[CERPEN] Untuk Seseorang dari Masa Lalu dan dengan Biru Berpadu Kelabu

Sepucuk surat untuk masa laluku

Aku mencintaimu. Ya, sepuluh tahun lalu aku mencintaimu. Kau yang penuh warna, yang begitu ceria, juga memberikan kesan berbeda di setiap waktu. Aku mencintaimu yang datang begitu saja, ah tidak-tidak, aku menemukanmu di suatu tempat yang terpisah oleh daratan dan lautan berpuluh-puluh ribu mil jauhnya. Entah bagaimana aku menjelaskan perasaanku ini. Tapi sebuah cahaya yang kau pancarkan terkadang membuatku terpukau, tersilau, bahkan terbakar. Namun aku tak bisa mengungkapkannya, hanya memilih bisu sebab tahu bahwa kau tidak merasakan perasaan seperti ini, setidaknya denganku.

Kita semakin dekat di setiap harinya, aku akui itu. Hanya saja aku tidak cukup bodoh untuk tahu bahwa kau sedang membangun jarak atau tembok pemisah di antara kita. Di suatu waktu kau terasa dekat, dan di waktu lain kau begitu jauh. Berada di sisiku, berbicara denganku, namun aku tak bisa menggapaimu seperti dihadapkan dengan bayangan semu.

Harus apa aku? Selalu itu yang kutanyakan pada diri sendiri.

Aku ingin bertanya padamu. Aku ingin tahu hal-hal apa yang kau sukai, seseorang seperti apa yang kau sukai, aku ingin tahu banyak lebih dari sekadar warna-warna pastel yang mampu membuat matamu berbinar seperti ribuan bintang muncul dari sana secara tiba-tiba. Aku ingin tahu sebab aku ingin menjadi sesuatu atau bahkan satu dari sekian banyak yang menarik minat dan perhatianmu. Dan di sini, aku hendak menjadi seekor kupu-kupu setelah terlalu lama menjelma menjadi kepompong.

“Aku suka melihatmu tertawa, tidak seperti biasanya yang tersenyum saja susah,” ucapmu di satu hari.

Ada bunga-bunga bermekaran dalam hatiku. Bibit yang kau tebar tertanam dengan sendirinya, kini ia tumbuh dan mekar tanpa kau tahu.

“Kau benar-benar menyukainya?” tanyaku memastikan.

“He-eh,” jawabmu singkat. Lantas kau tersenyum dan menengadahkan wajahmu, memandang birunya langit siang ini.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Jika saja kau bisa mendengar hatiku saat itu. Aku tengah berteriak lantang, mengatakan pada semesta kalau aku berhasil menjadi satu dari sekian banyak yang kau suka. Sejak itu, aku menjadi sering tertawa, menjadi diriku yang baru dan kupu-kupu mulai terbang. Menjelmalah sepasang sayap di punggungku, mengajakku untuk menjelajah melihat seperti apa duniamu.

Tidak! Maafkan aku. Aku tidak pernah tahu bahwa kau memakai topeng dan menggantinya di setiap waktu. Aku keliru jika telah mengenalmu lebih dalam, keliru jika berpikir aku tahu tentangmu lebih dari siapa pun. Aku kalah, tak ada satu hal pun yang kutahu darimu. Benar-benar tidak ada.

Jika saja kau mau melepas topengmu, menunjukkan apa yang tersembunyi selama ini, maka aku bisa menduga kalau kau tengah tenggelam dalam kesedihan mendalam. Kau menangis di setiap malamnya, lantas tertawa di depan orang-orang. Kau bukanlah si periang yang terus menerus menyihir orang lain untuk tertawa bersamamu. Namun rumusan itu tidaklah pudar, karena kau hanya menyimpan sedihmu untuk diri sendiri, padahal di sini, aku siap untuk diajak berbagi. Ah, aku ingin meminjamkan bahuku untukmu, meletakkan kepalamu agar bersandar dan mendengarmu melepas penat bahkan sumpah serapah pada takdir yang membungkus putih dengan kain-kain kelam.

“Apakah ini bagus? Aku membuatnya sendiri,” ucapku malam itu.

Kau tertawa kecil, berkomentar positif seperti biasa.

“Kau menyukainya?” tanyaku lagi.

Senyummu samar-samar di mataku meski kau menarik garis lebar dan membuat deretan gigimu terlihat. Kau ingin mengatakannya. Dalam hatimu kau sangat ingin berkata, kalau aku melakukannya dengan baik, tapi kau urung.

Aku selalu tahu, bahkan sampai sekarang. Sepuluh tahun lalu, dinding yang kau buat, sendu yang menenggelamkanmu, bahkan tumpukan hal-hal yang kau suka. Kau membuangnya, untuk seseorang. Seseorang yang mengatakannya perasaannya padamu. Seseorang yang mengatakan perasaannya tentangku. Kau takut dia terluka, padahal kita sama-sama menderita. (*)

Baca Juga: [Cerpen] Secangkir Kopi

Lily Rosella Photo Verified Writer Lily Rosella

Penulis kumcer "Iblis Pembisik" (2019)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya