Aktivis HAM: Pemerintah Buat Identitas Baru Lewat Tulis Ulang Sejarah

- Penulisan ulang sejarah berasal dari cita-cita penguasa
- Negara tinggalkan trauma sosial yang mendalam
- AKSI menolak penulisan ulang sejarah
Jakarta, IDN Times - Aktivis HAM Ita Fatia Nadia mengatakan, penulisan sejarah ulang yang kini tengah dilakukan pemerintah lewat Kementerian Kebudayaan adalah tindakan untuk membangun identitas baru Indonesia.
Ita yang juga pendamping korban pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998 mengatakan, agenda ini bukan hanya bicara soal menuliskan ulang sejarah, namun tindakan politik yang telah direncanakan.
"Saya sebagai anggota Aksi, Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia, ingin mengingatkan kembali bahwa persoalan penulisan ulang sejarah bukan sekadar menulis tentang cerita-cerita sejarah, yang dimaksudkan untuk membangun sebuah identitas kebangsaan. Tetapi menulis ulang sejarah adalah suatu tindakan politik yang sangat direncanakan untuk membangun sebuah identitas baru bagi bangsa ini," kata Ita dalam Konferensi Pers Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan RI oleh AKSI bersama Amnesty Internasional Indonesia di Jakarta Pusat, Kamis (14/8/2025).
1. Penulisan ulang sejarah berasal dari cita-cita penguasa

Penulisan ulang identitas yang dimaksud Ita adalah yang berasal dari pemikiran dan cita-cita penguasa. Namun, penulisan ulang sejarah, kata dia, tak menjangkau titik kesakitan bangsa saat ini, yakni rasa kehilangan kesempatan akan pendidikan, pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga pengangguran dan kemiskinan.
"Sesuatu yang tidak menentu ini dijawab dengan satu penulisan sejarah semua, satu penulisan yang memberikan pandangan baru tentang kehebatan Indonesia yang tidak berpijak pada fakta sejarah yang menegasikan suara korban," kata dia.
"Bagaimana peristiwa 65, peristiwa Aceh, peristiwa Papua, peristiwa Poso, kekerasan-kekerasan yang terjadi ini akan dihapus, perkosaan Mei 98 dianggap rumor, dianggap tidak ada datanya," ujar Ita.
2. Negara tinggalkan trauma sosial yang mendalam

Negara, kata dia, hanya meninggalkan trauma sosial yang mendalam. Menjadi memori kolektif bangsa yang merupakan arsip perjalan bangsa hingga menumpuk.
"Dan kolektif memori dari bangsa ini adalah sebuah arsip yang ada di dalam setiap tubuh bangsa ini, yang hidup dan menghidupi perjalanan bangsa ini, itu semua adalah arsip arsip yang menumpuk, yang afeksi, yang berasal dari suara korban dan suara korban mempunyai hak untuk didengar, karena dia bagian dari perjalanan sejarah ini," kata dia.
Penulisan ulang sejarah nasional Indonesia, menurut Ita, akan menghilangkan suara-suara korban sebagai arsip yang hidup dan menumpuk dalam perjalanan Indonesia.
3. AKSI menolak penulisan ulang sejarah

Setiap masyarakat, ujarnya, mempunyai memori kolektif yaitu arsip-arsip yang hidup dan menghidupi, namun membawa trauma-trauma yang tidak pernah diselesaikan. Hal itu, kata Ita, akan ditutup dengan penulisan sejarah baru.
"Oleh sebab itu, kami AKSI menolak penulisan sejarah yang digagas oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia, dan itu adalah sebuah sikap untuk merawat memori kolektif yang berasal dari suara korban," kata Ita.
Dia berharap, pelanggaran HAM berat masa lalu dan persoalan-persoalan trauma kolektif yang hidup, dalam perjalanan bangsa jadi bagian yang paling penting untuk menuliskan sejarah baru Indonesia.
"Generasi muda penting untuk mengetahui tentang kehidupan dan perjalanan sejarah bangsa ini dan saya pikir persoalan-persoalan penindasan, perlawanan dan juga bagaimana rakyat bergerak, ini harus muncul menjadi ingatan kolektif kita semua," katanya.