- Infrastruktur rusak dan air tercemar
Tantangan Sanitasi saat Bencana, ketika Toilet Darurat Tidak Layak

- Toilet darurat sering tidak aman atau tidak memadai dalam situasi bencana, meningkatkan risiko penyakit dan kekerasan berbasis gender.
- Human-powered sanitation menjadi solusi ketika fasilitas minim, tetapi membutuhkan pengelolaan benar agar higienis dan aman.
- Kelompok rentan membutuhkan perlindungan ekstra, termasuk akses toilet yang terpisah, penerangan, dan sistem limbah yang aman.
Setiap kali banjir besar, longsor, gempa, atau bencana lannya terjadi, fokus terbesar saat itu biasanya tertuju pada evakuasi, distribusi makanan, dan ketersediaan air bersih. Namun, ada satu kebutuhan dasar yang sering luput, yaitu akses sanitasi yang aman. Di banyak lokasi pengungsian, toilet darurat memang tersedia, tetapi tidak selalu memadai, baik dari sisi jumlah, keamanan, maupun kebersihannya.
Dalam kondisi penuh ketidakpastian, banyak penyintas akhirnya harus mengandalkan metode yang lebih “manusiawi” dan langsung, atau yang kini kerap disebut human-powered sanitation, kondisi ketika manusia harus beradaptasi dengan ruang, alat, dan situasi yang terbatas untuk bisa tetap buang air secara aman. Konsep ini muncul bukan karena pilihan, tetapi karena kebutuhan mendesak.
Di titik inilah risiko kesehatan dan keselamatan meningkat. Ketika skala bencana membesar dan fasilitas tidak mengimbangi, masyarakat menghadapi situasi yang rentan. Mulai dari penyebaran penyakit berbasis air hingga tantangan menjaga martabat dan privasi.
Beragam risiko sanitasi buruk dan toilet yang tidak memadai
Berikut ini risiko bencana terhadap sanitasi, ketika toilet tidak aman atau tidak tersedia:
Bencana seperti banjir dan longsor bisa melumpuhkan sistem sanitasi secara total. Septic tank terendam, saluran pembuangan rusak, dan limbah rumah tangga bercampur dalam genangan air. Tanpa toilet yang aman, masyarakat terpaksa buang air di ruang terbuka atau sembarangan, meningkatkan risiko kontaminasi air dan penularan penyakit seperti diare, hepatitis A, dan leptospirosis.
Di banyak pengungsian, toilet darurat sering dibangun terburu-buru. Tanah yang labil, genangan air, dan minimnya drainase membuat fasilitas ini cepat rusak atau tak dapat digunakan. Makin sedikit toilet yang berfungsi, makin tinggi risiko antrean panjang, penggunaan berulang tanpa pembersihan, dan penyebaran bakteri.
- Toilet darurat yang tidak memadai dan ketidakamanan fisik
Selain aspek kesehatan, ada risiko lain yang jarang dibahas, yaitu keamanan pengguna. Banyak toilet darurat dipasang jauh dari tenda utama karena keterbatasan ruang. Kondisi ini membuat penyintas, terutama perempuan, lansia, dan anak, harus berjalan dalam gelap, melewati area sepi, atau medan licin yang membahayakan.
Situasi ini membuka peluang terjadinya kekerasan berbasis gender, pelecehan, hingga kecelakaan fisik. Dalam berbagai laporan kemanusiaan global, toilet yang tidak memiliki penerangan cukup atau tidak terpisah berdasarkan gender menjadi faktor risiko tambahan.
- Dampak pada martabat dan privasi
Bencana tidak hanya merusak rumah dan kesehatan fisik, tetapi juga menggerus rasa aman dan harga diri. Ketika seseorang tidak memiliki ruang privat untuk kebutuhan biologisnya, rasa malu, stres, dan kelelahan mental bisa meningkat. Human-powered sanitation muncul sebagai solusi darurat, seperti menggunakan ember tertutup, kantong sanitasi, atau shelter kecil yang dibuat oleh warga sendiri. Namun, tetap saja praktik ini kurang ideal apalagi jika tidak dikelola dengan benar.
Siapa saja yang paling rentan?
Kelompok tertentu menghadapi tantangan lebih besar dalam kondisi sanitasi darurat:
- Perempuan dan anak perempuan, karena butuh privasi lebih, terutama saat menstruasi.
- Anak-anak kecil, yang lebih mudah terpapar penyakit bawaan air.
- Lansia dan penyandang disabilitas, yang kesulitan bergerak menuju toilet darurat yang jauh atau tidak aksesibel.
- Ibu hamil, yang rentan mengalami infeksi saluran kemih jika sanitasi buruk.
- Orang dengan kondisi medis kronis (misalnya diabetes) yang memerlukan kebersihan ekstra untuk mencegah infeksi.
Ketika fasilitas sanitasi rusak, jarak, aksesibilitas, dan kebersihan menjadi tantangan berat bagi mereka.
Apa saja yang bisa dilakukan?

Untuk mengurangi risiko penyakit, menjaga keamanan dan martabat pengungsi, serta memastikan akses sanitasi yang layak saat toilet darurat rusak, tidak cukup, atau tidak tersedia, berikut ini beberapa hal yang bisa dilakukan:
- Penguatan toilet darurat yang aman
- Lokasi tidak terlalu jauh dari tenda pengungsian.
- Penerangan memadai, terutama pada malam hari.
- Terpisah berdasarkan gender untuk mengurangi risiko kekerasan.
- Akses yang ramah disabilitas.
- Sistem pembuangan sederhana namun aman dan tidak mencemari lingkungan.
- Human-powered sanitation yang lebih aman. Dalam situasi ekstrem, beberapa strategi dapat membantu:
- Menggunakan toilet portabel atau kantong kotoran portabel yang mengandung bahan pengurai patogen.
- Menyediakan ember toilet tertutup dengan disinfeksi rutin menggunakan klorin 0,1%–0,5%.
- Mengatur jadwal pembuangan limbah ke titik yang ditentukan untuk mencegah kontaminasi air.
- Membuat privacy shelter sederhana dari terpal.
- Manajemen limbah yang benar
- Wadah limbah harus tertutup rapat.
- Jangan membuang limbah ke sungai, genangan air, atau saluran yang rusak.
- Libatkan relawan untuk memastikan sistem berjalan aman dan higienis.
- Edukasi pengungsian. Beri informasi jelas tentang:
- Area toilet.
- Prosedur kebersihan tangan.
- Penggunaan kantong limbah.
- Jadwal pembersihan fasilitas.
Informasi sederhana ini bisa menurunkan risiko penyebaran penyakit secara signifikan.
Human-powered sanitation adalah gambaran nyata bahwa kebutuhan dasar manusia tetap harus dipenuhi dengan cara apa pun, bahkan dalam kondisi paling sulit sekalipun. Ketika toilet darurat tidak cukup aman atau tidak tersedia, adaptasi menjadi kunci, tetapi adaptasi ini perlu dikelola dengan prinsip kesehatan, keamanan, dan martabat manusia.
Di tengah meningkatnya frekuensi bencana di Indonesia, pemahaman mengenai sanitasi darurat bukan lagi sebatas isu teknis, tetapi bagian dari perlindungan masyarakat. Dengan pengelolaan yang tepat, risiko kesehatan dapat ditekan, keamanan terjaga, dan martabat para penyintas tetap dihormati.
Referensi
Nurul Izza Sayyidina Aufa Dianto, Arie Surya Gutama, and Muhammad Fedryansyah, “Urgensi Ketersediaan Fasilitas Sanitasi yang Layak bagi Wanita pada Tempat Pengungsian Korban Bencana Alam." Jurnal Ilmiah Kebijakan Dan Pelayanan Pekerjaan Sosial (Biyan) 7, no. 1 (July 27, 2025), https://doi.org/10.31595/biyan.v7i1.1321.
"Kuliah Tamu Prodi RIL ITB: Praktisi WASH UNICEF Bahas Tantangan Sanitasi Pasca Bencana dan Solusi Inovatif." ITB. Diakses Desember 2025.
"Di Indonesia, Perencanaan Keamanan Sanitasi Memperkuat Ketahanan terhadap Dampak Perubahan Iklim pada Kesehatan." World Health Organization. Diakses Desember 2025.
Noer Endah Pracoyo. “Dampak Bencana Tsunami Terhadap Higiene Sanitasi Makanan dan Air di Barak Pengungsian Nanggroe Aceh Darussalam.” Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 18, no. 3 (2008). ISSN 0853-9987.


















