Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

6 Fakta Disruptive Mood Dysregulation Disorder

ilustrasi seorang anak perempuan sedang berteriak di depan ayahnya (freepik.com/karlyukav)
ilustrasi seorang anak perempuan sedang berteriak di depan ayahnya (freepik.com/karlyukav)

Disruptive mood dysregulation disorder (DMDD) adalah suatu kondisi kesehatan mental yang menyebabkan sifat mudah marah yang kronis dan intens serta seringnya ledakan amarah pada anak-anak. Meskipun normal bagi anak-anak untuk mengalami masa-masa kemurungan, namun DMDD cenderung lebih parah dan berlangsung lebih lama. 

DMDD menyebabkan anak mengalami emosi tidak stabil yang tidak bisa mereka atur, termasuk ledakan kemarahan ekstrem yang berujung pada tantrum. Ledakan amarah sangat tidak sebanding dalam intensitas dan durasinya dengan situasi. Ledakan emosi ini sering terjadi sebagai respons terhadap sesuatu yang tidak disukai anak.

Misalnya, orangtua menyuruh anaknya untuk berhenti bermain dan mengerjakan pekerjaan rumahnya. Anak mana pun mungkin merasa frustasi atau merasa kesal namun masih dalam batas kewajaran. Namun seorang anak dengan DMDD, kemungkinan menjadi sangat kesal dan emosional serta memiliki emosi yang meledak-ledak dengan membentak atau memukul.

Karena sifat emosionalnya yang intens, anak-anak yang menderita DMDD sering kali mengalami masalah di rumah, sekolah, dan lingkungan sosialnya. Mereka mungkin mengalami kesulitan dalam menjalin pertemanan. Selain itu, mereka mungkin juga lebih sering mengunjungi penyedia layanan kesehatan atau mendapat skorsing dari sekolah, mengutip WebMD.

DMDD berbeda dengan gangguan lain yang terlihat serupa, seperti gangguan bipolar, gangguan spektrum autisme, dan gangguan menentang oposisi (ODD). Namun anak-anak dengan DMDD bisa mengalami gangguan tertentu lainnya yang bisa terjadi secara bersamaan, termasuk ADHD, gangguan kecemasan, dan depresi. Selain itu, anak-anak dengan DMDD juga memiliki peluang lebih besar untuk mengalami depresi atau gangguan kecemasan serius ketika dewasa.

Untuk memahami lebih jauh seputar gangguan disregulasi suasana hati yang mengganggu (DMDD), berikut deretan faktanya yang perlu kamu ketahui.

1. DMDD ditambahkan ke dalam Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DSM-5) pada tahun 2013

ilustrasi anak laki-laki sedang berteriak (acpcpsychology.com.au)
ilustrasi anak laki-laki sedang berteriak (acpcpsychology.com.au)

DMDD merupakan diagnosis yang cukup baru. Kondisi mental ini pertama kali  ditambahkan ke dalam Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DSM-5) pada tahun 2013. DSM-5 mengklasifikasikan DMDD sebagai jenis gangguan depresi, karena anak-anak yang didiagnosis dengan kondisi ini, mengalami kesulitan untuk mengatur suasana hati dan emosinya, dengan cara yang sesuai dengan usia mereka.

Akibatnya, anak-anak yang menderita DMDD sering kali mengalami ledakan emosi sebagai respons terhadap rasa frustasi, baik secara verbal maupun perilaku. Di sela-sela ledakan emosi,  mereka mengalami iritabilitas yang kronis dan terus-menerus.

Mengutip laman psycom.net, DMDD dikembangkan sebagai diagnosis sebagai respons terhadap kekhawatiran psikiater bahwa gangguan bipolar telah didiagnosis secara berlebihan pada anak-anak. Perlu diketahui bahwa DMDD  didasarkan pada konsep disregulasi suasana hati yang parah, sebagai suatu kondisi berbeda dari perilaku manik episodik dan depresi yang khas pada gangguan bipolar. Banyak anak yang awalnya didiagnosis menderita bipolar pediatrik, tidak mengalami mania episodik (atau suasana hati yang meningkat) yang berkaitan dengan kondisi tersebut.

Perlu diketahui juga bahwa salah satu cara membedakan DMDD dari gangguan bipolar adalah dengan mudah tersinggung secara kronis. Jika gangguan bipolar umumnya ditandai dengan perubahan suasana hati yang episodik, maka berbeda dengan anak-anak yang menderita DMDD yang memiliki suasana hati yang terus-menerus marah atau mudah tersinggung.

Saat ini, DMDD digunakan untuk memberikan diagnosis yang lebih akurat pada kasus anak-anak yang sebelumnya telah didiagnosis menderita gangguan bipolar pediatrik, sehingga membantu mencegah diagnosis gangguan bipolar yang berlebihan pada anak-anak.

2. Penyebab

ilustrasi anak perempuan sedih melihat orangtuanya bertengkar (freepik.com/freepik)
ilustrasi anak perempuan sedih melihat orangtuanya bertengkar (freepik.com/freepik)

Karena DMDD merupakan kelainan mental yang relatif baru, maka penelitian masih dilakukan untuk menguraikan faktor risiko spesifik. Meski begitu, ada sejumlah faktor yang diyakini berperan. Faktor-faktor tersebut kemungkinan termasuk genetika, temperamen, kondisi mental yang terjadi bersamaan, dan pengalaman masa kecil, mengutip Verywell Mind.

Sementara itu, sebuah penelitian yang dilakukan terhadap lebih dari 3.200 anak berusia antara 2 dan 17 tahun, menemukan bahwa antara 0,8 dan 3,3 persen anak-anak memenuhi kriteria DMDD. Namun gangguan ini tampaknya lebih umum terjadi pada anak-anak daripada remaja, dan kemungkinan besar terjadi bersamaan dengan kondisi kejiwaannya lainnya, seperti gangguan depresi dan gangguan menentang oposisi (ODD), yang merupakan yang paling umum. Selain itu, anak-anak dengan DMDD kemungkinan juga memiliki gangguan mental lainnya seperti gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif (ADHD), dan gangguan kecemasan.

Temperamen seorang anak kemungkinan merupakan faktor risiko terjadinya DMDD. Beberapa ciri yang lebih sering terlihat pada anak dengan kondisi ini yaitu mencakup:

  • Kemurungan.
  • Mudah marah.
  • Kecemasan.
  • Perilaku yang sulit.

Faktor risiko lain yang terkait dengan DMDD yaitu meliputi:

  • Dukungan orangtua yang rendah.
  • Permusuhan orangtua dan penggunaan narkoba.
  • Konflik keluarga.
  • Masalah kedisiplinan di sekolah.
  • Lingkungan yang penuh dengan tekanan ekonomi.
  • Kesulitan dalam lingkungan sosial.

Memiliki anggota keluarga dengan kondisi kejiwaan juga bisa meningkatkan risiko DMDD. Selain itu, anak laki-laki lebih mungkin mengalami DMDD daripada anak perempuan.

3. Tanda dan gejala

ilustrasi anak perempuan berteriak sambil memegang kepalanya (freepik.com/freepik)
ilustrasi anak perempuan berteriak sambil memegang kepalanya (freepik.com/freepik)

Gejala DMDD biasanya muncul sebelum usia 10 tahun. Dilansir Verywell Mind, gejala DMDD yaitu meliputi:

  • Amukan yang parah dan berulang: Ledakan kemarahan tersebut bisa berupa teriakan, dorongan, pemukulan, atau perusakan properti.
  • Ledakan yang terjadi tiga kali atau lebih dalam satu Minggu: Seorang anak kemungkinan masih didiagnosis menderita DMDD jika mereka tidak selalu mengalami ledakan sebanyak ini dalam seminggu. Sebab, anak-anak mungkin akan lebih sering mengamuk dalam satu minggu atau lebih sedikit pada minggu berikutnya. Namun rata-rata, amukan tiga kali atau lebih dalam seminggu diperlukan untuk diagnosis.
  • Tantrum yang tidak proporsional dengan situasi: Contohnya, kamu mungkin mengira seorang anak akan marah ketika tidak mendapatkan mainan yang diinginkannya. Namun pada anak dengan DMDD mungkin akan bertindak dengan agresi fisik dan ledakan verbal yang berlebihan dan juga intens.
  • Tantrum yang tidak sesuai dengan usia anak: Orang mungkin tidak akan terkejut ketika melihat anak kecil mengamuk hingga terjatuh ke lantai sambil menangis dan menjerit. Namun pada anak yang menderita DMDD, hal tersebut bisa terjadi meski mereka sudah lebih besar bahkan meski usianya sudah belasan tahun.
  • Suasana hati yang mudah tersinggung dan marah di antara amukan: Di sela-sela ledakan emosi yang intens, anak-anak dengan DMDD memiliki suasana hati yang terus-menerus marah dan sangat mudah tersinggung. Suasana hati seperti itu sering kali muncul dan diperhatikan oleh orang lain.
  • Gejala terjadi di berbagai tempat: Ledakan emosi tidak hanya terjadi di satu tempat, misalnya di sekolah. DMDD ditandai dengan tantrum setidaknya dalam dua situasi seperti di rumah, sekolah, atau dengan teman sebaya.

Seiring berjalannya waktu, seiring pertumbuhan dan perkembangan anak, gejala DMDD bisa berubah. Misalnya, seorang remaja atau dewasa muda dengan DMDD kemungkinan mengalami lebih sedikit tantrum, namun mereka mungkin mulai menunjukkan gejala depresi atau kecemasan. Oleh karena itu, pengobatan juga bisa berubah seiring waktu.

4. Diagnosis

ilustrasi anak perempuan berbicara dengan psikolog (freepik.com/freepik)
ilustrasi anak perempuan berbicara dengan psikolog (freepik.com/freepik)

Kemungkinan sulit untuk mengetahui pada awalnya apakah perilaku seorang anak lebih sekedar dari fase perkembangan. Namun penting bagi orangtua untuk berkonsultasi dengan ahli kesehatan jika pola perilaku anaknya tersebut berlangsung lebih dari beberapa minggu, menyebabkan kesusahan, atau mengganggu kemampuan mereka untuk berfungsi dengan baik di sekolah, rumah, atau dengan teman sebayanya.

Wawancara dengan orangtua dan pengasuh penting untuk membantu tim layanan kesehatan untuk memahami apa yang terjadi dan bagaimana hal ini memengaruhi kehidupan anak. Nah, ketika berbicara dengan orangtua dan pengasuh, dokter akan mengajukan pertanyaan seputar riwayat penyakit anak secara menyeluruh.

Selain itu, mereka mungkin juga meminta informasi dari sekolah dan guru anak tersebut. Anak kemungkinan juga akan diwawancarai oleh dokter untuk mengetahui seperti apa kondisinya. Setelah itu, dokter kemungkinan merujuk anak ke ahli kesehatan mental, jika ditemukan adanya masalah pada kondisi kesehatan mental anak.

Penting untuk bertemu dengan penyedia kesehatan mental yang terlatih seperti psikiater atau psikolog anak dan remaja, untuk mendapatkan diagnosis yang akurat karena DMDD bisa terjadi bersamaan dengan gangguan lain, seperti:

  • Gangguan kecemasan.
  • Gangguan spektrum autisme (ASD).
  • Depresi.
  • Gangguan stres pasca trauma (PTSD).
  • Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), yang merupakan suatu kondisi di mana anak-anak kesulitan untuk memusatkan perhatian, mengendalikan perilaku impulsif, atau menenangkan diri.

Perlu diketahui bahwa tidak ada penilaian standar untuk DMDD, namun psikiater bisa menggunakan modul Kiddie Schedule for Affective Disorders and Schizophrenia DMDD, bersama dengan mengumpulkan informasi dari orangtua dan guru. Menurut DSM-5, faktor-faktor berikut dipertimbangkan ketika mendiagnosis DMDD;

  • Gejala harus muncul setidaknya selama 12 bulan.
  • Seorang anak harus berusia minimal 6 tahun agar DMDD bisa didiagnosis.
  • Jika seorang anak berusia lebih dari 10 tahun, maka gejalanya harus sudah dimulai sebelum usia 10 tahun.
  • Setelah usia 18 tahun, DMDD tidak bisa didiagnosis lagi.

5. Perawatan

ilustrasi anak laki-laki memegang obat (freepik.com/stocking)
ilustrasi anak laki-laki memegang obat (freepik.com/stocking)

Karena DMDD merupakan diagnosis cukup baru, maka belum banyak penelitian tentang pengobatan khusus untuk kondisi ini. Perawatan saat ini sebagian besar didasarkan pada penelitian yang berfokus pada kondisi masa kanak-kanak lain yang terkait dengan sifat yang mudah tersinggung, seperti kecemasan dan ADHD.

Kabar baiknya, adalah banyak dari pengobatan ini yang berhasil untuk mengatasi DMDD. Dua pilihan utama untuk mengobati DMDD yaitu psikoterapi (terapi bicara) dan obat-obatan. Dalam banyak kasus, penyedia layanan kesehatan merekomendasikan psikoterapi terlebih dahulu sebelum mencoba obat-obatan. Berikut pilihan perawatan untuk DMDD:

  • Psikoterapi: Psikoterapi disebut juga terapi bicara, merupakan istilah untuk berbagai teknik pengobatan yang bertujuan untuk membantu pasien dalam mengidentifikasi dan mengubah emosi, pikiran, dan perilaku yang tidak sehat. Psikoterapi dilakukan oleh ahli kesehatan mental yang terlatih dan berlisensi seperti psikiater atau psikolog. Ini bisa memberikan dukungan, pendidikan , dan bimbingan kepada anak dan/atau keluarganya untuk membantu mereka dengan DMDD. Berbagai jenis psikoterapi yang bisa membantu anak dengan DMDD yaitu mencakup:
  1. Terapi perilaku kognitif (CBT): Terapi perilaku kognitif (CBT) merupakan salah satu bentuk psikoterapi yang paling umum. Selama CBT untuk DMDD, ahli kesehatan mental membantu anak untuk mencermati pikiran dan juga emosinya. Dengan begitu, anak akan memahami bagaimana pikirannya memengaruhi tindakannya. Melalui CBT, anak juga bisa melupakan pikiran dan perilaku negatif, serta belajar menerapkan pola pikir dan kebiasaan yang lebih sehat. Ahli kesehatan mental juga bisa membantu anak untuk meningkatkan kemampuan mereka untuk menoleransi rasa frustasi tanpa meledak-ledak.
  2. Terapi perilaku dialektis (DBT): Terapi perilaku dialektis (DBT) didasarkan pada CBT, namun secara khusus diadaptasi untuk seseorang yang mengalami emosi yang sangat intens. DBT bisa membantu anak belajar mengatur emosinya dan menghindari ledakan emosi yang ekstrem atau berkepanjangan.
  3. Pelatihan orangtua: Penyedia layanan kesehatan kemungkinan merekomendasikan penggabungan terapi untuk pasien anak dengan pelatihan orangtua. Terapi ini mengajarkan orangtua atau pengasuh cara yang lebih efektif untuk merespons perilaku yang mudah tersinggung, seperti mengantisipasi kejadian yang mungkin membuat anak mereka menjadi mudah marah dan berusaha untuk mencegahnya. Pelatihan juga berfokus pada pentingnya konsisten dengan anak dan menggunakan penguatan positif untuk mengurangi perilaku yang tidak diinginkan dan mendorong perilaku yang sehat.
  • Obat-obatan: Saat ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA), belum menyetujui obat apa pun yang khusus untuk mengobati DMDD. Namun dokter kemungkinan meresepkan obat tertentu untuk membantu mengatasi gejala DMDD. Ini meliputi:
  1. Stimulan: Dokter biasanya meresepkan stimulan untuk pengobatan ADHD. Namun penelitian juga menunjukkan bahwa obat stimulan juga bisa menurunkan iritabilitas pada anak yang menderita DMDD.
  2. Antidepresan: Dokter terkadang meresepkan Anti-depresan untuk mengatasi masalah iritabilitas dan suasana hati yang mungkin dialami oleh anak dengan DMDD. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa citalopram bila dikombinasikan dengan Methylphenidate (suatu stimulan), bisa menurunkan iritabilitas pada anak-anak dengan DMDD.
  3. Obat antipsikotik (neuroleptik) atipikal tertentu: Dokter terkadang meresepkan obat ini untuk mengobati anak-anak yang mudah tersinggung, mudah marah, atau agresif. Namun penyedia layanan kesehatan biasanya hanya meresepkan obat-obatan ini untuk DMDD jika pengobatan lain tidak berhasil.

Seluruh obat memiliki potensi menimbulkan efek samping, sehingga penting bagi orangtua maupun pengasuh untuk mendiskusikan hal ini dengan penyedia layanan kesehatan anaknya, dan memantau serta melaporkan setiap efek samping yang berkembang.

6. Cara orangtua memberi dukungan pada anaknya yang menderita DMDD

ilustrasi ibu memeluk anak perempuannya yang menangis (freepik.com/Racool_studio)
ilustrasi ibu memeluk anak perempuannya yang menangis (freepik.com/Racool_studio)

Jika anak menderita DMDD, maka selain memberikan perawatan dari ahli kesehatan mental, orangtua juga bisa membantu anaknya dan dirinya sendiri dengan cara berikut:

  • Mempelajari sebanyak mungkin tentang DMDD: Orangtuanya sebaiknya berbicara dengan ahli kesehatan mental anaknya tentang pilihan pengobatan dan penelitian terbaru tentang DMDD.
  • Berkomunikasi secara teratur dengan ahli kesehatan mental anaknya: Penting bagi orangtua  untuk bekerjasama dengan ahli kesehatan mental anaknya untuk membuat keputusan mengenai pengobatan yang terbaik untuk anaknya.
  • Bekerjasama dengan guru atau konselor sekolah anak: Orangtua juga sebaliknya bekerja sama dengan guru dan konselor sekolah anaknya untuk perawatan anaknya. Dengan bekerja sama dengan pihak sekolah anaknya, maka bisa bersama-sama untuk mengembangkan strategi dan akomodasi yang bisa membantu anak untuk berkembang.
  • Ambil waktu istirahat untuk diri sendiri jika diperlukan: Jika orangtua akan membuat konflik dengan anaknya menjadi lebih buruk dan bukannya membaik, maka sebaiknya orangtua beristirahat dan menjauh sejenak dari anak. Ini juga bisa menjadi contoh yang baik bagi anaknya. Karena itu merupakan salah satu cara yang tepat untuk menenangkan diri agar tidak sampai terjadi ledakan amarah. Orangtua juga sebaiknya mendukung anaknya jika mereka memutuskan untuk beristirahat untuk mencegah meningkatnya situasi negatif.
  • Memahami pemicu ledakan amarah anak: Jika anak cenderung mengamuk dalam situasi atau situasi tertentu, maka orangtua sebaiknya membuat rencana. Mengeluarkan anak dari situasi tersebut untuk sementara terkadang bisa membantu.
  • Menjaga keamanan anak: Jika anak cenderung bertingkah secara fisik, maka sebaiknya orangtua mengusahakan untuk menjauhkan benda-benda yang berpotensi berbahaya dari jangkauannya. Misalnya dengan memastikan semua perabotan di rumah terpasang dengan aman dan jauhkan benda-benda yang berat, tajam, dan mudah dibuang.
  • Mengajarkan keterampilan mengatasi: Dalam satu studi kasus, seorang anak penderita DMDD diajari untuk melafalkan lirik lagu dalam hati setiap kali dia merasa marah. Hal ini juga dikombinasikan dengan penggunaan pernapasan dalam dan melafalkan pengingat lisan untuk membantu menghentikan ledakan kemarahan sebelum terjadi.
  • Mendorong perilaku positif: Hadiahi perilaku yang sesuai dengan perhatian, pujian, dan hak istimewa. Dalam rumah tangga yang memiliki banyak anak, anak-anak terkadang luput dari perhatian ketika mereka berperilaku baik, namun bisa mendapatkan perhatian khusus ketika mereka berperilaku buruk. Hal ini cenderung memperkuat perilaku buruk dan menghambat perilaku baik. Oleh karena itu, sebaiknya orangtua menghancurkan pola tersebut dengan memastikan jika ia memperhatikan dan menghargai tindakan positif anaknya.

Psikoanalisis Laurie Holiman Ph.D., yang bersosialisasi dalam hubungan orangtua dan anak, menekankan pentingnya orangtua mengatasi kecemasan mereka sendiri terhadap perilaku anak mereka, sehingga mereka bisa tetap tenang dalam menghadapi ledakan kemarahan anak mereka. Laurie Hollman Ph.D, juga berpendapat bahwa jika orangtua bisa mempertahankan pemahaman bahwa ledakan emosi tersebut tidak terjadi secara acak, melainkan komunikasi yang bermakna dan tidak terkendali, maka mereka akan lebih mampu untuk membantu anak mereka. Berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa intervensi semacam itu dapat efektif. 

Laurie Hollman Ph.D, juga menyarankan agar anak-anak yang menyukai sentuhan akan merasa nyaman jika digendong sambil menenangkan diri meskipun mereka sedang memukul-mukul. Sementara anak-anak yang tidak menyukai sentuhan akan lebih baik jika mereka menerima nada lembut yang menenangkan dari orangtuanya yang berempati dengan mengucapkan pertanyaan seperti, 'Aku bersamamu', 'Aku disisimu', 'biarkan aku tetap di sampingmu dan mendengarkan apa yang ingin kamu katakan'.

Disruptive mood dysregulation disorder bisa menjadi suatu kondisi menantang yang bisa mengakibatkan masalah besar dalam kehidupan seorang anak. Kondisi ini juga bisa meningkatkan risiko anak mengalami depresi dan gangguan kecemasan ketika dewasa, sehingga penting untuk mencari pengobatan jika orangtua menduga anaknya mengalami kondisi ini. Pengobatan yang tepat bisa membantu anak untuk mengelola gejalanya dan meningkatkan hubungan, baik di sekolah, rumah, maupun lingkungan sosialnya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Topics
Editorial Team
Debby Utomo
EditorDebby Utomo
Follow Us

Latest in Health

See More

Kapan Sebaiknya ke Dokter saat Anak Keracunan Makanan?

23 Sep 2025, 22:43 WIBHealth