Alasan Korban Kekerasan Gender Online Pilih Jalur Viral

Jakarta, IDN Times - Ekosistem media sosial dirasa belum berpihak pada korban kekerasan berbasis gender online (KBGO). Manajer Program Media & Keberagaman Remotivi, Bhenageerushtia, mengatakan platform media sosial seharusnya memiliki mekanisme pelaporan yang memudahkan dan berpihak pada korban, serta tanggap dalam penanganan KBGO, utamanya pada penyebaran konten intim non-konsensual.
“Kasus yang sering mendapat perhatian publik dan media sering kali figur publik. Akan tetapi, banyak kasus yang ditangani oleh organisasi penyedia bantuan dan tidak mendapatkan perhatian publik. Pada akhirnya, orang yang mengalami KGBO mencari keadilan melalui jalur viral, seperti kasus revenge porn yang terjadi di Pandeglang," kata dia dalam konferensi pers daring, Selasa (19/12/2023).
1. Perlu dilihat secara sistemik dan diselesaikan menyeluruh

Selain itu, Bhena juga mengatakan, korban kerap mengalami hambatan ketika kasus masuk ke mekanisme peradilan di Indonesia dan oleh platform media sosial atau PSE (penyelenggara sistem elektronik).
"Oleh karena itu, kekerasan berbasis gender online perlu dilihat sebagai sesuatu yang sistemik dan perlu diselesaikan dari beragam aspek secara menyeluruh dan komprehensif," ujar dia.
2. Ada peningkatan kasus KGBO

SAFEnet mencatat adanya peningkatan dari 60 kasus KGBO pada 2019 menjadi 2.055 kasus pada 2021. Sebanyak 1.077 aduan (52,40 persen) di antaranya terkait dengan penyebaran konten intim non-konsensual.
Komnas Perempuan juga mencatat peningkatan laporan KBGO terhadap perempuan, dari sebanyak 97 kasus pada 2018 menjadi 4.736 kasus pada 2022.
Pola kasusnya didominasi oleh penyebaran konten intim non konsensual disertai dengan sextortion, pemaksaan untuk melakukan sesuatu melalui ancaman dengan memiliki atau mengklaim memiliki konten seksual orang lain.
3. Aparat malah mengkriminalisasi korban

Komisioner Komisi Nasional Perempuan, Bahruk Fuad, mengatakan menang Indonesia tidak memililki badan atau lembaga nasional yang secara spesifik dan komprehensif mengurusi masalah-masalah di dunia digital, salah satunya KGBO.
"Ditambah lagi, undang-undang yang sudah ada sekarang memiliki keterbatasan dalam merespons perkembangan modus kekerasan seksual yang terjadi secara online. Bahkan, dalam beberapa kasus aparat malah mengkriminalisasi korban menggunakan UU ITE dan UU Pornografi," kata Cak Fu sapaan karibnya.
4. Respons lambat platform media sosial saat ada laporan

Dalam melihat kondisi laporan korban pada konten yang merugikan, platform media sosial kerap tidak secara tanggap merespons dan konten baru diturunkan setelah waktu yang lama.
Menurut Divisi Kesetaraan dan Inklusi SAFEnet, Wida Arioka, tak jarang juga korban KBGO perlu melaporkan konten dan akun nakal berkali-kali secara massal demi mendapat atensi.
“Tidak ada aturan bagaimana platform digital merespons laporan dari korban. Sebenarnya, platform media sosial memiliki community guideline dan aturan pelaporan. Akan tetapi, sulit bagi korban mengakses pelaporan tersebut. Juga, ada peraturan yang masih rancu definisinya, seperti tolak ukur ‘ketelanjangan’ yang ada di peraturan Facebook," kata dia.
"Padahal, ada beberapa penyebaran konten intim non-konsensual yang disensor oleh pelaku, namun tetap merugikan korban dengan memperlihatkan korban. Juga tidak ada sanksi bagi penyelenggara sistem elektronik jika melanggar peraturan-peraturan yang sudah ada," tambahnya.