Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Ahli dari Belanda Nilai Demokrasi Indonesia Terjerat Lingkaran Setan

Ilustrasi pemimpin (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Intinya sih...
  • Biaya politik tinggi menyebabkan korupsi dan oligarki dalam demokrasi Indonesia.
  • Reformasi sistem pemilu diperlukan untuk mengurangi transaksi elektoral suara dan membatasi mahar politik.

Jakarta, IDN Times - Profesor Antropologi Politik Komparatif Universitas Amsterdam, Ward Berenschot, menilai, saat ini demokrasi Indonesia terperangkap dalam lingkaran setan. Sebab, biaya politik yang mahal mengakibatkan munculnya perilaku korupsi dan oligarki. 

“Demokrasi Indonesia terperangkap dalam lingkaran setan, biaya tinggi menimbulkan korupsi dan oligarki, menyebabkan pemilih menuntut uang, dan menyebabkan biaya tinggi,” ujar Ward saat jadi pembicara dalam acara Indonesia Electoral Reform Outlook Forum 2024 yang diadakan Perludem di Jakarta, Rabu (18/12/2024).

Ward berpandangan, untuk keluar dari perangkap tersebut, diperlukan adanya reformasi sistem pemilu secara menyeluruh. Ia pun mengimbau kepada seluruh lapisan masyarakat, termasuk Perludem untuk terus mendorong reformasi sistem pemilu. Salah satunya bisa dengan mengusulkan wacana itu kepada anggota parlemen. 

Dengan adanya reformasi sistem yang ada pemilu Indonesia akan mengalami perkembangan hingga mengurangi transaksi elektoral suara. Selain itu, agenda reformasi sistem pemilu juga bisa membatasi mahar politik, memperkuat parpol dan meningkatkan pendanaan politik.

1. Tidak dekatnya masyarakat dengan parpol menimbulkan politik transaksional

Ilustrasi. KPU RI gelar simulasi pemungutan suara Pilkada 2024 (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), Djayadi Hanan, menilai partai politik harusnya bisa hadir tidak hanya jelang momen pemilihan umum (pemilu). Ia menilai, kedekatan parpol dengan masyarakat tersebut bisa mencegah praktik politik uang dalam pemilu. 

“Partai itu hadir kalau ada pemilu. Seharusnya kan tak hanya pemilu dan pemilu kita lima tahunan. Jadi parpol itu hadir setiap lima tahun, maka tahun keempat partai-partai deketin masyarakat. Setelah tahun kelima lupain dulu kan. Tahun keempat ketemu lagi,” ujar Djayadi.

Akademisi Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) itu menganggap, hubungan parpol dengan masyarakat yang tidak dekat menimbulkan politik transaksional. Masyarakat berpandangan apa yang diberikan parpol, jika mereka mau mendukung.

“Jadi tak ada hubungan (parpol dan masyarakat) yang ajeg. Akibatnya, salah satunya hubungannya jadi transaksional. Lu kemana aja selama ini? Kenapa tiba-tiba minta suara saya. Maka, mana bagian saya? Bagi-bagi rezeki,” tutur dia. 

2. Pemilu serentak bikin parpol dengan masyarakat kurang dekat

Pelaksanaan Pilkada Magetan 2024 di tingkat TPS. IDN Times/ Riyanto.

Djayadi berpandangan, pemerintah juga perlu mengubah sistem pemilu nasional agar tidak digelar dengan pilkada. Dengan begitu, maka akan membuat parpol hadir lebih sering di masyarakat. 

“Setelah calon ditemukan, lalu mereka bisa lepas. Jadi partai tak punya kepentingan untuk tingkat lokal. Tapi kalau digabungkan antara pemilu legislatif dan eksekutif lokal, maka partai harus bergerak karena ada aspek legislatif di tingkat DPRD, provinsi maupun kabupaten. Jadi, dengan demikian hubungan partai dan masyarakat diharapkan bisa lebih kuat,” kata dia. 

3. Koordinasi pusat dengan daerah lebih efektif

KPU gelar simulasi pemungutan suara Pilkada 2024 di Maros, Sulsel (15/9/2024) (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Lebih lanjut, ia beranggapan dipisahnya pemilu dan pilkada justru bisa membuat pemerintah pusat dan daerah lebih efektif. Calon kepala daerah yang ingin maju di pilkada setelah pilpres tentu akan berusaha menyamakan visi dan misi.

"Ada logika sekuensial yang linier dari pusat ke daerah. Misalnya dimulai dari terpilihnya presiden, presiden punya visi misi. Setelah itu, kita mau pemilu gubernur, gubernur bisa bikin visi misi sesuai dengan atau disesuaikan dengan visi misi presiden. Setelah itu ada pemilu kabupaten kota calon walikota, bupati bisa menyesuaikan visi misinya dengan visi misi dari gubernur dan dari presiden yang sudah terpilih," kata dia.

"Sehingga ada sekuensi programatik kalau mau dilihat dari sisi itu sehingga yang diinginkan untuk efektivitas pemerintahan bisa berlangsung," ucap Djayadi.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Deti Mega Purnamasari
Yosafat Diva Bayu Wisesa
Deti Mega Purnamasari
EditorDeti Mega Purnamasari
Follow Us