Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Bukti Uang Lebih dari Sekadar Alat Tukar, Bisa Mengatur Mental Kita!

ilustrasi punya banyak uang (pexels.com/Kaboompics.com)
ilustrasi punya banyak uang (pexels.com/Kaboompics.com)
Intinya sih...
  • Uang bisa menjadi alat pengatur mental kita.
  • Uang memengaruhi cara berpikir dan bertindak melalui gamifikasi, hiburan, efek anchoring pada harga, ilusi kelangkaan, dan belanja demi citra diri.
  • Pemahaman akan pengaruh uang dapat membantu dalam mengelola keuangan sehari-hari dengan lebih bijak.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Kamu pasti setuju bahwa uang adalah alat untuk membeli kebutuhan sehari-hari, dari makanan hingga membayar tagihan. Tapi, pernahkah kamu berhenti sejenak dan memikirkan berapa banyak energi mentalmu yang habis untuk memikirkan uang?

Mulai dari merencanakan gaji, khawatir tentang pengeluaran, hingga merasa bersalah karena membeli kopi yang “terlalu mahal”. Uang ternyata bukan sekadar kertas dan logam yang kita gunakan untuk bertransaksi.

Psikologi kita justru sangat dalam terpaut dengan konsep uang ini. Setiap keputusan yang kita ambil, bahkan yang kecil, sering kali adalah analisis untung-rugi yang rumit.

Uang bagaikan soundtrack yang selalu mengalun di film kehidupan kita, secara halus membentuk suasana hati, pilihan, dan bahkan cara kita memandang diri sendiri. Yuk, kita lihat lima bukti yang menunjukkan betapa uang telah menjadi pengatur mental kita.

1. Gamification of money (untuk orang di atas garis kemiskinan)

ilustrasi pembayaran cashless dengan kartu kredit (pexels.com/Kaboompics.com)
ilustrasi pembayaran cashless dengan kartu kredit (pexels.com/Kaboompics.com)

Bagi banyak orang, mengatur uang rasanya seperti main game. Ada level baru saat berhasil menabung, ada poin saat dapat cashback, bahkan ada jackpot instan saat pakai kartu kredit. Rasa puas ini bukan sekadar tentang angka di rekening, tapi karena otak kita mendapatkan suntikan dopamin, rasa senang instan yang bikin ketagihan.

Penelitian dalam Psychological Science, menunjukkan bahwa uang bisa memengaruhi cara kita berpikir dan bertindak hanya dengan memunculkan isyarat kecil. Itu sebabnya, mengelola keuangan sering lebih mirip kompetisi dengan diri sendiri ketimbang sekadar aktivitas rasional.

2. That’s entertainment

ilustrasi konser musik (pexels.com/Vishnu R Nair)
ilustrasi konser musik (pexels.com/Vishnu R Nair)

Bayangkan seseorang rela keluar puluhan juta hanya untuk nonton konser beberapa jam. Kalau pakai logika, harga itu jelas berlebihan. Namun, keputusan ini lebih banyak soal makna daripada fungsi.

Tiket konser bukan sekadar akses masuk stadion, tapi simbol status, kenangan, bahkan identitas diri. Saat bisa berkata “Aku ada di sana,” rasanya lebih berharga daripada uang yang keluar. Jadi dalam hal ini, uang berubah menjadi medium hiburan sekaligus penanda eksklusivitas yang sulit diukur dengan logika.

3. Efek anchoring pada harga

ilustrasi menggunakan laptop (freepik.com/freepik)
ilustrasi menggunakan laptop (freepik.com/freepik)

Pernah merasa laptop seharga Rp20 juta jadi terlihat murah hanya karena sebelumnya kamu lihat harga awalnya Rp25 juta? Itulah yang disebut anchoring. Angka pertama yang kita lihat jadi patokan, meski angka itu sebenarnya sudah diatur oleh pemasar.

Kamu merasa sedang mengambil keputusan rasional, padahal otak sedang bernegosiasi dengan ilusi angka awal. Efek ini bisa bikin kamu mengeluarkan uang lebih dari rencana, hanya karena merasa sudah mendapat “diskon” atau “penawaran bagus.”

4. Ilusi kelangkaan

ilustrasi online shopping (freepik.com/freepik)
ilustrasi online shopping (freepik.com/freepik)

Produk edisi terbatas, barang langka, atau “hanya tersedia hari ini” adalah trik yang sering bikin kita kalap. Padahal, kelangkaan itu sering kali hanya rekayasa, lho. Ketika sesuatu terasa langka, otak langsung memberi label “berharga,” meski manfaatnya sama saja dengan barang lain.

Contohnya, membeli tas dengan harga fantastis bisa terasa wajar, padahal uang itu bisa dipakai untuk kebutuhan pokok sebulan penuh. Perasaan “akan rugi kalau kelewatan” membuat keputusan jadi emosional, bukan rasional.

5. Belanja demi citra diri

ilustrasi belanja kebutuhan sehari-hari (pexels.com/Mike Jones)
ilustrasi belanja kebutuhan sehari-hari (pexels.com/Mike Jones)

Ada juga momen ketika kita membeli sesuatu bukan karena benar-benar butuh, tapi karena ingin terlihat peduli, sadar lingkungan, atau mendukung etika tertentu. Misalnya, memilih produk berlabel “sustainable” atau “fair trade.” Membeli barang ini sering jadi cara untuk merasa diri lebih baik, sekaligus menunjukkan identitas ke orang lain.

Namun, sering kali keputusan ini tetap dilandasi keinginan untuk memenuhi ego. Uang di sini berfungsi sebagai alat untuk membentuk citra diri yang kita mau tunjukkan ke sekitar.

Dari lima poin tadi, jelas banget kalau uang bukan cuma alat tukar. Ia ikut menentukan cara kita menilai sesuatu, mengambil keputusan, bahkan membangun identitas. Uang bisa jadi game, hiburan, jebakan ilusi harga, pemicu rasa panik karena kelangkaan, sampai alat untuk tampil lebih “baik” di mata orang lain.

Jadi, semakin kamu sadar bagaimana uang memengaruhi pikiran dan perilakumu, semakin bijak juga kamu dalam mengelola keuangan sehari-hari. Pada akhirnya, kendali tetap ada di tanganmu, bukan di genggaman uang itu sendiri.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us

Latest in Business

See More

Upah Pekerja Jepang Meningkat Tertinggi dalam 7 Bulan Terakhir

06 Sep 2025, 12:17 WIBBusiness