Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Elegi Desember Relawan Sudut Kota

ilustrasi perahu di tengah lautan (unsplash.com/Narendra Dinata)
ilustrasi perahu di tengah lautan (unsplash.com/Narendra Dinata)

Dengan perahu motor kecil akhirnya aku dan sembilan relawan lainnya sampai di sini, di salah satu sudut Kota Medan yang menjadi salah satu tempatku memperkokoh jati diri. 

Desa Belawan istimewa. Pemukimannya di atas air yang berada tepat di pinggiran garis pantai laut, selemparan batu dengan alat-alat berat reklamasi. Kami menginap di salah satu rumah panggung kosong milik warga untuk relawan perempuan. Sementara relawan laki-laki tidur di musala.

Ketika pagi yang dingin, aku bersama relawan lainnya menuju rumah belajar menyiapkan keperluan. Anak-anak telah ramai datang. Tepat pukul delapan mulailah kami mengajar menggambar dan mewarnai. Walau tanpa seragam, ketebatasan ruangan dan peralatan seadanya, antusias di wajah anak-anak ini membuatku semakin semangat memberitahu berbagai macam warna. 

Desa Belawan cukup sulit diakses masyarakat luar begitu pula sebaliknya. Hal inilah yang membuat akses pendidikan masih tertinggal di sini. Namun, aku bersama relawan lainnya berangkat dan terbentuk dari jiwa aktivis mengambil peran mahasiwa menjadi jembatan keterbatasan tersebut.

Ketika jam belajar sudah selesai kami pulang. Beberapa anak-anak mengikuti sambil bertanya banyak hal kepada kami. Dengan senang hati aku dan relawan lainnya menjawab segala keingintahuan mereka. Sangat menyenangkan berdiskusi ria di bawah kilauan senja yang menawan.

Sesampainya di depan rumah, ada beberapa ibu-ibu yang berdiri di sana.

"Sore, bu! Ada yang bisa dibantu?" Tanya Febri memulai.

"Nah, sudah balek. Ini ada makanan untuk anak-anak kami yang baik." Kata salah satu ibu yang menggunakan sarung batik diikuti kedua ibu-ibu lainnya yang memberikan rantangan. Wajah kami berbinar menerima banyak makanan yang diberikan, mulai dari nasi, sayur, ikan sambal, hingga aneka kue. 

Nikmat serasa kami dan mereka adalah keluarga. Setelah makan malam, briefing, kamipun bersiap-siap beristirahat.

--- --- --- --- ---

"Banjir, banjir, banjir!"

Menjelang tengah malam kami bangun terkaget dengan teriakan ramai dari luar. Dengan panik kami berhambur ke luar rumah. Di luar, kakiku langsung diterpa oleh air laut yang tiba-tiba pasang. Sebelum air makin tinggi, kami semua bergegas naik dan menumpang di pemukiman warga yang panggungnya lebih tinggi. 

"Tidak apa-apa, ya! Jangan panik. Yuk, silakan tidur lagi."

Kami ditenangkan untuk tidur beramai-ramai di ruang tamu. Tetapi, aku tetap diselimuti rasa takut hingga akhirnya baru bisa tidur pukul dua pagi. 

Paginya, kami menuju rumah belajar. Namun, alangkah terkejutnya ketika rumah belajar kampung Belwan roboh sebelah akibat banjir semalam. Di sana juga sudah berdatangan anak-anak yang berlari menghampiri kami. 

"Kak, enggak bisa menggambar lagi, ya?"

"Kak, sekolahnya rusak. Kita enggak bisa belajar lagi!"

"Tidak apa-apa, ya, sabar," kami menenangkan anak-anak yang bersedih.

Beberapa warga yang lewat berhenti. Para relawan laki-laki menghampiri mereka berdiskusi. "Oi, turunlah dari perahu. Sekolah anak-anak kita roboh. Mari dirikan kembali," kata salah satu bapak-bapak mengajak nelayan yang hendak berangkat melaut. 

Setelah berdiskusi, maka ramailah kini warga yang turut memperbaiki rumah belajar. Mereka turun membawa perkakas dan mulai gotong royong meninggalkan garapan laut demi kenyamanan anak-anak mengemban ilmu. Aku bersama relawan perempuan lainnya membuat minum dan menyajikan makanan di rumah tempat kami mengungsi semalam. 

Setelah itu, di jembatan kayu panjang kami kumpulkan anak-anak duduk bersama. "Jadi, Kak Ara ada sebuah cerita, nih! Ada yang mau dengar?" kataku memulai.

"Mau, kak!" jawab mereka antusias. 

"Oke, tapi Kak Ara enggak sendiri, nih! Kakak ditemani oleh..."

Aku lalu mengambil sesuatu dari ransel, "Taraa.." semua anak-anak bersorak gembira saat mengetahui di tangan kiriku ada boneka tangan. 

"Jadi, kak Ara bersama Foyo bakal cerita tentang betapa indahnya saling menghormati," kataku sambil memulai cerita yang diselingi canda dan tawa.

Ternyata, tak hanya anak-anak dan para relawan, ibu-ibu juga turut duduk di jembatan ini. Bahkan, warga dan relawan laki-laki yang bekerja pun ikut mendengarkan dan menyahuti ceritaku. Senyum keceriaan riangnya tawa mereka menghangatkan suasana. 

Rumah belajar telah berdiri kembali. Bahkan, kini panggungnya lebih tinggi dan lebih kokoh. Aku merasa senang sekaligus sedih. Aku senang karena rumah belajar nyaman tegak kembali, namun, sedih karena abdi tunai sudah selesai sampai di sini karena sorenya kami pamit pergi. 

Kami balas melambai saat anak-anak dan warga mengantar kami sampai jembatan. Ucapan terima kasih mereka sederhana, namun, mampu menghangatkan hatiku bersama siulet di antara ketenangan senja yang kami kejar menggunakan perahu motor. Kebaikan, ketulusan, serta betapa besarnya jiwa menuntut ilmu mereka membuatku serasa begitu berguna. Aku berjanji menjadi relawan tak akan usai sampai di sini. Aku berjanji aku akan terus mengabdikan diri.

Desember, terima kasih telah mengenalkanku kepada tempat berkesan yang tak akan kulupakan. Desember, kau istimewa bersama segala kenangan di dalamnya. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Khairunnisa Berutu
EditorKhairunnisa Berutu
Follow Us