! Namanya bioluminescence.
Bioluminescence adalah cahaya yang diproduksi oleh organisme melalui reaksi kimia. Reaksi kimia ini terjadi pada sebagian besar organisme yang berada di laut. Berbeda dengan cahaya api atau lampu, bioluminescence mengubah energinya menjadi cahaya sehingga tidak menghasilkan panas. Cahaya ini disebut “cool light” atau cahaya dingin. Warna cahaya yang dihasilkan juga beragam, mulai dari kuning, jingga, merah, hingga hijau dan biru yang paling umum. Namun, warna cahaya ini tergantung pada spesies dan pigmen yang terlibat dalam reaksi kimia.
Kira-kira kenapa dan untuk apa ya, organisme ini memancarkan cahaya warna-warna seperti di 'fairyland'? Yuk, saatnya kita cari tahu!
1. Mekanisme bioluminescence melibatkan reaksi kimia

Mekanisme bioluminescence melibatkan serangkaian reaksi kimia dalam tubuh organisme. Proses ini terjadi melalui interaksi dua komponen utama, yaitu Luciferin dan Luciferase. Luciferin adalah molekul organik yang menghasilkan cahaya ketika bereaksi dengan oksigen. Setiap spesies memiliki jenis Luciferin yang berbeda. Sedangkan Luciferase adalah enzim yang membantu mempercepat dan memicu produksi cahaya dalam reaksi oksidasi Luciferin.
Reaksi kimia antara Luciferin dan oksigen dengan bantuan Luciferase, akan menghasilkan energi yang kemudian dilepaskan dalam bentuk cahaya. Warna cahaya yang bervariasi ini tergantung pada jenis Luciferin dan Luciferase yang terlibat. Beberapa warna yang umum ditemukan adalah biru, hijau, kuning, jingga dan merah.
2. Faktor yang mempengaruhi warna cahaya bioluminescence

Karena reaksi ini membutuhkan oksigen, maka ketersediaan oksigen sangat diperlukan dalam lingkungan organisme untuk memproduksi cahaya. Beberapa spesies dapat memancarkan cahaya lebih terang pada suhu yang hangat. Beberapa ion logam seperti seng atau tembaga dapat menghambat atau justru meningkatkan produksi cahaya pada beberapa jenis spesies.
Faktor lingkungan lain seperti tingkat keasaman (pH), kadar garam, tekanan air, nutrisi, dan keberadaan predator juga dapat mempengaruhi mekanisme bioluminescence. Intensitas dan durasi cahaya bioluminescence juga bervariasi dan tergantung pada jenis organisme serta habitatnya.
3. Habitat bioluminescence

Fenomena alam 'glow in the dark' dapat ditemukan di berbagai habitat, mulai dari darat, permukaan laut, hingga laut yang dalam. Di daratan, gua dan hutan tropis yang lembab menjadi habitat ideal bagi organisme bioluminescence. Di permukaan laut, habitat organisme bioluminescence terdapat di gelombang dan arus yang kuat dengan suhu bervariasi.
Laut dalam yang gelap gulita menjadi salah satu pendorong utama bioluminescence memancarkan cahaya, karena sinar matahari tidak dapat menembus kedalaman laut. Organisme ini hidup di kedalaman laut yang bertekanan tinggi dengan suhu sekitar 2-4 derajat Celcius. Sehingga dibutuhkan adaptasi khusus dan pandai memanfaatkan sumber makanan yang ada untuk bertahan hidup.
4. Organisme bioluminescence

Ada banyak jenis organisme yang menjadi fenomena alam 'glow in the dark' ini. Dilansir NOAA Ocean Exploration, meskipun relatif jarang di daratan, bioluminescence sangat umum di lautan, setidaknya di zona pelagik atau kolom air laut antara kedalaman 200 dan 1.000 meter. Bioluminescence paling umum terjadi pada ikan, cumi-cumi, zooplankton agar-agar, ubur-ubur, siphonophore, serta hewan lain yang sebagian besar terbuat dari air.
Dari berbagai sumber, contoh organisme bioluminescence lautan diantaranya bakteri vibrio fischeri, photobacterium, dan photorhabdus. Kemudian alga dinoflagellata, ubur-ubur kristal, ubur-ubur mahkota, ubur-ubur sisir, anglerfish, cumi-cumi kunang-kunang, cumi-cumi vampir, cumi-cumi bobtail, cumi-cumi bobtail Hawaii, cumi-cumi terbang neon, serta kril antartika. Sedangkan organisme bioluminescence di daratan ada kunang-kunang, cacing tanah, dan berbagai jenis jamur, seperti jamur mycena chlorophos, mycena luxaeterna, mycena lucentipes, armillaria mellea, panellus stipticus, omphalotus, gerronema viridilucens, dan masih banyak lagi.
5. Fungsi bioluminescence

Fungsi bioluminescence cukup beragam, namun lagi-lagi tergantung spesies dan habitatnya. Dilansir Deep Ocean Education Project, bioluminescence dapat membantu organisme untuk menemukan makanan, mempertahankan diri dari predator, kamuflase, mendeteksi mangsa, berkomunikasi dengan sesama anggota spesies, dan menarik pasangan.
Uniknya, ada juga hubungan simbiosis mutualisme dalam mekanisme bioluminescence. Seperti yang terjadi pada bakteri vibrio fischeri yang hidup di dalam perut cumi-cumi bobtail. Bakteri tersebut akan memperoleh nutrisi dari tubuh cumi-cumi bobtail dan memancarkan cahaya bioluminescence untuk membantu cumi-cumi bobtail berkamuflase. Selain itu, bioluminescence juga digunakan spesies tertentu untuk alat navigasi dan orientasi di habitat yang gelap.
6. Dampak dan potensi bioluminescence

Emisi cahaya bioluminescence di habitat laut memiliki peran penting dalam menjaga ekosistem laut dalam, menjaga rantai makanan, menjaga komunikasi dan interaksi sosial, serta sebagai adaptasi di lingkungan gelap. Meskipun cahaya yang dihasilkan begitu spektakuler, namun efek blooming algae atau ledakan alga yang dihasilkan dari dinoflagellata dapat mengganggu navigasi laut pada malam hari. Jenis fitoplankton ini juga dikenal berbahaya karena dapat menyebabkan iritasi kulit pada manusia, mencemari udara, mencemari kerang, memicu penyakit pada ikan, udang, dan biota air lain, bahkan dapat membunuh organisme laut.
Kabarnya, bioluminescence digunakan dalam bidang medis untuk mendeteksi sel kanker dan terapi kanker. Organisme bioluminescence juga dapat digunakan untuk mendeteksi polusi di air dan tanah. Serta sebagai pengendali hama dalam bidang pertanian.
Fenomena alam yang menakjubkan seperti di ‘fairyland’ ini bisa kamu temui di berbagai pantai seluruh dunia, termasuk Indonesia. Misalnya di pantai Gili Trawangan,Lombok, Pulau Selayar,Sulawesi Selatan, dan Padang Bai,Bali. Bioluminescence telah membuka wawasan kita, bahwa begitu banyak makhluk hidup, bahkan yang tidak kasat mata sekalipun memiliki adaptasi unik di alam luas ini. Bukan tidak mungkin, jika di kemudian hari akan ada fenomena alam unik lain yang menarik untuk kita eksplorasi.