Sekjen KIPP: Harga Kursi Caleg Bisa Capai Rp5 Miliar

Kursi mahal, caleg pun mencari uang agar balik modal

Jakarta, IDN Times – Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kaka Suminta menilai praktik politik uang muncul karena ada ketidakpercayaan diri calon legislatif. Politik uang dipilih sebagai jalan pintas untuk meraih kemenangan di pemilihan umum.

“Politik uang itu bagian dari ketidakpercayaan diri kita sendiri,” kata Kaka dalam diskusi di Media Center Bawaslu, Senin (8/10). 

1. Ada ketidakpercayaan diri pada proses yang berjalan

Sekjen KIPP: Harga Kursi Caleg Bisa Capai Rp5 MiliarIlustrasi demokrasi dan pemilu (Pixabay)

Kaka Suminta mengatakan, ketidakpercayaan diri itu bisa muncul juga kepada proses pemilu yang sedang berjalan. Hal ini menjadi salah satu faktor yang membuat biaya menuju kursi legislatif sangat mahal.

‘Maka perlu untuk membangun kepercayaan diri dan budaya percaya pada proses tersebut. Perlu membangun kepercayaan tersebut agar tidak ada lagi politik uang,” ucapnya.

2. Biaya kursi caleg bisa capai Rp5 miliar

Sekjen KIPP: Harga Kursi Caleg Bisa Capai Rp5 MiliarIlustrasi rupiah (ANTARA FOTO)

Kaka Suminta menjelaskan biaya kursi di legislatif yang begitu mahal membuat para caleg ini berpikir untuk mencari uang untuk mengembalikan modal. Kursi legislatif sendiri bisa mencapai Rp2 miliar hingga  Rp5 miliar sehingga wajar jika praktik politik uang masih kerap terjadi.

“Namun juga masih ada banyak caleg yang menghendaki tidak adanya politik uang. Mereka ingin melalui proses yang wajar dan dengan biaya operasional yang sewajarnya,” tuturnya.

Baca Juga: Bantuan Bencana Palu Rawan Politik Uang, Begini Kata Bawaslu

3. Money politics terjadi di tiga fase pemilu

Sekjen KIPP: Harga Kursi Caleg Bisa Capai Rp5 MiliarIlustrasi demokrasi (Pixabay/Kaz)

Sementara itu, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan mengatakan praktek politik uang atau money politics bisa terjadi di tiga fase. Masyarakat diminta mewaspadainya.

“Fase tersebut terjadi pada saat tahapan kampanye berlangsung, kemudian juga terjadi pada masa tenang, dan fase terakhir terjadi pada masa pemungutan suara tiba,” katanya.

Baca Juga: Politik Uang Masih Marak Tapi Tak Lagi Efektif, Kenapa?

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya