3 Korban Dokter Priguna Bandung Dapat Restitusi Sesuai Hitungan LPSK

- Rincian restitusi sesuai perhitungan objektif
- Langkah hakim yang mengakomodir restitusi mencerminkan keberpihakan pada korban sebagai subjek utama dalam proses keadilan.
- Restitusi menjadi bentuk tanggung jawab pelaku terhadap penderitaan korban, baik secara ekonomi, psikologis, maupun sosial.
Jakarta, IDN Times - Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung memutuskan Dokter Priguna Anugrah Pratama, pelaku kekerasan seksual di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, membayar restitusi kepada korban sebesar Rp137 juta. Hal ini telah sesuai dengan penghitungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), meski sudah ada perjanjian perdamaian dan menjatuhkan vonis 11 tahun penjara.
Wakil Ketua LPSK, Sri Nurherwati, menyambut baik putusan ini dan menilai langkah majelis hakim mencerminkan keberpihakan pada pemulihan korban serta penerapan prinsip keadilan restoratif yang diamanatkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
"LPSK mengapresiasi majelis hakim, yang telah mempertimbangkan hak-hak korban secara utuh, tidak hanya menjatuhkan hukuman pidana terhadap pelaku, tetapi juga mengakomodir pemulihan korban melalui restitusi. Apresiasi ini kami berikan karena restitusi tetap dikabulkan meskipun korban sebelumnya telah menerima uang kerahiman," kata Nurherwati, dikutip Selasa (11/11/2025).
1. Rincian restitusi sesuai perhitungan objektif

Berdasarkan penilaian LPSK, ada tiga korban yang memperoleh restitusi dalam perkara ini. Masing-masing korban memiliki nilai kewajaran yang telah dihitung secara objektif sesuai dengan tingkat kerugian dan dampak psikologis yang dialami.
Rinciannya adalah korban FH sebesar Rp79.429.000, NK Rp49.810.000, dan FPA Rp8.640.000, dengan total keseluruhan mencapai Rp137.879.000.
2. Pemberian restitusi sesuai praktik penerapan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Nurherwati mengatakan, langkah hakim yang mengakomodir restitusi mencerminkan keberpihakan pada korban sebagai subjek utama dalam proses keadilan. LPSK juga menilai putusan ini menegaskan posisi korban dalam sistem peradilan pidana sebagai subjek hukum yang memiliki hak atas pemulihan.
Keputusan majelis hakim yang mengakomodir perhitungan restitusi dari LPSK dinilai penting dalam praktik penerapan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) Nomor 12 Tahun 2022, karena menempatkan pemulihan korban sebagai bagian dari keadilan yang substantif, bukan sekadar tambahan administratif.
Dia juga mengatakan, restitusi adalah gambaran konkret atas kerugian yang dialami korban akibat tindak pidana. Restitusi menjadi bentuk tanggung jawab pelaku terhadap penderitaan korban, baik secara ekonomi, psikologis, maupun sosial.
3. Restitusi sebagai pemulihan psikologis dan sosial korban

Nurherwati menyatakan, restitusi harus dipahami sebagai bagian dari pemulihan psikologis dan sosial korban, bukan sekadar kompensasi finansial. Pendekatan yang berorientasi pada korban menjadi kunci agar keadilan yang mereka dapatkan benar-benar bermakna.
"Komponen restitusi itu meliputi empat hal. Pertama ganti kerugian atas kehilangan kekayaan. Kedua, ganti kerugian atas penderitaan korban. Ketiga, ganti biaya perawatan medis atau psikologis. Keempat, biaya lain seperti transportasi dan kebutuhan selama proses hukum," ujar Nurherwati.


















