OJK Siapkan Sanksi bagi Indofarma jika Temukan Pelanggaran

- OJK siapkan sanksi untuk Indofarma terindikasi melakukan fraud yang merugikan negara
- Imbauan kepada emiten BEI untuk menjunjung tinggi prinsip keterbukaan dan tata kelola yang baik
- BPK laporkan aktivitas fraud Indofarma, termasuk pinjaman online, transaksi jual beli fiktif, dan pengadaan alat kesehatan tanpa studi kelayakan
Jakarta, IDN Times - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) siap memberikan sanksi jika ditemukannya pelanggaran-pelanggaran oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor farmasi, PT Indofarma Tbk (INAF). Indofarma terindikasi melakukan aktivitas fraud yang merugikan negara.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi mengatakan, pihaknya saat ini tengah melakukan pemeriksaan terhadap laporan keuangan milik perusahaan tersebut.
"Kami sedang menelaah atas laporan keuangan Indofarma (INAF) untuk periode laporan keuangan 2019 sampai dengan laporan keuangan 2023 dan juga kami telah melakukan koordinasi dengan Kementerian BUMN terkait. Tentunya bila mana ada pelanggaran-pelanggaran kami pasti akan memberikan saksi terhadap hal tersebut," tutur Inarno dalam konferensi pers RDK OJK, Senin (10/6/2024).
1. Imbauan dari OJK

Inarno pun kemudian mengeluarkan imbauan kepada seluruh emiten yang sudah terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk menjunjung tinggi prinsip keterbukaan.
"Kami mengingatkan kembali bahwasannya emiten harus mengedepankan prinsip keterbukaan dan juga penerapan tata kelola yang baik ya dan OJK telah mengatur disclosure yang harus dilakukan seluruh emiten dan peraturan terkait tata kelola, contohnya peraturan terkait fungsi internal audit dan juga komite audit," papar dia.
2. BPK temukan indikasi fraud dilakukan Indofarma

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melaporkan PT Indofarma Tbk (INAF) dan anak usaha PT Indofarma Global Medika (IGM) melakukan aktivitas yang berindikasi fraud atau kerugian.
Salah satu temuannya yakni Indofarma ternyata terjerat pinjaman online alias pinjol. Meski begitu, tak dilaporkan berapa nilai pinjaman yang diambil perusahaan.
Melansir Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2023 yang dirilis BPK, kedua perusahaan tersebut melakukan transaksi jual beli fiktif pada Business Unit Fast Moving Consumer Goods (FMCG), menempatkan dana deposito atas nama pribadi pada Koperasi Simpan Pinjam Nusantara (Kopnus) serta menggadaikan deposito pada PT Bank Oke Indonesia Tbk. (DNAR) untuk kepentingan pihak lain.
Bahkan pada laporan BPK tersebut INAF juga disebut tengah melakukan pinjaman online (fintech landing). Selain itu juga menampung dana restitusi pajak pada rekening bank yang tidak dilaporkan di laporan keuangan dan digunakan untuk kepentingan di luar perusahaan.
"INAF juga menggunakan kartu kredit perusahaan untuk kepentingan pribadi dan mengeluarkan dana tanpa underlying transaction," tulis laporan IHSP BPK yang dikutip pada Kamis (6/6/2024).
3. Indofarma lakukan window dressing

Selanjutnya, pengeluaran kartu kredit perusahaan untuk kepentingan pribadi, pembayaran kartu kredit/operasional pribadi, windows dressing laporan keuangan perusahaan, serta pembayaran asuransi purnajabatan dengan jumlah yang melebihi ketentuan.
"Ini berindikasi kerugian sebesar Rp278,42 miliar dan berpotensi kerugian sebesar Rp18,26 miliar," demikian laporan IHSP BPK.
Oleh karena itu, perlu dilakukan koordinasi dengan pemegang saham dan Kementerian BUMN untuk melaporkan permasalahan PT Indofarma Tbk dan anak perusahaan kepada aparat penegak hukum.
Selain itu perlu juga menginstruksikan Direksi PT IGM untuk berkoordinasi dengan kantor pajak agar perusahaan tidak dikenakan beban pajak penjualan senilai Rp18,26 miliar atas transaksi penjualan fiktif Business Unit FMCG.
PT Indofarma Tbk dan PT IGM melakukan aktivitas pengadaan alat kesehatan tanpa studi kelayakan dan melakukan penjualan tanpa analisa kemampuan keuangan customer antara lain pengadaan serta penjualan teleCTG, masker, PCR, rapid test (panbio), dan isolation transportation.
"Ini mengakibatkan indikasi kerugian sebesar Rp16,35 miliar serta potensi kerugian sebesar Rp146,57 miliar yang terdiri dari piutang macet sebesar Rp122,93 miliar dan persediaan yang tidak dapat terjual sebesar Rp23,64 miliar," ungkap BPK.