Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

OJK Garda Terdepan Tantang Pinjaman Daring Ilegal

Ilustrasi Fintech (IDN Times/Aditya Pratama)
Ilustrasi Fintech (IDN Times/Aditya Pratama)
Intinya sih...
  • Outstanding pembiayaan pinjaman daring (pindar) per Agustus 2025 tembus Rp87,61 triliun, meningkat 21,62 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
  • Kemajuan teknologi finansial memberi kemudahan akses bagi masyarakat, namun juga meningkatkan risiko terjebak dalam praktik rentenir versi digital.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Kehidupan Aldy berubah drastis ketika dia menghadapi kesulitan keuangan. Dalam kondisi terdesak, Aldy tergoda menggunakan pinjaman daring ilegal yang menjanjikan pencairan cepat tanpa slip gaji maupun jaminan.

“Awalnya panik. Uang habis untuk kebutuhan sehari-hari dan membantu orangtua. Saat itu saya cuma mikir bagaimana bertahan hidup,” ujar Aldy saat dihubungi, Jumat (30/10/2025).

Pinjaman pertama yang dicairkan sebesar Rp800 ribu harus dikembalikan Rp1,3 juta. Ketidakmampuan membayar membuat Aldy meminjam lagi dari aplikasi lain. Dalam waktu singkat, dia terjerat lebih dari lima pinjaman daring ilegal. Dampaknya tidak hanya finansial, tetapi juga psikologis.

“Mereka menelepon berkali-kali dan menyebarkan data saya ke kontak di HP. Teman, dosen, bahkan mantan saya dikirimi pesan jelek, katanya saya menipu dan lari dari utang. Saya sampai hapus akun media sosial karena malu,” kata dia.

Titik balik datang ketika Aldy mengetahui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bisa membantu korban pinjaman daring ilegal. Dengan bantuan teman dan informasi dari internet, diia mulai memblokir nomor penagih dan melapor melalui kanal pengaduan OJK. Ia juga belajar membedakan pinjaman daring legal dan ilegal.

“Saya mulai mencicil pinjaman legal dari penghasilan freelance. Tidak lunas semua, tapi setidaknya lebih tenang karena tahu bayar yang benar. Uang cepat belum tentu solusi cepat,” kata Aldy.

Kini, dia lebih realistis, menabung sedikit demi sedikit, dan mengutamakan literasi finansial untuk menghindari jeratan pinjaman daring ilegal di masa depan.

Kasus Aldy bukanlah satu-satunya. Berdasarkan data OJK dan Satgas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas PASTI), dari Januari hingga 30 September 2025, tercatat 1.556 entitas pinjaman daring ilegal dan 284 penawaran investasi ilegal telah dihentikan.

Total laporan pengaduan mencapai 17.531, terdiri dari 13.999 terkait pinjaman daring ilegal dan 3.532 terkait investasi ilegal. Satgas juga memblokir 2.422 nomor kontak bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).

1. Lonjakan pinjaman daring di Indonesia

ilustrasi fintech (freepik.com/rawpixel.com)
ilustrasi fintech (freepik.com/rawpixel.com)

Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Modal Ventura, dan Lembaga Keuangan Lainnya (PVML) OJK, Agusman, mengatakan, outstanding pembiayaan pinjaman daring (pindar) per Agustus 2025 tembus Rp87,61 triliun, meningkat 21,62 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Posisi Juli 2025 sebesar Rp84,66 triliun dan Juni 2025 sebesar Rp83,52 triliun menunjukkan tren kenaikan yang signifikan.

“Outstanding pembiayaan pada Agustus 2025 tumbuh 21,62 persen YoY dengan nominal sebesar Rp87,61 triliun,” kata Agusman.

Sementara itu, tingkat risiko kredit agregat yang diukur dengan Tingkat Wanprestasi 90 hari (TWP90), berada di level 2,60 persen, lebih rendah dibanding Juli 2025 sebesar 2,75 persen.

Dari 96 penyelenggara pindar resmi, 9 di antaranya belum memenuhi kewajiban ekuitas minimum Rp12,5 miliar. Semua penyelenggara tersebut telah menyampaikan action plan kepada OJK, termasuk penambahan modal disetor, mencari strategic investor, atau merger dengan penyelenggara lain.

“OJK terus melakukan langkah-langkah yang diperlukan berdasarkan progress action plan untuk pemenuhan kewajiban ekuitas minimum,” kata Agusman.

 

2. Kemajuan teknologi memiliki dua sisi mata uang yang berbeda

Ilustrasi Fintech (IDN Times/Aditya Pratama)
Ilustrasi Fintech (IDN Times/Aditya Pratama)

Anggota Komisi XI DPR, Amin AK, menilai, masih maraknya pinjaman daring ilegal mencerminkan dua sisi mata uang dari kemajuan teknologi finansial.

“Teknologi keuangan digital memberi kemudahan akses bagi masyarakat yang dulu sulit mendapatkan layanan perbankan. Tapi di sisi lain, tanpa literasi keuangan yang cukup, masyarakat justru bisa terjebak dalam praktik yang mirip rentenir versi digital,” ujar dia.

Menurut Amin, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan sekitar 5 persen penduduk Indonesia atau lebih dari 18 juta orang, telah terjerat pinjaman daring, mayoritas dari kalangan milenial dan Gen Z.

Dia juga menyoroti outstanding pinjaman daring meningkat dari Rp51 triliun pada awal 2023 menjadi Rp83 triliun per Juni 2025. Oleh karena itu, DPR mendorong OJK, Bank Indonesia, serta sektor perbankan agar literasi keuangan digital tidak berhenti pada kampanye seremonial semata.

“OJK sebenarnya sudah melakukan langkah seperti Satgas Waspada Investasi dan pemblokiran ribuan pinjaman daring ilegal. Tapi penindakan harus diimbangi dengan pencegahan yang lebih kuat,” kata Amin.

Sementara itu, Anggota DPR lainnya, Puteri Anetta Komaruddin, mengingatkan rendahnya literasi keuangan masih menjadi akar masalah. Indeks literasi nasional baru 66,46 persen, sementara di sektor fintech bahkan hanya 24,9 persen.  Dia mencatat, enam dari sepuluh korban pinjaman daring adalah perempuan, kelompok yang paling rentan terhadap jebakan pinjaman cepat.

DPR bersama pemerintah kemudian melahirkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) yang untuk pertama kalinya mengatur pinjaman daring di tingkat UU.

“Sekarang pinjaman daring ilegal dapat dipidana dengan hukuman penjara 5 sampai 10 tahun dan denda hingga Rp1 triliun. Ini untuk memberikan efek jera,” kata Puteri.

Regulasi itu juga mewajibkan setiap pelaku fintech melakukan kegiatan literasi keuangan minimal dua kali setahun agar masyarakat tidak hanya mengenal produk digital, tetapi juga memahami risikonya.

“Kami mendorong OJK mengintensifkan pengawasan atas implementasi regulasi ini, agar masyarakat memahami manfaat dan risikonya,” tegasnya.

3. AFPI komitmen jalin sinergi dengan OJK perangi pindar ilegal

Ketua Umum AFPI Entjik S Djafar
Ketua Umum AFPI Entjik S Djafar

Sementara itu, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menegaskan komitmennya untuk memerangi pinjaman daring ilegal. AFPI telah melaporkan berbagai praktik ilegal tersebut ke Satgas PASTI OJK dan terus membangun kerja sama dengan Satgas PASTI, Komdigi, serta Google.

“Sudah banyak aplikasi pinjaman daring ilegal yang berhasil dilakukan take down oleh Satgas PASTI dan pihak terkait,” ujar Ketua Umum AFPI, Entjik S. Djafar.

AFPI menyampaikan apresiasi atas langkah tegas yang telah dilakukan Satgas PASTI OJK dan Komdigi. Namun, asosiasi tersebut menekankan perlunya penindakan hukum terhadap pihak-pihak yang berada di balik praktik pinjaman daring ilegal karena hingga saat ini belum ada laporan mengenai penangkapan oknum pelaku.

“Kami berharap aparat penegak hukum dapat segera menindak dan menangkap pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab karena praktik ini sangat meresahkan masyarakat,” tambahnya.

AFPI menekankan upaya pengawasan dan take down aplikasi ilegal perlu diimbangi dengan tindakan hukum nyata agar masyarakat terlindungi dan ekosistem fintech tetap sehat dan terpercaya.

Dia juga menyoroti tantangan industri pindar akibat maraknya pinjaman daring ilegal. Berdasarkan data OJK, sejak 2017 hingga 13 Maret 2025, Satgas PASTI telah menghentikan 10.733 entitas pinjaman daring ilegal, jumlah yang 112 kali lebih banyak dibanding platform pindar legal yang tercatat sebanyak 96.

“AFPI bekerja sama dengan Satgas PASTI dalam upaya penindakan dan edukasi publik untuk melindungi masyarakat dari praktik ilegal,” tambah Entjik.

4.   Pentingnya Edukasi dan Literasi Keuangan

ilustrasi literasi keuangan  (freepik.com/lenadig)
ilustrasi literasi keuangan (freepik.com/lenadig)

Pengamat perbankan, Paul Sutaryono, menilai, edukasi keuangan yang dilakukan OJK tetap harus berkelanjutan karena berfungsi ganda, yakni meningkatkan literasi sekaligus menekan risiko penipuan dan kredit macet. 

“OJK wajib terus melakukan edukasi tentang produk fintech dan digital banking. Jika tingkat literasi itu naik, berarti upaya OJK membuahkan hasil positif,” ujar dia.

Sementara itu, ekonom Prasasti, Piter Abdullah, mengatakan, maraknya pinjaman daring ilegal tidak serta-merta menandakan kegagalan OJK. Banyak masyarakat sadar akan risikonya, tetapi tetap memilih pinjaman daring karena faktor keterdesakan ekonomi dan minimnya alternatif pinjaman.

“Kalau masih ada pinjaman daring ilegal, bukan berarti OJK gagal. Faktor utamanya adalah keterdesakan ekonomi dan keterbatasan alternatif pinjaman,” kata Piter.

Fenomena pinjaman daring bukan sekadar persoalan literasi keuangan, tetapi juga cerminan kesenjangan ekonomi dan lemahnya perlindungan konsumen di era digital.

Oleh karena itu, sinergi antara OJK, DPR, industri fintech, dan lembaga pendidikan menjadi kunci untuk memastikan kemajuan teknologi keuangan tidak berubah menjadi jerat baru bagi masyarakat.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Deti Mega Purnamasari
EditorDeti Mega Purnamasari
Follow Us

Latest in Business

See More

Kementerian PU Latih Santri Ponpes Lirboyo Jadi Tenaga Kerja Konstruksi

01 Nov 2025, 06:04 WIBBusiness