Pekerja: Lonjakan Investasi Momentum Perbaiki Daya Beli dan Regulasi

- Ketua Umum KSPSI mendorong pemerintah untuk memperbaiki daya beli masyarakat dengan memangkas hambatan regulasi investasi di Indonesia
- Dinamika perburuhan bukan faktor utama hambatan investasi, tingginya biaya berbisnis dan rendahnya daya beli juga menjadi masalah dalam daya saing nasional
Jakarta, IDN Times - Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Jumhur Hidayat mendorong pemerintah untuk menjadikan tingginya realisasi investasi di kuartal I-2025 sebagai momentum memperbaiki daya beli masyarakat dan menciptakan kesejahteraan yang lebih merata.
Menurut Jumhur, langkah pertama yang perlu dilakukan pemerintah adalah memangkas berbagai hambatan regulasi yang selama ini menyulitkan investor dalam memulai kegiatan bisnisnya di Indonesia.
“Di dunia industri Indonesia, ada daftar urutan hambatan investasi. Hambatan nomor satu adalah masalah regulasi, mulai dari perizinan, perpajakan, pengadaan tanah, dan lain sebagainya,” kata Jumhur, Rabu (7/5/2025).
1. Isu tenaga kerja hanya tempati urutan 11 dari daftar hambatan masuknya investasi ke RI

Dinamika perburuhan di Indonesia bukanlah faktor utama yang menghambat masuknya investasi asing maupun domestik. Tuntutan peningkatan kesejahteraan yang disuarakan kalangan buruh di Indonesia tidak menjadi hambatan bagi masuknya investasi asing maupun domestik.
Menurutnya, dinamika perburuhan hanya menempati urutan ke-11 dari daftar faktor yang menghambat masuknya modal ke Indonesia.
“Untuk urusan upah itu kan ada benchmark-nya. Apa yang dituntut buruh masih masuk akal jika dibandingkan dengan Vietnam atau Filipina,” ujar Jumhur.
Sebagaimana diketahui, pada akhir April lalu, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi selama periode Januari-Maret 2025 mencapai Rp465,2 triliun. Angka ini meningkat 15,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp401,5 triliun.
2. Beban biaya bisnis di Indonesia lebih tinggi dari negara lain

Oleh karena itu, Jumhur menilai saat ini adalah momentum yang tepat bagi pemerintah untuk merealisasikan janjinya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu caranya, dengan memangkas birokrasi perizinan agar semakin banyak tenaga kerja terserap industri, yang secara otomatis akan mengurangi tingkat pengangguran.
“Izin-izin itu kan berhubungan dengan uang semua. Nah, pemerintah itu tahu dan bisa kalau semua itu dipangkas, maka perusahaan-perusahaan bisa tumbuh dan memberikan kesejahteraan yang layak bagi buruh. Itu tugas pemerintah,” ujarnya.
Tingginya biaya berbisnis di Indonesia menjadi salah satu faktor utama yang menghambat daya saing nasional di mata pelaku industri. Hal ini merujuk pada riset yang dirilis Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pada pertengahan 2024.
Ia menjelaskan, riset tersebut menunjukkan cost of doing business atau biaya yang harus dikeluarkan pelaku usaha untuk beroperasi di Indonesia merupakan yang tertinggi dibandingkan empat negara tetangga, yakni Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Hal ini membuat Indonesia menjadi negara yang kurang kompetitif di mata pelaku industri.
Adapun beban biaya yang tinggi antara lain berasal dari ongkos logistik serta bunga pinjaman bank. Biaya logistik Indonesia mencapai 23,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh lebih tinggi dibandingkan Malaysia (13 persen) dan Singapura (8 persen). Sementara itu, suku bunga kredit di Indonesia berkisar antara 8-14 persen atau lebih tinggi dari negara tetangga yang hanya sekitar 4-6 persen.
“Jangan semua itu dibebankan ke pengusaha. Pemerintah seharusnya membantu pengusaha dalam hal ini. Biaya logistik diturunkan dong, bunga pinjaman bank juga jangan terlalu tinggi,” ungkap Jumhur.
3. Daya beli masyarakat merosot

Tingginya bunga pinjaman yang ditetapkan perbankan, menurut mantan Kepala BNP2TKI ini, merupakan salah satu contoh kebijakan yang tidak produktif dan merugikan perekonomian nasional.
“Negara tetangga bisa menetapkan bunga hanya 6–7 persen lalu kenapa bunga bank di Indonesia harus 13–15 persen, terutama untuk UMKM dan sektor lainnya? Akibatnya, sebagian besar keuntungan habis untuk hal-hal yang tidak produktif. Padahal, jika dikembalikan ke perusahaan atau ke buruh, itu bisa meningkatkan daya beli dan menciptakan efek berganda bagi perekonomian,” tutur dia.
Ia juga menilai rendahnya daya beli masyarakat saat ini merupakan akibat dari kebijakan pemerintahan sebelumnya yang perlu dibenahi satu per satu.
“Carry over yang paling parah dan mengerikan dari kebijakan masa lalu adalah daya beli masyarakat yang terpukul habis. Bayangkan, pada 2014 saldo harian rata-rata masyarakat di perbankan masih Rp3,8 juta. Sekarang tinggal Rp1,3 juta. Artinya daya beli anjlok. Kalau orang tidak punya uang, industri pun pasti terpukul,” ujar Jumhur.
Untuk memulihkan daya beli masyarakat, Jumhur kembali mendesak pemerintah untuk mempermudah masuknya investasi serta menekan biaya operasional yang harus ditanggung pengusaha. Dengan semakin banyak lapangan kerja yang terbuka, maka pengeluaran buruh akan kembali menggerakkan roda perekonomian.
“Pemerintah sebagai pembuat kebijakan saat ini sangat terbuka terhadap masukan dari orang-orang yang langsung berkecimpung di bidangnya. Anggap saja 6 bulan hingga 1 tahun ke depan ini sebagai fase transisi. Semoga, dengan dialog dan kebijakan yang tepat, bisa tercipta hasil yang baik bagi rakyat,” ucap dia.