Ada Ledakan di SMAN 72, SETARA Soroti Melemahnya Program Antiekstremisme

- Program pencegahan ekstremisme melemah di era zero terrorist attack
- Lonjakan drastis intoleran aktif dan remaja terpapar ekstremisme
Jakarta, IDN Times - Usai tragedi ledakan di masjid SMA Negeri 72 Jakarta pada Jumat (7/11/2025), SETARA Institute menyoroti agenda program pencegahan yang dilakukan untuk mengatasi kasus intoleran aktif sampai ekstremisme, melemah di pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
“Sejauh ini agenda program pencegahan yang dilakukan untuk mengatasi remaja yang terpapar (ekstremisme) cenderung melemah di pemerintahan Prabowo,” kata Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, dikutip dari keterangan pers, Minggu (09/11/2025).
SETARA juga menyebut seharusnya program pencegahan antiekstremisme menjadi prioritas pemerintah.
1. Program pencegahan dinilai melemah di era zero terrorist attack

SETARA Institute mengkritik pelemahan program pencegahan ekstremisme di pemerintahan Prabowo Subianto. Kondisi zero terrorist attack dalam tiga tahun terakhir justru membuat kewaspadaan terhadap bahaya ekstremisme menjadi kendor.
Menurut SETARA, tragedi di SMAN 72 Jakarta membuktikan bahwa ancaman ekstremisme tetap nyata meski tidak ada serangan teroris besar. Justru dalam masa "tenang" inilah paham radikal menyusup diam-diam ke kalangan remaja dan pelajar.
2. Lonjakan drastis intoleran aktif dan remaja terpapar ekstremisme

Tak hanya itu, data SETARA Institute (2023) menunjukkan peningkatan mengkhawatirkan. Jumlah remaja dengan kategori intoleran aktif melonjak dari 2,4 persen pada 2016 menjadi 5,0 persen pada tahun 2023.
Sementara itu, remaja yang terpapar ideologi ekstremisme juga meningkat dua kali lipat dari 0,3 persen menjadi 0,6 persen. Meski persentasenya kecil, SETARA Institute menyebut dampaknya bisa sangat masif seperti yang terbukti dalam tragedi SMAN 72 Jakarta.
3. Koneksi ideologi global hingga mainan senjata "Welcome to Hell"

Menurut SETARA, investigasi atas tragedi SMAN 72 Jakarta mengungkap koneksi dengan ideologi ekstremisme global. Terduga pelaku diduga terinspirasi oleh Brenton Tarrant, pelaku teror Christchurch di Selandia Baru, dan Alexandre Bissonnette dari Kanada.
Selain itu, senapan mainan milik terduga pelaku ditemukan bertuliskan Welcome to Hel. SETARA menegaskan, insiden ini mengarah pada terorisme dan bukan peristiwa kriminal biasa.
4. Efek domino bullying: dari korban jadi pelaku kekerasan

Sementara itu, terungkap terduga pelaku yang masih berusia 17 tahun merupakan korban perundungan di sekolahnya. SETARA Institute menyoroti bullying yang terbukti tidak hanya meninggalkan luka psikologis, tetapi dalam tingkat ekstrem dapat memicu balas dendam yang berujung pada kekerasan.
"Kasus ini harus menjadi perhatian bagi Kementerian Pendidikan dan seluruh sekolah di Indonesia. Lingkungan pendidikan harus menjadi tempat yang aman dari segala bentuk perundungan, karena dampaknya bisa berujung pada tragedi kemanusiaan," ujar dia.
5. Darurat penguatan tiga pilar

SETARA Institute mendesak penguatan Tiga Pilar Kepemimpinan, yaitu politik, birokratik, dan kemasyarakatan. Kolaborasi ketiganya dinilai krusial dalam membangun ekosistem toleransi yang tahan guncangan.
Lebih lanjut, SETARA juga meminta Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN-PE) dan Rencana Aksi Daerah Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAD-PE) harus segera diaktivasi dan dioptimalkan. Menurut dia, tanpa koordinasi lintas sektor yang solid, upaya pencegahan ekstremisme hanya akan menjadi program yang berjalan di tempat.


















