"Kalau soal privasi, selama anak masih tinggal di bawah satu atap dengan orang tua, menurut saya orang tua tetap punya hak untuk tahu apa saja yang dikonsumsi anak di media sosial. Banyak pola asuh dari Barat yang terlalu menekankan hak privasi anak, padahal otak mereka masih dalam masa perkembangan," jelasnya.
Ketika Privasi Remaja Jadi Perdebatan: Hak atau Risiko?

- Remaja masih memerlukan pengawasan orang tua untuk mengontrol konten media sosial yang masuk ke otak mereka yang masih dalam tahap perkembangan.
- Algoritma bekerja berdasarkan konten yang sering dilihat dan bisa memengaruhi cara pandang remaja, terutama jika terjebak dalam lingkaran informasi yang memperkuat pandangan tertentu.
- Orang tua harus meregulasi emosi agar rumah menjadi tempat keseimbangan bagi remaja, yang sedang mencari jati diri dan kestabilan secara emosional.
Di kamar, seorang remaja duduk sambil sibuk mengetik di ponselnya. Ia merasa dunia digital adalah ruang pribadinya, tempat ia bisa bercakap dengan teman, berbagi cerita, atau mencari hiburan. Baginya, privasi berarti kebebasan untuk tumbuh, bereksplorasi, dan menemukan jati diri.
Di sisi lain, orang tua merasa cemas karena tahu betapa luas dan tak terbatasnya internet. Ada konten yang bisa menginspirasi, tetapi ada pula yang bisa menjerumuskan. Rasa cemas itu hadir bukan semata karena ingin mengontrol, melainkan karena rasa sayang dan keinginan untuk melindungi.
Di era digital, benturan dua sudut pandang ini sering terjadi: remaja yang ingin dipercaya, dan orang tua yang ingin memastikan anaknya aman. Pertanyaannya, apakah remaja sudah cukup matang untuk memegang privasi penuh, atau masih perlu bimbingan agar tidak salah langkah di dunia maya yang makin kompleks?
Otak remaja masih dalam tahap perkembangan
Praktisi parenting, Novita Tandry, menjelaskan bahwa remaja, selama mereka belum mandiri, maka masih membutuhkan pengawasan dan bimbingan untuk mengontrol apa pun yang bisa masuk ke otak mereka yang masih dalam tahap perkembangan.
Anak-anak butuh bimbingan dan pengawasan. Selama belum mandiri secara usia maupun emosional, pengawasan tetap perlu—bahkan sampai usia 18 hingga 25 tahun, masa ketika anak-anak masih butuh diajak bicara dan bertukar pikiran agar orang tua tahu sejauh apa pengalaman mereka dalam menggunakan gawai.
Cara kerja algoritma

Algoritma bekerja berdasarkan konten yang sering dilihat dan baca. Makin sering melihat jenis tertentu, sistem akan terus mengirimkan konten serupa. Situasi ini bisa menjerumuskan individu ke dalam pusaran informasi yang menguatkan perspektif tertentu.
"Akibatnya, makin lama, seseorang bisa terjebak dalam lingkaran informasi yang memperkuat cara pandang tertentu. Kalau otak bagian depan kita belum cukup matang untuk mengelola informasi, maka distorsi kognitif bisa terbentuk," jelas Novita.
"Remaja bisa merasa bahwa dunia di sekitarnya jahat, tidak punya empati, dan hidup dalam realitas yang tidak seimbang. Apalagi ketika mereka masuk ke platform seperti YouTube atau Discord, ada komunitas yang saling menguatkan pandangan itu—dan akhirnya mereka makin yakin bahwa itulah kebenaran," lanjutnya.
Jika remaja sudah ada pengaruh dari komunitas ekstrem, mereka harus dikeluarkan dari lingkungan tersebut dengan rehabilitasi jika terindikasi menggunakan zat-zat terlarang atau dengan deradikalisasi jika sampai tahap radikalisasi.
"Langkah awalnya adalah mencari tahu dulu komunitasnya, apakah ada gerakan atau pengaruh tertentu di sana," kata Novita.
Orang tua harus meregulasi emosi
Remaja sering kali terlihat dewasa secara fisik—tinggi, besar, dan pandai bicara—sehingga orang tua merasa enggan menasihati mereka. Padahal, justru pada usia ini mereka sedang rapuh, mencari jati diri, dan membutuhkan kehadiran orang tua sebagai contoh.
Kesehatan mental remaja juga sangat bergantung pada stabilitas emosi orang tua di rumah. Suasana batin orang tua bisa menular; jika orang tua mudah marah, cemas, atau stres, anak akan ikut tegang dan defensif. Sebaliknya, kalau orang tua tenang dan bahagia, anak juga akan lebih stabil emosinya.
"Rumah seharusnya menjadi titik keseimbangan, tempat di mana remaja merasa aman setelah menghadapi tekanan sosial di luar. Bukan 'home sweet home' tapi 'home bitter home'. Karena bagi remaja, kunci ketenangan emosi bukanlah orang tua yang sempurna, melainkan orang tua yang memahami, tulus, stabil secara emosi, dan mampu menerima mereka apa adanya," Novita mengatakan.


















