4 Alasan Mengapa Cacingan Masih Menjadi Masalah Kesehatan di Indonesia

Cacingan masih menjadi salah satu masalah kesehatan yang umum terjadi di Indonesia, terutama di kalangan anak-anak usia sekolah. Meskipun termasuk penyakit yang dapat dicegah dan diobati, tingkat penyakit cacingan tetap tinggi di berbagai daerah. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesehatan individu, tetapi juga berdampak pada perkembangan sosial ekonomi masyarakat.
Tingginya angka cacingan di Indonesia berkaitan erat dengan faktor lingkungan, perilaku, dan sosial ekonomi yang kompleks. Penyakit ini sering dianggap sepele padahal dapat menyebabkan anemia, malanutrisi, dan gangguan perkembangan kognitif pada anak. Berikut empat alasan utama mengapa cacingan masih menjadi tantangan kesehatan di Indonesia.
1. Akses sanitasi yang masih terbatas di banyak wilayah

Salah satu faktor utama penyebaran cacing adalah kondisi sanitasi yang buruk. Banyak daerah di Indonesia, terutama di wilayah pedesaan atau pinggiran kota, masih belum memiliki fasilitas toilet yang layak dan sistem pembuangan limbah yang memadai. Kebiasaan buang air besar sembarangan masih terjadi karena keterbatasan akses tersebut.
Lingkungan yang tercemar tinja manusia menjadi tempat berkembang biaknya telur cacing yang kemudian dapat masuk ke tubuh melalui makanan atau tangan yang tidak bersih. Kurangnya air bersih juga memperparah kondisi ini. Air yang tercemar dan tidak diolah dengan baik bisa menjadi medium penyebaran parasit, termasuk telur cacing. Aktivitas sehari-hari seperti mencuci sayuran, mandi, atau mencuci tangan dengan air yang tidak bersih bisa menjadi jalur infeksi tanpa disadari.
2. Minimnya edukasi kesehatan dan perilaku hidup bersih

Edukasi tentang pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat masih belum merata di berbagai daerah. Banyak orang yang belum memahami bagaimana cacing masuk ke dalam tubuh, cara pencegahannya, serta dampaknya terhadap kesehatan. Kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan, tidak memakai alas kaki, atau jajan sembarangan di lingkungan yang kotor menjadi pemicu umum infeksi cacing.
Masalah ini juga berkaitan dengan kurangnya program edukasi yang konsisten di sekolah dan komunitas. Upaya kampanye kesehatan sering kali tidak berkelanjutan atau hanya bersifat sementara. Padahal, perubahan perilaku membutuhkan edukasi jangka panjang dan pendekatan yang sesuai dengan kondisi sosial masyarakat. Tanpa pemahaman yang baik, masyarakat akan terus mengulangi kebiasaan yang mendukung penyebaran cacing.
3. Kurangnya kepatuhan terhadap pengobatan massal

Pemerintah telah menjalankan program pengobatan massal cacingan, terutama bagi anak-anak usia sekolah dasar. Namun, efektivitas program ini masih belum optimal karena rendahnya tingkat kepatuhan. Sebagian orang tua ragu untuk memberikan obat cacing kepada anaknya karena khawatir dengan efek samping atau meragukan keamanannya. Selain itu, ketidakteraturan dalam pelaksanaan program juga membuat cakupan pengobatan menjadi tidak merata.
Faktor lain yang memengaruhi adalah kurangnya pelibatan aktif dari tokoh masyarakat dan guru dalam mendukung program ini. Jika para pemimpin lokal atau pendidik tidak ikut serta dalam menyuarakan pentingnya pengobatan cacing, maka kepercayaan masyarakat pun akan berkurang. Padahal, pengobatan massal secara rutin dapat membantu memutus siklus infeksi cacing di masyarakat.
4. Lingkungan sekitar anak yang rentan terpapar cacing

Anak-anak adalah kelompok yang paling rentan terhadap infeksi cacing karena mereka sering bermain di tanah, lupa mencuci tangan, atau memasukkan benda ke dalam mulut. Banyak dari mereka tinggal atau bersekolah di lingkungan yang tidak higienis, seperti tanah yang becek, genangan air, atau halaman sekolah yang tidak bersih. Dalam kondisi seperti ini, risiko paparan terhadap telur cacing menjadi sangat tinggi.
Selain itu, tidak semua sekolah memiliki fasilitas kebersihan yang memadai. Kurangnya tempat cuci tangan, air bersih, atau sabun di sekolah membuat anak-anak sulit menjaga kebersihan diri. Jika infeksi terjadi terus-menerus, cacing bisa menyerap nutrisi dari tubuh anak sehingga menyebabkan kekurangan gizi, lemas, bahkan penurunan konsentrasi saat belajar. Masalah ini kemudian berdampak lebih luas pada kualitas pendidikan dan tumbuh kembang anak.
Cacingan tetap menjadi masalah kesehatan yang mengakar di Indonesia karena kombinasi antara lingkungan yang tidak mendukung kebersihan, rendahnya edukasi, dan kurangnya keberlanjutan program pengobatan. Meski tergolong penyakit yang bisa dicegah dan diobati, pengendalian cacingan memerlukan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan tenaga kesehatan. Tanpa intervensi yang menyeluruh dan berkelanjutan, infeksi cacing akan terus menjadi hambatan bagi peningkatan kualitas hidup, terutama pada kelompok rentan seperti anak-anak.